Etika Ekonomi Kaum Priyayi


Indeks tingkat korupsi di Indonesia mengalami peningkatan. Harian Koran Jakarta (22/05) memberitakan, dibanding dengan tingkat korupsi pada 2004 yang berada pada angka 2,0 persen, indeks itu meningkat menjadi 2,8 pada 2010. Peningkatan ini oleh Denny Indrayana, sekretaris Satgas Mafia Hukum, disebut sebagai “angka tertinggi dalam sejarah Republik ini,” dan pada saat yang sama sekaligus menempatkan Indonesia pada peringkat tertinggi tingkat korupsi negara-negara di Asia Tenggara. Sebuah prestasi yang patut membuat kita menutup muka rapat-rapat.

Potret ini memunculkan ironi. Di satu sisi, telah beberapa tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri di negeri ini. Bagi sebagian orang, keberadaan lembaga antikorupsi di sebuah negara saja sudah merupakan ironi karena itu menunjukkan tingkat korupsi yang teramat akut, hingga lembaga khusus yang menangani kejahatan itu mesti dibentuk. Situasi di Indonesia menunjukkan ironi yang semakin kontras karena betapa pun lembaga antikorupsi sudah bekerja, alih-alih menurunkan tingkat korupsi, angka korupsi justru meningkat.

Di sisi lain, lembaga-lembaga seperti KPK tentu bukan pemikul tanggung jawab tunggal terhadap kejahatan korupsi ini. KPK hanya salah satu unsur dalam upaya pemberantasan korupsi, sehingga ia menjadi tidak terlalu berdaya ketika unsur-unsur lain dalam negara tidak menunjukkan kesungguhan.

Korupsi memang berkaitan erat dengan politik. Fakta di Indonesia menyebutkan, korupsi lebih banyak lahir dari arena politik. Maka tak aneh, korupsi tak jarang pula diciptakan demi kepentingan-kepentingan politik, juga bisa dengan mudah menghilang karena kompromi politik. Di atas segalanya, kekuatan terpenting pada pemberantasan korupsi juga ada pada kemauan politik penguasa. Di luar ranah politik, korupsi berhubungan erat dengan etika ekonomi suatu bangsa.

Sejarahwan terkemuka, almarhum Kuntowijoyo punya cara pandang yang mendasar dan unik dalam melihat budaya korupsi di Indonesia. Baginya, korupsi di Indonesia sangat erat kaitannya dengan etos ekonomi bangsa. Inti pandangan Kunto adalah bahwa tumbuh suburnya budaya korupsi di negeri ini, salah satunya dipicu miskinnya etika ekonomi kelas penguasa. Menurut pandangan Kunto, dalam sejarah Indonesia Modern, khususnya di Jawa, hanya golongan wong cilik santri yang memiliki etika ekonomi tinggi. Meskipun kelompok ini pada mulanya hanya merupakan enclave kecil yang dianggap tidak signifikan keberadaannya dalam struktur makro masyarakat Indonesia; pada perkembangan zaman, tepatnya pada awal abad ke-20, anggapan itu memudar, seiring dengan semakin signifikannya peran ekonomi santri.

Di sisi lain, golongan priyayi dan bangsawan Jawa terjebak pada anggapan bahwa kegiatan ekonomi yang umumnya berwujud perdagangan dan manufaktur dianggap sebagai pekerjaan masyarakat kelas bawah yang hina dan mengotori tangan. Kenyataan ini, barangkali, turut pula menyuburkan iklim imperialisme Belanda di tanah Jawa dan Indonesia pada umummya, yang salah satu motivasi terpentingnya adalah penimbunan kapital melalui usaha perdagangan dan manufaktur. Maka, pertumbuhan ekonomi pemerintahan kolonial yang pesat dengan memiskinkan kaum pribadi salah satunya berhubungan dengan mental atau etika ekonomi kaum priyayi yang lemah. Sementara priyayi Jawa dimanja dengan sejumlah keistimewaan sepanjang mereka memberikan restu atas kepentingan ekonomi Belanda.

Karena kaum priyayi dan bangsawan Jawa ini memiliki etika ekonomi yang lemah, kata Pak Kunto, mereka sepenuhnya bertumpu pada sistem kedudukan (lungguh). Dalam struktur feodal masyarakat Jawa kedudukan yang dimiliki para priyayi ini yang memberikan privilege kepada mereka. Akibatnya, keistimewaan–keistimewaan itu membenamkan mereka dalam “kemalasan”, dan ketika keistimewaan itu hilang seiring dengan pudarnya penjajahan, para penguasa lalu menggantungkan diri pada sistem gaji, ketika sistem administrasi birokrasi modern mulai dikenal. Akibatnya, etika ekonomi di kalangan priyayi Jawa sama sekali tidak tumbuh. Di sinilah terjadi suatu titik balik yang cukup signifikan dalam bidang ekonomi. Tulis Pak Kunto, “Semangat ekonomi santri-pengusaha-pedagang itu telah mengakibatkan mobilitas sosial ke atas, sedangkan para bangsawan dan priyayi yang tidak punya etika ekonomi mengalami pemiskinan” (Kuntowijoyo, 2002: 9).

Di samping terjadinya mobilisasi kelas kaum santri-pengusaha-pedagang yang telah menjadikan posisi mereka tak lagi dianggap hina, modernitas telah pula menjadikan perdagangan bisa dilakukan “di balik meja”. Ketika ini terjadi, perdagangan dan manufaktur tak lagi dianggap sebagai kegiatan yang hina dan mengotori tangan. Dari situlah kemudian kelas penguasa “tergoda” untuk turut serta dalam bisnis. Maka, simpul Kuntowijoyo, terjadinya korupsi berkepanjangan di Indonesia karena kelas penguasa yang tidak memiliki etika ekonomi yang baik itu kemudian turut pula dalam kegiatan bisnis.

Analisis seperti ini sangat tepat untuk menggambarkan situasi di Indonesia saat ini. Situasinya menjadi semakin sulit, ketika para pemilik modal itu menyadari betapa pentingnya posisi mereka dalam struktur makro kehidupan bernegara, dan mereka memanfaatkan situasi itu dengan secara perlahan-lahan “mengkooptasi” penguasa demi kepentingan modal.

Sementara para pemegang kekuasaan yang dalam bahasa Kuntowijoyo tadi miskin etika ekonomi, dituntut untuk mempertahankan eksistensi kekuasaannya yang mau tidak mau akan sangat bergantung kepada ketersediaan kapital. Di situlah kepentingan keduanya saling terisi dan secara perlahan-lahan namun pasti, korupsi menjadi bagian yang tak terelakkan dari hampir semua tahapan strategis kehidupan bernegara. Parahnya karena praktik seperti itu seperti telah menjadi bagian dari mekanisme, meninggalkannya akan terasa sebagai sebuah keganjilan dan kemudian pada waktunya nanti menggiring mereka yang menghindarinya ke dalam ruang alienasi yang mematikan.

Maka tingkat kejahatan tertinggi adalah ketika kelas penguasa dan pemilik modal melakukan aliansi strategis untuk mengamankan kepentingan masing-masing. Terlebih, jika pemegang kuasa dan pengelola modal berada dalam satu tangan, maka benang kusut korupsi akan semakin susah diurai. Di samping itu, dorongan-dorongan kekuatan global juga memberikan ruang yang leluasa bagi tumbuhnya budaya seperti ini. Demokrasi misalnya, terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, sebenarnya turut serta mempersubur kapitalisme dan akumulasi modal yang dengan sendirinya menggiring kuasa politik dan ekonomi pada satu tangan tersentral.

Inilah yang dengan sangat gamblang kita saksikan di Indonesia. Di satu sisi, demokrasi prosedural telah tercapai, tapi pada saat yang sama tingkat korupsi juga tidak berkurang. Dengan kenyataan seperti ini, harapan akan terkikisnya budaya korupsi dari warna dominan politik Indonesia nampaknya masih sangat jauh.

Pradana Boy ZTF
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Malang. Kandidat doktor National University of Singapore (NUS).

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *