Revolusi Pertanian, Food Estate Perlu dengan Teknologi Terapan


Revolusi Pertanian, Food Estate Perlu dengan Teknologi Terapan

dilaporkan: Setiawan Liu

Serang, 20 September 2020/Indonesia Media – Pelopor revolusi pertanian bersama komponen masyarakat pertanian lainnya mendukung program pemerintah untuk program food estate (lumbung pangan) tetapi dengan catatan, yakni eksekutifnya yang sudah berpengalaman dan menguasai teknologi spesifik. Program Food Estate di era Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo harus dengan komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan program yang sama pada era mantan presiden, alm. Soeharto. “Eksekutifnya (Food Estate) harus berpengalaman di lahan gambut. Karena penerapan teknologi pertanian termasuk penyuburan tanah dan tanaman, terutama di lahan gambut bukan perkara mudah. Misalkan proyek food estate di Merauke, sejak tahun 2014 tidak berjalan optimal karena eksekusinya salah orang, salah teknologi,” Ali Zum Mashar dari Yayasan Ketahanan Pangan Nasional (YKPN) mengatakan kepada Redaksi.

YKPN bersama komponen lainnya termasuk MAPORINA (Masyarakat Pertanian Organik Indonesia), STII (Serikat Tani Islam Indonesia), dan lain sebagainya bangga dengan berbagai kegiatan eksperimen mencari solusi kelola lahan gambut. Bahkan eksperimen pendalaman mikroba untuk pupuk penyubur tanaman memberi hasil, yakni peningkatan produksi petani di berbagai daerah. Pada pertemuan dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan A. Djalil di kec. Cinangka, Serang Banten, Ali Zum sempat membahas mengenai beberapa daerah yang lahannya bergambut dan air payau. Ia meyakini bahwa teknologi merupakan harga mati untuk mendukung infrastruktur pertanian di Indonesia terutama program food estate. “Kami bersama Presiden Jokowi (Presiden RI, Joko Widodo) nantinya akan menanam (benih padi), walaupun skala kecil di Tapanuli (Sumatera Utara). Ini menunjukkan dukungan kami untuk program food estate,” tegas Ali Zum.

Hitung-hitungan untuk pemenuhan kebutuhan beras di Indonesia, kalau dibandingkan dengan Thailand, jelas ada ketimpangan. Thailand dengan jumlah penduduk sekitar 69 juta, ternyata memiliki lahan sawah sekitar 12 juta hektar. Sementara Indonesia dengan penduduk sekitar 260 juta, luas keseluruhan lahan sawah hanya 7 – 8 juta hektar. Angka produktivitas petani di Indonesia, yakni sekitar 4 ton/hektar. Kalau satu petani diberi lahan 7 – 8 hektar, berarti produktivitasnya (4 x 8) setara 28 ton per hektar. Rata-rata musim panen dua kali per tahun. Sehingga 28 ton per hektar dikali dua musim panen, yakni 54 juta ton/tahun. “(dari perhitungan tersebut), kita sudah bisa surplus beras. Kalau kita mau memberdayakan petani rakyat, saya asumsikan 4 ton per hektar ditingkatn dengan pemanfaatan mikroba, benih unggul Padi Trisakti, kita pasti surplus. Masa pandemic seperti sekarang, terbukti kita masih cukup makan. Di tengah pandemic, kita mengurangi impor beras. Ekonomi pertanian kita dengan comparative, competitive advantage termasuk pemanfaatan mikroba dan benih unggul,” kata Ali Zum Mashar. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *