Menguji Kejujuran Kantor Transisi Jokowi-JK


Pemangkasan Anggaran Perjalanan Dinas

Akhir pekan silam berhembus kabar pintar dari Kantor Transisi Jokowi-JK. Pasangan

Capres-Cawapres yang tengah menunggu kepastian dari sidang Mahkamah Konstitusi

(MK) atas kemenangannya itu, bakal memangkas anggaran perjalanan dinas. Maklum,

pos anggaran yang satu ini di APBN tahun-tahun sebelumnya memang gila-gilaan.

Bayangkan saja, pada APBN 2009, pos anggaran perjalanan dinas ‘cuma’ Rp2,9 triliun.

Eh belum habis setahun anggaran, dalam APBN Perubahan (APBN-P) angkanya loncat

menjadi Rp12,7 triliun.

Hobi pemerintah dan DPR yang secara berjamaah terus menggelembungkan anggaran

pelesiran itu terus berlanjut. Pada APBN 2010, angkanya kembali didongkrak menjadi

Rp16,2 triliun. Tapi lagi-lagi di APBN Perubahan justru kembali dikerek jadi Rp19,5

triliun.

Kelakuan yang sama kembali mereka ulangi pada APBN 2012. Saat itu realisasi biaya

melancong para pejabat publik adalah Rp 19,6 triliun. Kemudian beruturut-turut terus

dinaikkan menjadi Rp26 triliun pada 2013, dan Rp32 triliun di tahun 2014.

Buat sebagian rakyat yang melek anggaran, menggilanya anggaran perjalanan dinas ini

memang membuat geram. Bandingkan dengan anggaran kementerian pertanian yang

hanya Rp15,8 triliun. Katanya Indonesia negara agraris. Kok untuk anggaran pertanian

hanya ‘seupil’ gitu, sih? Jumlahnya bahkan tidak sampai setengah dari anggaran jalan-
jalan pejabat publik yang tak jelas juntrungannya. Pantas saja tiap tahun Indonesia

terus mengimpor beras dan berbagai produk pertanian lainnya.

Tidak adil

Kembali ke kabar pintar dari Kantor Transisi Transisi Jokowi-JK di awal tulisan ini.

Saya sengaja menyebut rencana pemangkasan anggaran perjalanan dinas yang

disampaikan Deputi Kantor Transisi Anies Baswedan tersebut sebagai langkah pintar.

Alasannya, ya itu tadi, biayanya dari tahun ke tahun terus membengkak. Ada aroma

ketidakadilan yang menyeruak dengan tajam, terutama bila dibandingkan dengan

sejumlah pos anggaran yang langsung menyangkut hajat dasar rakyat.

Selain itu, apa iya, anggaran perjalanan segede gajah bengkak yang kena penyakit

beri-beri dan disengat ribuan tawon itu masih diperlukan? Bukankah selama ini jenis

dan manfaat pelesiran para pejabat itu tidak jelas? Boro-boro bicara tentang aplikasi

dari hasil perjalanan dinas tadi, lha wong laporannya saja tidak pernah ada!

Masih soal perlu-tidaknya pelesiran, terutama dengan dalih studi banding, bukankah

sekarang eranya internet? Mau cari apa pun bisa dengan berselancar di jagad maya.

Mulai dari cari informasi soal tepung terigu sampai kapal selam ada. Cari hukum

fikih boleh-tidaknya perempuan yang sedang haid membaca al Quran sampai silang

pendapat wanita bersibuk ria dengan karirnya juga ada.

Begitu juga kalau butuh info soal pendidikan anak usia dini sampai pembinaan para

narapidana di berbagai belahan dunia juga ayo. Semuanya ada di ujung jari. Tinggal

klik, maka tersajilah semua informasi yang dibutuhkan.

Berani jujur?

Tapi, ada baiknya juga bila kantor Transisi, khususnya Anis, bersikap fair. Bukan

apa-apa, gagasan memangkas anggaran itu sudah pernah dilontarkan orang lain.

Adalah ekonom senior Rizal Ramli yang sejak sekitar setahun silam yang bolak-balik

mewacanakan perlunya pemangkasan anggaran perjalanan dinas.

Apa yang disampaikan Rizal Ramli jauh sebelum adanya hiruk-pikuk Pilpres itu bahkan

sudah jauh lebih maju ketimbang lontaran Anis. Menteri Koordinator Perekonomian

era Presiden Abdurrahman Wahid itu, misalnya, langsung menyebut besaran

pemangkasan. Dia juga sekaligus menyebut peruntukan atau pengalihan selisih

anggaran hasil pemotongan biaya perjalanan dinas.

“Saya menilai anggaran biaya perjalanan dinas yang pada APBN 2014 yang mencapai

Rp32 triliun terlalu besar. Sebaiknya pos anggaran ini dipangkas hingga menjadi

maksimal hanya Rp10 triliun,” ujar Rizal Ramli suatu ketika.

Tokoh yang juga pernah menjadi Menteri Keuangan era Gus Dur ini berencana

mengalihkan selisih anggaran dari biaya perjalanan dinas untuk meningkatkan kualitas

anak-anak Indonesia. Selisih anggaran itu antara lain akan dialokasikan untuk memberi

sebutir telur kepada setiap anak usia SD setiap hari dan seliter susu setiap pekan.

Program ini akan meningkatkan kecerdasan anak-anak Indonesia, sehingga kualitas

mereka di masa depan akan jauh lebih baik. Pada saat yang sama, program ini

juga akan menghidupkan industri peternakan rakyat. Bayangkan, Indonesia akan

membutuhkan sekitar 15 juta butir telur/hari dan 15 juta liter susu/minggu.

Pada konteks ini, sudah semestinya ada semacam acknowledgement dari Kantor

Transisi kepada Rizal Ramli atas gagasannya yang dipungut itu. Pengakuan, sekaligus

ucapan terima kasih, seperti ini penting, lho. Paling tidak, ini adalah bentuk kejujuran

dan tanggung jawab moral atas ide cemerlang pihak lain yang diadopsi.

Bisa jadi pengakuan, ucapan terima kasih atau apa pun namanya tidak dibutuhkan

Rizal Ramli. Buat dia, yang terpenting adalah bagaimana rakyat dan bangsa ini bisa

maju, sejahtera, dan bermartabat. Indonesia yang digdaya. Dengan begitu Indonesia

bisa berdiri dengan dagu tegak di antara bangsa-banga lain di dunia.

Kendati begitu, sebagai bangsa beradab, sudah semestinya kita memiliki dan

memegang teguh kejujuran. Khusus buat Anis, langkah ini jadi sesuatu yang tidak bisa

tidak harus dilakukan. Sebagai seorang rektor, anak muda itu tentu menjunjung tinggi

kejujuran akademis. Di lingkungan kampus, perilaku plagiarisme atau lebih dikenal

dengan plagiat adalah perilaku haram yang teramat nista.

Sekadar mengingatkan saja, menurut Wikipedia, plagiarisme atau sering

disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan

sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri.

Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain.

Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti

dikeluarkan dari sekolah/universitas.

Buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah, Felicia Utorodewo dan

kawan kawan menggolongkan beberapa hal sebagai tindakan plagiarisme. Antara lain,

mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri.

Pada konteks ini, maaf lho ya, pernyataan Anis yang mewakili Kantor Transisi bisa

dianggap sebagai tindakan plagiarisme. Tudingan seperti ini bisa ditepis, kalau Anis

atau siapa pun di kantor itu mengakui bahwa rencana pemangkasan biaya perjalanan

dinas itu mengadaptasi atau mengadopsi gagasan Rizal Ramli.

Sungguh, ini bukan perkara sulit dan rumit. Sebuah pengakuan sekligus penghargaan

atas ide orisinal pihak lain bukanlah hal berat. Satu-satunya investasi yang dibutuhkan

adalah menanggalkan ego yang kelewat tinggi dan mau jujur. Itu saja, kok.

Pertanyaannya, apakah Kantor Transisi punya kejujuran itu? Kita lihat saja, yuk…. (*)

Jakarta, 18 Agustus 2104

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Stduies (CEDeS)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *