Prof. Satyanegara, Anak Rantau Kangen Berat dengan Kampung Halaman


Prof. Satyanegara, Anak Rantau Kangen Berat dengan Kampung Halaman

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 17 Januari 2023/Indonesia Media – Merantau ke berbagai negara di luar negeri untuk menuntut ilmu, ada tiga hal yang selalu bikin Prof. Dr. dr. Satyanegara, Sp. BS kangen sama kampung halaman, yakni rumah tua di Jl. Labuan Raya, Karang Tempel, soto ambengan dan atmosfir rumah ‘dinas’ di komplek sekolah. maestro bedah saraf Satyanegara mengaku pernah tinggal di satu rumah tua yang dibangun pada masa colonial Belanda. “Itu rumah milik sendiri. Saya tidak rela kalau rumah itu dijual. Walaupun dulu saya meninggalkan Semarang, saya tetap jaga. Saya renovasi karena rumah tersebut kenang-kenangan keluarga kami,” Satyanegara mengatakan kepada Redaksi.

 

Beberapa bagian rumahnya sempat kena rayap dan kena banjir. Tapi rayap dibersihkan, dan konstruksi sempat dibangun lebih tinggi untuk tidak kena banjir lagi. Ia anggap rumah tua milik keluarga dengan atmosfer ‘memper’ atau istilah persembahan anak kepada orang tua. “ saya menggunakan istilah ‘memper’ bahasa Semarang karena saya anak rantau dan tetap kangen kampung halaman,” kata Satyanegara.

 

tiga tahun sebelum keberangkatan ke Jepang untuk studi ilmu kedokteran (Oktober 1958), rumah tersebut baru dibeli keluarganya. Tepatnya, tahun 1955 rumah di Jl. Labuan dibeli. Sampai sekarang (Januari 2023), berarti rumah tua tersebut sudah 70 tahun dimiliki keluarganya. Tapi karena rumah tersebut direnovasi, dan sempat dikontrak kepada orang lain, ia tetap merasakan ‘aroma’ suasana kekeluargaan. Sebelum saya berangkat ke Jepang, ada monyet peliharaan (keluarga). “Saya nggak tahu datangnya (monyet betina) dari mana. Waktu saya pulang ke Semarang (thn 1968), monyet tidak mengenali saya lagi kecuali dengan ayah saya. Rumah sudah berusia 100 tahun lebih, dibangun zaman Belanda. Saya pulang ke Indonesia sudah sekitar 51 tahun, tepatnya thn 1972. Enam tahun kemudian (sekitar tahun 1978), saya renovasi rumah untuk kenang-kenangan dengan kedua orang tua saya,” kata Satyanegara.

 

Keluarganya tinggal di komplek gedung sekolah. Karena kedua orang tua bekerja sebagai guru di sekolah, sehingga mendapat fasilitas dua kamar. satu keluarga terdiri dari lima orang, ia dan kedua saudara kandung mendapat satu kamar. Orang tuanya  dapat satu kamar. Waktu saya masih kecil, tidak banyak pemandangan yang bisa dinikmati. Waktu pulang dari Jepang (tahun 1972), gedung sekolah sudah direnovasi. Sehingga kamar-kamar di rumah sudah dirobohkan karena mungkin tidak estetis. Di samping pagar dinding, ada kebun. Monyet peliharaan keluarga datang dari kebun (di balik pagar dinding rumah tua keluarga). “Dia datang, loncati pagar dinding rumah,” kata Satyanegara.

 

Makanan khas Semarang memang banyak, seperti Lumpia, nasi goreng babat, nasi gandung, tahu gimbal, minuman hangat Wedang Tahu, dll. Tapi ia lebih suka soto ambengan, titeni. Soto dan Titeni juga makanan khas semarang, tepatnya kiosnya di komplek klenteng. Lalu kiosnya pindah ke jantung kota Semarang. Ayah pemilik titeni sudah tidak ada, dan diteruskan anaknya. “Kalu saya pulang ke Semarang, pasti mampir ke kios soto ambengan.  Kalau lumpia kan sudah banyak di sana-sini (Semarang). Kalau titeni, soto ambengan hanya ada di tempat tertentu,” kata Satyanegara.

 

Ia sempat bercita-cita menjadi penulis/wartawan. Tapi orang tua mengarahkan saya menjadi dokter sejak kecil. Cita-cita tersebut bukan sirna karena ia masih bisa menulis buku-buku Bedah Saraf sampai edisi ke 6. Impian sejak masa kecil untuk menjadi penulis sudah tertanam. Tapi sekarang, kemampuan menulis sudah tidak maksimal. “Kalau menulis mengenai ilmu kedokteran bisa maksimal karena setiap hari saya praktik di rumah-rumah sakit. Sehingga saya bisa lebih mudah menyusun buku, terutama bahasa/istilah medis (kedokteran),” kata Satyanegara. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *