Masyarakat Ekonomi ASEAN, Berkah atau Musibah?



Produk makanan-minuman Malaysia membanjiri pasar Indonesia sejak berlakunya kesepakatan ASEAN Trade in Goods Agreement. Berlakunya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China menyulitkan ruang gerak industri lokal. Indonesia menjadi surga impor.

“Minuman cokelat asal Malaysia gampang ditemukan daripada yang buatan Indonesia,” kata Yus Amin, 24 tahun, warga Nunukan, Kalimantan Timur. Makanan dan minuman dari negeri jiran itu memang membanjiri toko kelontong, minimarket, dan pasar di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Negeri tetangga itu belakangan ini menjadi eksportir utama produk makanan dan minuman ke Indonesia.

Hampir seperlima dari seluruh makanan dan minuman impor berasal dari Malaysia. Lonjakan impor makanan dan minuman ini sangat mengkhawatirkan. Kenaikan impor dari Januari 2010 ke Januari 2011 mencapai 83%. Produk makanan-minuman Malaysia itu membanjiri pasar Indonesia sejak berlakunya kesepakatan ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA), Januari 2010.

ATIGA menggantikan perjanjian perdagangan bebas ASEAN (Common Effective Preferencial Tariff Scheme for the ASEAN Free Trade Area –CEPT-AFTA), yang diteken pada 1993. Berdasarkan ATIGA, disepakati 54.467 pos tarif dinolkan bea masuknya atau 99,65% dari pos tarif barang yang diperdagangkan dalam AFTA untuk ASEAN-6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Brunei Darussalam). Termasuk di dalamnya makanan olahan.

Perjanjian itu berlaku juga seiring dengan kerja sama perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA). Sedangkan untuk Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar, akan berlaku pada 2015. Skema pembebasan tarif di antara negara ASEAN ini adalah tahapan menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015.

Keberadaan Masyarakat Ekonomi ASEAN itu akan menjadikan arus lalu lintas barang, jasa, investasi, dan modal bebas di kawasan Asia Tenggara. Para kepala negara di Asia Tenggara yang bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-15 di Jakarta, Sabtu-Minggu lalu, meneguhkan kembali terwujudnya MEA itu. Pertanyaannya kemudian bagi Indonesia, terwujudnya MEA itu merupakan berkah atau justru musibah?

***

Indonesia yang berpenduduk sekitar 237 juta jiwa adalah pasar yang besar, yakni sekitar 40% dari total penduduk di Asia Tenggara. Bagi perusahaan di Indonesia, peluang untuk mengambil pasar yang 60% di luar Indonesia itu sangat terbuka. Namun kembali muncul pertanyaan, seberapa kuat industri lokal kita bersaing dengan industri di negara tetangga? Apakah kita bisa mengambil pasar di negara Asia Tenggara itu atau justru bakal kedodoran?

Jangan sampai pasar Indonesia yang besar itu justru menjadi lahan yang empuk bagi negara asing. Kondisi industri di Indonesia, dalam 10 tahun belakangan ini, justru menunjukkan gejala yang tidak menggembirakan. Selama periode itu, terjadi deindustrialisasi.

Banyak pabrik gulung tikar karena serbuan produk impor. Industri tekstil mengalami gempuran sangat dahsyat. Ribuan perusahaan tekstil kolaps. Pasar Tanah Abang, sebagai pasar utama tekstil di Asia Tenggara, sekitar 80%-nya diisi tekstil impor.

Pun demikian dengan industri alas kaki. Sentra industri sepatu Cibaduyut, Bandung, sudah beralih fungsi menjadi pasar bagi sepatu impor. Meskipun ada pelaku usaha yang masih bertahan, kondisinya cukup mengkhawatirkan. Dan begitu banyak lagi industri lain, seperti kosmetik, jamu, mainan anak, dan barang elektronik, yang juga kelojotan.

Berlakunya perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China makin menyulitkan ruang gerak industri lokal tersebut. Jadilah Indonesia surga impor. Neraca perdagangan Indonesia dengan China sangat jomplang. Defisit perdagangan Indonesia-China selama tahun 2010 mencapai lebih dari Rp 50 trilyun.

Keberpihakan pemerintah terhadap industri dalam negeri pun dipertanyakan. Misalnya yang berlaku terhadap industri rotan di Cirebon. Sentra kerajinan rotan yang cukup kesohor di masa lalu itu kini sempoyongan. Adalah Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 12 Tahun 2005 yang membebaskan ekspor rotan gelondongan yang menjadi “sumber penyakit”. Perajin rotan menjadi kesulitan bahan baku dan tumbang satu per satu.

Padahal, industri rotan di Cirebon telah didesain dengan gaya modern, yaitu “industri ban berjalan”. Maksudnya, proses pembuatan rotan sudah terpadu. Setiap pekerja punya tugas masing-masing yang berurutan, hingga kemudian terbentuk mebel serta produk kerajinan. Ada orang yang bertugas membuat anyaman, ada pula yang bertugas membengkokkan rotan, merakit, hingga finishing.

Industri rotan di Cirebon menjadi salah satu penggerak perekonomian di kota itu. Puluhan ribu tenaga kerja menggantungkan hidup pada industri ini. Namun tempat menggantungkan hidup itu kini hanya sebatas kenangan manis. Mereka tak tahu apa yang ada di otak Kementerian Perdagangan. Mau membela industri lokal atau justru membenamkan industri dalam negeri dan membuka ruang besar bagi industri di luar negeri untuk menjajah negeri ini.

***

Fenomena beralihnya pemilik usaha menjadi pedagang juga patut diperhatikan dengan benar. Para pemilik usaha yang banting setir itu rata-rata beralasan bahwa membuat produk barang di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan mendatangkan barang dari China, misalnya. Peralihan ini otomatis akan mendongkrak angka pengangguran karena kebutuhan tenaga kerja di sektor perdagangan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan industri pengolahan.

Fenomana itu makin menjadi-jadi karena disokong oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 39 Tahun 2010 tentang Ketentuan Impor Barang Jadi oleh Produsen. Dalam penjelasannya, Kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa salah satu tujuan Permendag 39 itu adalah menggairahkan investasi. Calon investor yang ingin membangun pabrik bisa melakukan tes pasar atas produk yang akan dibuat. “Aturan ini makin mendorong produsen menjadi pengimpor atau pedagang, sehingga deindustrialisasi bakal makin dalam,” kata Airlangga Hartarto, Ketua Komisi VI DPR.

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Erwin Aksa, menyebutkan bahwa maraknya produk China pasca-ACFTA itu menyebabkan penurunan produksi industri nasional 25%-50%. Sedangkan pengurangan tenaga kerja mencapai 10%-15%. Pengalaman perdagangan bebas dengan China menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk bersiap dari sekarang. Dalam persoalan dengan China itu, yang terjadi selama ini, menteri di kabinet tidak kompak dan yang terdengar hanya akan ini dan itu atau akan memperjuangkan ini atau itu.

Adapun China selalu bergerak lebih maju. Contoh paling sederhana, ketika pemerintah akan menerapkan standar nasional (SNI) untuk produk impor, China telah memborong 670 buku dan dokumen SNI sejak November tahun lalu. Buku SNI itu akan menjadi pedoman bagi China untuk membuat produknya sesuai dengan standar SNI sehingga mulus masuk ke Indonesia.

Sejumlah persoalan daya saing industri lokal menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan sebelum Masyarakat Ekonomi ASEAN dimulai. Daya saing itu, antara lain, dipengaruhi faktor infrastruktur, kesinambungan pasokan sumber energi, dan bunga perbankan yang rendah. Selain itu, yang tak kalah penting adalah meminimalkan penyelundupan.

***

Berbagai masalah itu belum ditangani pemerintah dengan baik. Di sisi infrastruktur, misalnya, arus lalu lintas barang di dalam pulau maupun antarpulau tidak lancar karena kualitas jalan yang rendah, pelabuhan yang tidak memadai, dan sarana angkut antarpulau yang sering “batuk-batuk”. Ini membuat biaya logistik meningkat dan melemahkan daya saing industri lokal.

Kualitas infrastruktur Indonesia hingga saat ini masih kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainya, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Survei World Economic Forum Report 2010 menunjukkan, kualitas infrastruktur Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 133 negara. Malaysia dan Thailand berada di posisi ke-27 dan ke-41. Dan bila dibandingkan dengan Singapura, Indonesia lebih kelihatan jebloknya.

Bunga kredit perbankan di Indonesia juga sangat memberatkan dunia usaha. “Bunga bank di sini masih di kisaran 12%-15%, sangat mahal bila dibandingkan dengan negara tetangga yang 5%-6%,” kata Putri K. Wardani, Ketua Umum Perusahaan Kosmetik dan Gabungan Industri Jamu. Bunga perbankan yang selangit itu, antara lain, disebabkan masih rendahnya tingkat efisiensi perbankan di Indonesia. Dari sisi energi, menurut Putri, pasokannya juga tidak lancar dan mahal.

Indonesia yang kaya akan gas tidak mengelola sumber gas dengan semestinya. Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan sesaat ketimbang kebutuhan jangka panjang. Misalnya, sudah tahu Indonesia mengalami defisit gas, eh, gas malah diekspor. Okelah kalau gas yang diekspor itu untuk memenuhi kontrak jangka panjang yang telanjur diteken.

Pemanfaatan gas Senoro-Donggi adalah contoh bagaimana pemerintah memilih kepentingan jangka pendek daripada jangka panjang. Gas yang bersumber di Kabupaten Banggai, Sulawesi Selatan, itu mayoritas akan diekspor ke Jepang, sedangkan kebutuhan lokal dianaktirikan. Padahal, gas itu seharusnya diproduksi, kemudian ditampung di tangki penampung gas di Jawa. Selanjutnya dialirkan ke industri yang sangat membutuhkan gas.

Berlakunya MEA, kata Putri, membuat izin registrasi tak lagi diperlukan untuk mengedarkan produk ke negara lain.

Khususnya bagi industri kosmetik dan jamu yang telah memiliki brand, hal itu tidak akan terlalu berpengaruh. Malah hal tersebut menjadi peluang baru untuk lebih berekspansi ke negara-negara anggota ASEAN. “Bagi perusahaan minimal menengah ke atas yang memiliki branding kuat, mungkin ini mengandung kesempatan juga untuk naik kelas menjadi pemain regional,” ujar Putri, yang juga Direktur Utama Mustika Ratu.

Namun industri UKM-nya bakal makin terjepit. Sudah diserang produk murah asal Cina, produk UKM lokal akan kian tenggelam di pasaran dalam negeri.

Hal yang sama berlaku di industri makanan dan minuman. “Yang besar bakal bisa berkompetisi. Namun industri menengah-kecil dan rumah tangga, ini yang berat,” kata Adhi S. Lukman, Ketua Gabungan Makanan dan Minuman Indonesia. Jumlahnya lebih dari 90% dari industri makanan minuman di Tanah Air.

Karena itu, yang mesti segera dilakukan pemerintah adalah mengatasi problem daya saing itu dan tidak hanya memikirkan enaknya, yakni produk dalam negeri bisa juga bebas berekspansi ke negara-negara anggota ASEAN. Khususnya bagi UKM, menurut Putri, pemerintah harus memberikan kemudahan khusus dan pembinaan.

Putri K. Wardani mengisahkan, dalam retret di Istana Bogor, April lalu, masih banyak tuntutan dan hambatan industri serta perdagangan yang diajukan dalam forum Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (P3EI).

Rencananya, per tiga bulan akan ada retret pengawalan kerja kabinet. “Kita lihat itu dahulu sampai di mana progress-nya. Kalau itu pun belum terjadi, rasanya masih sulit untuk membicarakan ME ASEAN. Akan semakin terperosoklah pelaku industri dan tenaga kerja kita,” katanya. Jangan sampai menjadi penonton di negeri sendiri.

Neraca Perdagangan Indonesia dan Negara-negara ASEAN Lainnya (2010)

Ekspor Indonesia (US$ milyar)       Impor Indonesia (US$ milyar)       Neraca Perdagangan bagi Indonesia (US$ milyar)
Thailand                        4,566                               7,470 (Defisit)                                 2,904
Singapura                    13,723                             20,240 (Defisit)                                 6,517
Malaysia                        9,362                               8,648 (Surplus)                               0,714
Filipina                           3,180                               0,706 (Surplus)                               2,474
Brunei Darussalam        0,061                               0,666 (Defisit) )                               0,605
Vietnam                         1,946                                1,142 (Surplus)                               0,804
Kamboja                        0,217                                0,004 (Surplus)                               0,213
Laos                              0,005                                0,0006 (Surplus)                             0,0044
Myanmar                       0,284                                0,031 (Surplus)                               0,253

Sumber: Kementerian Perdagangan RI

 

Masyakarat Ekonomi yang Tidak Setara

Jurang perbedaan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik, di antara negara-negara ASEAN sangat lebar. Ada sebuah negara dengan gross domestic bruto (GDP) dan pendapatan per kapita sangat tinggi, ada pula yang sebaliknya. Misalnya, Singapura adalah negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di ASEAN, yaitu di atas US$ 53.180. Sedangkan Myanmar adalah yang terendah, yakni US$ 468,6. Jurang ekonomi antarnegara ini menjadi pekerjaan rumah yang besar sebelum Masyarakat Ekonomi ASEAN benar-benar diwujudkan pada 2015.

Hal itu sangat berbeda dari proses pembentukan masyarakat Uni Eropa. Di Uni Eropa, jurang perbedaan antar-negara anggotanya tidak terlalu lebar. Selain itu, proses pembentukan Masyarakat Uni Eropa juga sangat lama. Kesepakatan pembentukan Uni Eropa muncul pada 1957 dan Masyarakat Ekonomi Eropa baru terbentuk pada 1992 atau memerlukan waktu 35 tahun.

Adapun kesepakatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN muncul pada saat KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003 atau biasa disebut Bali Concorde II. Ada tiga pilar menuju komunitas ASEAN ini. Mereka adalah ASEAN Economic Community, ASEAN Political and Security Community, dan ASEAN Sosio Cultural Community.

Usai hajatan tahunan itu, disusunlah cetak biru untuk masing-masing pilar. “Perlu waktu empat tahun menyusun cetak biru yang disetujui seluruh anggota ASEAN itu,” kata Rahmat Pramono, Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN Kementerian Luar Negeri RI.

Dalam blueprint Masyarakat Ekonomi ASEAN itu terdapat empat pilar pendekatan startegis. Yakni menuju pasar tunggal dan basis produksi, menuju wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi, menuju kawasan dengan pembangunan ekonomi yang seimbang, dan menuju integrasi penuh dengan ekonomi global.

Dari empat pilar itu, yang paling lemah pelaksanaannya adalah menuju kawasan dengan pembangunan ekonomi yang seimbang. “Perkembangannya sangat minim,” ujarnya. Sebab empat negara anggota dinilai masih tertinggal, yakni Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi gap antara satu negara dengan negara yang lain. “Kalau tertinggal semakin jauh, mereka makin tidak bisa menikmati kerja sama ekonomi ini,” katanya.

Meski Vietnam secara ekonomi sudah jauh lebih baik dan layak untuk tidak disamakan lagi dengan Kamboja, Laos, dan Myanmar, mereka tampaknya ngotot untuk tetap berada pada “kelas” itu. “Mereka masih ingin mendapatkan bantuan,” kata Pramono.

Meskipun waktu menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN tinggal empat tahun lagi, Pramono optimistis, MEA yang dicita-citakan bakal terwujud. Meskipun, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya menyadari dan telah mengantisipasi bahwa 2015 tidak mungkin semuanya sempurna 100%. “Makanya, beyond 2015 itu juga perlu untuk tidak hanya bagaimana melangkah ke depan, melainkan juga mengonsolidasikan kekurangan-kekurangan apa yang terjadi selama ini,” ujarnya.

Irwan Andri Atmanto dan Bernadettta Febriana

Statistik Negara-negara ASEAN


Indonesia GDP: US$ 540 milyar Pendapatan per kapita: US$ 2.278 Jumlah penduduk: 237 juta jiwa 

Malaysia GDP: US$ 192 milyar Pendapatan per kapita: US$ 7.111 Jumlah penduduk: 27 juta jiwa

Singapura GDP: US$ 257,4 milyar Pendapatan per kapita: US$ 53.180 Jumlah penduduk: 4,84 juta jiwa

Thailand GDP: US$ 264 milyar Pendapatan per kapita: US$ 3.916 Jumlah penduduk: 67,4 juta jiwa

Filipina GDP: US$ 161 milyar Pendapatan per kapita: US$ 1.701 Jumlah penduduk: 94,6 juta jiwa

Brunei Darussalam GDP: US$ 6,985 milyar Pendapatan per kapita: US$ 47.949 Jumlah penduduk: 392.280 jiwa

Vietnam GDP: US$ 90,1 milyar Pendapatan per kapita: US$ 1.108 Jumlah penduduk: 87,3 juta jiwa

Kamboja GDP: US$ 11,45 milyar Pendapatan per kapita: US$ 805 Jumlah penduduk: 14,22 juta jiwa

Laos GDP: US$ 5,54 milyar Pendapatan per kapita: US$ 886 Jumlah penduduk: 6, 05 juta jiwa

Myanmar GDP: US$ 28,67 milyar Pendapatan per kapita: US$ 468,6 Jumlah penduduk: 61,19 juta jiwa

Sumber: Diolah dari data statistik negara, IMF dan Bank Dunia

Perjalanan Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN

 


2003 KTT ASEAN ke-9 di Bali, Indonesia, tahun 2003, menyepakati pembentukan komunitas ASEAN dalam tiga pilar: ASEAN Political and Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Culture Community, dikenal dengan Bali Concord II. 

2004 ASEAN mulai meneken kerja sama dengan negara di luar ASEAN dalam bidang ekonomi. Yang pertama dengan China (ASEAN-China FTA).

2005 Spirit integrasi ekonomi ASEAN semakin ditingkatkan dengan menambah sektor prioritas, yaitu secara agresif diliberalisasikan pada 2010 dan jasa logistik pada 2013.

2006 ASEAN bersepakat dengan Korea tentang ASEAN-Korea FTA.

2007 Pada Januari 2007, para kepala negara ASEAN sepakat mempercepat pencapaian MEA dari tahun 2020 menjadi tahun 2015. Pada tahun yang sama, ditandatangani Piagam ASEAN dan cetak biru MEA. Cetak biru MEA ditandatangani pada November 2007, memuat jadwal strategis untuk masing-masing pilar yang disepakati, dengan target waktu yang terbagi dalam empat fase, yaitu tahun 2008-2009, 2010-2011, 2012-2013, dan 2014-2015. Sejak cetak biru MEA disahkan, maka proses mewujudkan MEA makin jelas.

2008 Tahun pertama pelaksanaan cetak biru MEA dan Piagam ASEAN.

2009 Pada Februari 2009, ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) atau perjanjian perdagangan barang ASEAN ditandatangani. ATIGA merupakan kodifikasi dari berbagai perjanjian/ketentuan di bidang perdagangan barang yang dikonsolidasi dan disinergikan menjadi referensi dokumen tunggal. ATIGA menggantikan perjanjian tahun 1993 mengenai Common Effective Preferential Tariff Scheme for the ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA). Terhitung sejak 16 Januari 2010, sembilan negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, dan Vietnam) telah meratifikasi perjanjian ATIGA.

Pada Februari 2009 juga ditandatangani ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) oleh menteri-menteri ASEAN. ACIA merupakan hasil konsolidasi dan revisi dua perjanjian investasi ASEAN: ASEAN Agreement for the Promotion and Protection of Investments (juga dikenal sebagai ASEAN Investment Guarantee Agreement atau ASEAN IGA) pada 1987 dan Framework Agreement on the ASEAN Investment Area (dikenal sebagai AIA Agreement), serta protokol-protokol yang terkait.

2010 KTT ASEAN di Hanoi, Vietnam, pada Oktober 2010 mengesahkan Rencana Induk Konektivitas ASEAN. Rencana induk ini bertujuan membuat keterhubungan antar-negara anggota ASEAN dengan tujuan menciptakan kawasan ASEAN yang berdaya saing tinggi.

Sejak 1 Januari 2010, ASEAN-6 menghapuskan tarif dari 7.881 pos tarif tambahan, sehingga terdapat 54.467 pos tarif yang bea masuknya nol (zero duty) atau 99,65% dari pos tarif yang diperdagangkan dalam Common Effective Preferential Tariff (CEPT-AFTA). Dari 7.881 pos tarif tambahan itu, terdapat barang-barang dalam sektor prioritas integrasi (PIS) sebesar 24,15% pos tarif, besi dan baja sebanyak 14,92%, mesin dan peralatan mekanis 8,93%, dan bahan kimia 8,3%.

Penghapusan tarif dari pos tarif tambahan itu menurunkan rata-rata tingkat tarif ASEAN-6 dari 0,79% pada 2009 menjadi 0,05% pada 2010. Untuk ASEAN-4, sejumlah 34.691 pos tarif atau 98,96% dari total pos tarif telah berada pada rata-rata tingkat tarif 0%-5% setelah tarif dari 2.003 pos tarif tambahan diturunkan menjadi 0%-5%. Selain barang yang disebutkan tadi, produk seperti bahan makanan olahan, mebel, plastik, kertas, semen, keramik, kaca, dan aluminium asal ASEAN juga akan menikmati bebas bea masuk ke Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

2011 Pada KTT ASEAN ke-15 di Jakarta pada 7-8 Mei, para kepala negara ASEAN meneguhkan kembali perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *