Salah Penanganan, Sektarian Papua Bisa Menguat


Pemerintah pusat di Jakarta didesak agar segera memulai dialog dengan rakyat Papua untuk membahas penyelesaian sederet masalah di Papua. Jika Jakarta salah penanganan maka masyarakat akan terprovokasi dengan berbagai isu sektarian.

“Sentimen yang berkembang seperti isu etnis, isu agama, dan isu asli dan pendatang akan meruncing mendorong pemisahan diri dari Indonesia. Padahal kemiskinan dan keterbelakangan adalah akar persoalan utama yang menjadi tanggung jawab yang dari dulu harus bisa diselesaikan pemerintah pusat,” ungkap sosiolog yang juga pemerhati Papua, George Junus Aditjondro, kepada SH, Sabtu (20/8).

Kemiskinan dan keterbelakangan Papua yang disebabkan eksploitasi asing dan kaki tangannya di Jakarta maupun di Papua, menurut George, tidak mungkin bisa diselesaikan secara sepihak oleh rakyat Papua. “Tetapi memerlukan persatuan perjuangan seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, pengalaman kemerdekaan Timor Leste dan otonomi di Aceh terbukti tidak membawa perubahan nasib rakyat di kedua wilayah menjadi lebih baik.

“Justru kepentingan asing mencengkeram lebih kuat lagi lewat elite-elite politik setempat untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Struktur kekuasaan tetap di tangan elite, dan hidup rakyat tidak menjadi lebih baik,” tegasnya.

George melihat perkembangan di Papua belakangan ini terkait dengan kepentingan yang ingin mempertahankan modal asing seperti PT Freeport. “Kekerasan yang terjadi belakangan berhubungan dengan peningkatan pengamanan PT Freeport,” ungkapnya.

Sebelumnya, sejumlah aktivis lembaga nonpemerintah yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mendesak digelarnya dialog yang serius di Papua.

“Sebelum situasi Papua menjadi kritis, kami mendesak agar elite-elite pemerintah dan DPR tidak menyibukkan diri dalam hiruk-pikuk persoalan korupsi yang mengancam kepentingan sendiri, seperti kasus (Muhammad) Nazaruddin,” ungkap Usman Hamid dari Kontras, kemarin.

Usman mengatakan, pemerintah harus mempedulikan nasib rakyat Papua. Dia menilai, pemerintah sampai saat ini tidak serius menyelesaikan persoalan di Papua, terutama soal pengungkapan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua.

“Kita menantang pemerintah untuk menjawab siapa yang terlibat kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua, apakah itu OPM (Organisasi Papua Merdeka-red) atau OPM buatan?” kata Usman. Papua, kata dia, yang selama ini di bawah pengawasan ketat militer justru banyak melahirkan kekerasan.

Sementara itu, Benny Susetyo dari KWI mengatakan, negara telah memperburuk keadaan di Papua lewat pernyataan-pernyataan politik pejabat negara, terutama pejabat militer yang tidak bertanggung jawab, misalnya, dengan menuding OPM sebagai pelaku kekerasan tanpa bukti hukum yang autentik.

Menurut Benny, rakyat Papua menuntut adanya dialog serius, yang “membahas sumber masalah Papua secara jujur,” ujarnya. Rakyat Papua, menurutnya, menginginkan pemerintah pusat serius dalam membangun dialog yang sejajar. “Bukan dialog basa basi,” tegasnya.

Benny mengatakan, akar permasalahan di Papua sebetulnya bersumber dari persoalan otonomi khusus yang dinilai timpang dan tidak menyentuh rakyat Papua. “Kalau dijalankan benar dan dipercaya, selalu akan ada harapan terhadap pemerintah Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Jerry Sumampouw dari PGI mengatakan, pemerintah harus memberikan rasa aman kepada warganya. Jangan sampai bibit separatisme menjadi besar di tengah-tengah masyarakat. Sebab, rakyat di Papua gelisah dengan situasi keamanan yang tidak kondusif, yang tampaknya sengaja diciptakan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *