Kepalsuan Pemerintah Pusat di Balik Pernyataan tentang Mobil Murah


Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo alias Jokowi, dan Wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, tak berdaya berhadapan dengan program Pemerintah Pusat mengenai mobil murah ramah lingkungan, low cost green card (LCGC).

Jokowi menilai bahwa program mobil murah ini akan mengancam hasil kerja super kerasnya demi mengatasi kemacetan parah di Jakarta. Jokowi khawatir bahwa keberadaan mobil murah ini akan menetralisir semua upaya kerasnya mengatasi kemacetan Jakarta itu. Semua kerja kerasnya itu terancam mubazir.  Ketika Jokowi baru memulai upaya kerasnya mengurangi jumlah mobil pribadi yang berlalu-lalang di jalanan-jalanan kota Jakarta melalui program-programnya itu, bersamaan dengan itu justru Pemerintah Pusat memberi insentif kepada warga Jakarta dan sekitarnya untuk bisa membeli semakin banyak mobil pribadi melalui program mobil murahnya itu.

Jalanan-jalanan di Jakarta terancam akan semakin sesak dengan kehadiran mobil-mobil murah itu. Yang sebelumnya hanya bisa membeli satu mobil, akan bisa membeli lebih dari satu. Yang sebelumnya hanya bisa membeli sepeda motor, akan mengganti sepeda motornya dengan mobil murah itu. Apalagi nanti penjualan itu dibarengi dengan berbagai sistem kredit yang lunak. Padahal, tanpa mobil murah itu pun sudah ada prediksi bahwa di 2014 lalu-lintas kendaraan bermotor di Jakarta nyaris terkunci.

Data termutakhir pada Pemrov DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya menyebutkan  jumlah kendaraan roda empat di wilayah Jakarta mencapai 2.541.351 unit, sedangkan kendaraan roda dua mencapai 9.861.451 unit atau mengalami peningkatan 11 persen dari tahun sebelumnya.

Jumlah ini belum termasuk jumlah kendaraan bermotoryang setiap harinya masuk Jakarta dari berbagai kota di sekitar Jakarta (Bodetabek).

 

Pertumbuhan jumlah kendaraan ini tak sebanding dengan pertumbuhan panjang ruas jalan di DKI Jakarta yang hanya 0.01 persen setiap tahun. Akibatnya kemacetan seolah menjadi hal lumrah di Jakarta (Tribunnews.com, 05/03/2013).

Bedasarkan pemikiran itulah Jokowi dengan tegas menyatakan tidak setuju dengan program mobil murah Pemerintah Pusat itu.  Atas pernyataan penolakan Jokowi itu, reaksi cepat langsung dilontarkan oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat. Dia bilang, Jokowi terlalu berlebihan dalam menyikapi program mobil murah itu.

Respon MS Hidayat terhadap penolakan Jokowi itu merupakan awal dari rangkaian pejabat-pejabat Pemerintah Pusat yang “mengeroyok” Jokowi demi membela program mobil murah mereka itu. Mulai dari MS Hidayat, diikuti oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Perhubungan EE. Manindaan, Wakil Menteri Anny Ratnawati, dan Wakil Presiden Budiono. Semuanya memberi pernyataan untuk menyela penolakan Gubernur DKI Jakarta itu.

Jika diperhatikan  dengan saksama, di balik pernyataan-pernyataan pembelaan terhadap program mobil murah dari pejabat-pejabat Pemerintah Pusat itu, terlihat adanya kepalsuan dan kebohongan-kebohongan di baliknya

 

MS Hidayat, Pernyataan “Ajaib”

 

“Kasih tahu Pak Jokowi, ini juga ditujukan kepada rakyat yang berpenghasilan kecil dan menengah, rakyat yang mencintai dia juga. Harus diberikan kesempatan kepada rakyat kecil yang mencintai Pak Jokowi untuk bisa membeli mobil murah,” kata Menteri Perindustrian MS Hidayat di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis, 12 September 2013 (Kompas.com).

Hidayat mengatakan, tidak ada salahnya jika rakyat yang memiliki kemampuan lalu membeli mobil murah. Katanya,  “Indonesia sudah 68 tahun merdeka, masa rakyat miskin tidak boleh membeli mobil murah?”

Ini pernyataan “ajaib” yang pertama dari  Hidayat. Bayangkan saja, mana ada di dunia ini yang namanya orang miskin, tetapi mampu membeli mobil (baru) sekalipun diembel-embel “murah”?

Atau, memang, karena yang bicara ini termasuk orang yang sangat kaya, — Menteri lagi, maka bagi dia uang sebesar Rp 70 jutaan sampai Rp 100 jutaan itu (harga per unit mobil murah) seperti uang receh saja. Bagi dia, mereka yang hanya mampu membeli mobil seharga demikian masih tergolong orang miskin.

Hidayat mengatakan, rakyat kecil yang mencintai Jokowi itu juga membutuhkan mobil murah. Oleh karena itu mereka juga harus diberi kesempatan membeli mobil murah itu. Pernyataan ini menunjukkan ketidakpahaman Hidayat sebagai seorang pejabat tinggi terhadap apa yang sesungguhnya dibutuhkan rakyat kecil. Bagaimana bisa mereka membutuhkan dan bisa membeli mobil, semurah apapun mobil itu, kalau untuk memenuhi kebutuhan primernya saja sehari-hari, pangan, dan papan sudah setengah mati?

Di sinilah kembali terlihat perbedaan nyata antara seorang pejabat yang hatinya jauh dengan rakyat tetapi sok merakyat dengan seorang pejabat yang benar-benar merakyat.

Merespon pernyataan Hidayat itu, Jokowi mengatakan, yang dibutuhkan masyarakat itu bukan mobil murah, tetapi transportasi umum yang murah, aman dan nyaman. Jokowi itu tahu apa sesungguhnya yang dibutuhkan rakyat, karena dia hampir setiap hari berada di tengah-tengah mereka.

Bagaimana bisa, Hidayat mau memberitahukan Jokowi tentang apa yang dibutuhkan rakyat kecil – seolah-olah dia mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan rakyat kecil itu, sedangkan yang hampir setiap hari berada di tengah-tengah rakyat kecil, dan mendengar curhat-curhat mereka secara langsung itu justru Jokowi, dan bukannya MS Hidayat?

Saya yakin, meskipun namanya “mobil murah”, nantinya pembeli mayoritasnya juga adalah dari kalangan menengah-atas. Di seluruh Indonesia, pembeli mayoritasnya juga pasti dari Jakarta dan sekitarnya. Mereka membelinya untuk anak-anaknya ke sekolah, untuk karyawan-karyawannya, untuk mobil operasional, dan sebagainya

Hidayat juga mengatakan, mobil murah itu tidak hanya ditujukan untuk wilayah Jakarta atau kota sekitarnya. Namun, bakal juga didistribusikan untuk 500 kota di Indonesia.

“Penjualannya saya minta supaya merata, di-launching di semua tempat. Jadi, ketakutan untuk kemacetan di Jakarta dan Bodetabek bisa saya mengerti, tapi agak berlebihan.Kaya saya dulu lima tahun naik sepeda motor waktu mahasiswa, lalu punya kemampuan beli mobil, yah, beli mobil,” kata Hidayat.

Hidayat juga bilang, dia akan berbicara dengan para produsen dan distributor mobil murah itu agar penjualannya dibatasi per wilayah.

Boleh-boleh saja permintaan Hidayat itu dilaksanakan, tetapi, bagaimana pun daya serap Jakarta dan Bodetabek pasti berlipat-lipat kali lebih besar daripada semua daerah lain itu. Dan, tidak mungkinlah produsen dan dealer mobil-mobil murah itu akan menolaknya.

Jokowi dengan yakin mengatakan, “Lihat saja nanti pelaksanaannya, siapa yang paling banyak beli, pasti warga di Jabodetabek. Saya tahu karena kita ini orang lapangan.

Hidayat memberi contoh, dulu, waktu masih mahasiswa dia pakai sepeda motor, setelah mampu membeli mobil, ya, pakai mobil.

Nah, sekarang ini, jumlah sepeda motor di Jakarta saja sudah mencapai 10 jutaan unit, — hampir menyamai jumlah penduduknya. Bagaimana jika dengan adanya mobil murah ini, misalnya dalam kurun waktu satu-dua tahun saja dari mereka“mengikuti jejak” Hidayat untuk beralih dari sepeda motor ke mobil murah itu? Berarti, ada pertambahan 1 juta mobil murah  baru di Jakarta. Belum lagi yang berdatangan dari kota-kota lain sekitar Jakarta (Bodetabek). Dengan bodinya yang jauh lebih kecil saja, jutaan sepeda motor itu sudah lebih dari cukup ikut membuat Jakarta semrawut, apalagi dengan bodi yang lebih besar dari mobil murah. Belum lagi ditambah dengan pertumbuhan mobil jenis lainnya.

Pernyataan Hidayat itu, hanya berlaku jika semua sistem transportasi umum di Jakarta sudah bagus. Mayoritas orang pasti akan lebih suka menggunakan alat transportasi umum, meskipun dia mampu membeli mobil.

Inilah akibatnya dari kebijakan pemerintah yang selama ini sangat kurang mengantisipasi suatu kondisi dampak dari pertumbuhan penduduk, kemajuan ekonomi, dan teknologi. Prinsipnya, “bagaimana nanti”: Kalau muncul persoalan baru dipikirkankan pemecahannya. Ketika persoalannya sudah sedemikian krusial, maka pemecahannya pun pasti akan luar biasa rumitnya. Itulah yang terjadi sekarang, dan entah sampai kapan.

Ketika kondisi lalu-lintas jalanan belum separah sekarang, puluhan tahun sebelumnya seharusnya pemerintah sudah membangun infrastrukur, dan sistem transportasi umum yang memadai di kota-kota besar, terutama sekali di Jakarta, yang dijadikan pusat dari semua kegiatan: Pusat pemerintahan,  pusat bisnis dan industri, perdagangan, hiburan, dan sebagainya. Seandainya itu sudah dilakukan pemerintah sejak dulu, maka sekarang ini dengan adanya program seperti mobil murah (LCGC) ini pasti akan diterima semua pihak.

Sekarang, ketika semua hal itu belum diwujudkan pemerintah, infrastruktur yang masih sangat jauh dari memadai ditambah dengan prasarana transportasi umum yang masih buruk, Pemerintah Pusat tetap saja memaksa keadaan dengan program mobil murahnya itu.

Pemprov DKI Jakarta pun tak bisa berbuat banyak, tidak mungkin bisa melawan kebijakan Pemerintah Pusat itu, maka Jokowi-Ahok hanya bisa mempercepat program mengatasi kemacetan Jakarta mereka dengan antara lain, akan menambah bus umum, pembatasan operasional kendaraan berdasarkan nomor ganjil-genap, dan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP).

Itu pun tidak akan terlalu banyak membantu, jika infrastrukturnya dan sistem transportasi massalnya masih seperti sekarang untuk jangka waktu relatif lama.

Mayoritas pembeli mobil murah juga diyakini adalah dari kalangan ekonomi menengah-atas. ERP, bisa jadi tidak akan menjadikan halangan terlalu berarti bagi mereka untuk menggunakan mobilnya itu. Kalau mereka merasa harus atau lebih baik melewati kawasan ERP itu, daripada berputar-putar mencari jalan alternatif dan terjebak macet, membayar, bukan sesuatu yang berat bagi mereka

Selain memberi pernyataan kontradiksinya tentang mobil murah untuk rakyat miskin, Menteri Perindustrian MS Hidajat juga mengatakan, untuk mencegah bertambahnya beban subsidi terhadap BBM, Pemerintah akan mewajibkan pengguna mobil murah menggunakan BBM Non-Subsidi. Ajaib sekali!

Mobil itu akan diwajibkan menggunakan BBM non subsidi. Aturannya sedang dibuat dan siapa yang mengawasi,” ungkap Hidayat di kantor Kementerian Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (12/9/2013).

Bagaimana tidak ajaib, sementara mobil kelas menengah dan mewah bebas menggunakan BBM bersubsidi, mobil murah mau diwajibkan (hanya boleh) memnggunakan BBM non-subsidi! Logikanya di mana?

Hidayat juga bilang, mobil murah itu harus pakai BBM beroktan RON 92, sejenis Pertamax (non-subsidi), karena kalau tidak, kalau mau pakai Premium (non-subsidi), maka mobil-mobil itu pasti akan rusak.

“Bagi pemilik mobil murah ini, kalau dia menggunakan BBM di bawah RON 92 (Pertamax)  dalam 1-2 tahun mobilnya akan rusak,” kata Hidayat di JI Expo Jakarta, Kamis (19/9/2013). (Kompas.com)

Ia menambahkan, bila pemilik mobil murah memaksakan pemakaian premium dan mesin rusak, tidak akan mendapatkan garansi dari produsennya. Hal ini untuk menjaga kualitas mesin mobil murah tersebut.

Benarkah demikian?

VP Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir kepada Kompas.com, mengatakan, penggunaan premium (BBM jenis Ron 88) untuk mobil murah tidak akan merusak mobil tersebut. Tapi penggunaan jenis BBM subsidi, menurutnya akan mengurangi performa atau kinerja dari mobil itu sendiri.

“Kalau merusak sih tidak. Tapi akan menurunkan performa mobil tersebut,” kata Ali. Sehingga Ali menyarankan kepada pemerintah untuk segera membuat kebijakan yang jelas soal konsumsi jenis BBM untuk mobil murah tersebut.

Bukankah, apa yang dijelaskan oleh Ali ini berlaku juga untuk semua mobil? Justru mobil mewahlah yang lebih rentan dengan penggunaan BBM di bawah standar seperti Premium, tetapi kok dibebaskan, sedangkan mobil murah yang mau diwajibkan menggunakan BBM non subsidi?

Belakangan muncul wacana lagi dari Pemerintah Pusat menyangkut jenis BBM yang seharusnya digunakan mobil LCGC alias mobil murah ini, yakni, dengan menggunakan Bahan Bakar Gas (BBG). Ini lebih masuk akal, sinkron dengan predikat yang disandangnya sebagai “green car”, aneh jika masih menggunakan Premium yang kadar kontamidasinya cukup tinggi. Tetapi, pertanyaannya, sudah kah pemerintah siap dengan stasiun pengisi BBG ini di seluruh daerah yang katanya akan dijadikan sasaran pasar penjualan mobil LCGC itu

Tampil beda dengan kolega-koleganya di Kabinet, Menteri Perhubungan EE Mangindaan setuju kebijakan produksi mobil murah ramah lingkungan (LCGC) itu akan menambah kemacetkan di kota-kota besar, terutama sekali di Jakarta. Tetapi, lanjutnya, karena program itu sudah diluncurkan, maka, sekarang harus dipikirkan pemecahannya agar Jakarta tidak tambah macet.

“Sekarang kalau sudah jadi (LCGC), mari kita berpikir macet. Kami tidak hambat (LCGC). Sekarang kalau sudah jadi, saran kami pikirkan supaya tidak tambah macet,” kata Mangindaan di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (18/9/2013).

Ini namanya memakai prinsip dasar dari “bicara dulu, pikirnya kemudian,” bikin dan jalankan dulu programnya, bagaimana mengatasi dampak buruknya, nanti dipikirkan kemudian. Bisa diatasi atau tidak, urusan nanti.

Wakil Presiden Boediono, Normatif

Dalam pidato pembukaan Indonesia International Motor Show (IIMS) 2013 di JI Expo, Wapres Boediono menyempatkan untuk menjawab surat Jokowi kepadanya. Saat itu yang hadir mewakili Jokowi adalah, Ahok. Intinya, Boediono mengatakan, pemerintah pusat tidak akan lepas tangan atasi masalah DKI. “Mulai dari kemacetan, banjir, hingga perumahan. Kami siap membantu dan duduk bersama, karena DKI adalah jendela. Kami akan melakukan apa yang bisa kami lakukan,” jelas Boediono.

Kekhawatiran LCGC menambah masalah metropolitan, dikatakan Boediono, mungkin juga akan melanda urban city lain. Solusinya, meningkatkan secepat mungkin keberadaan public transportation. “Memang itu kuncinya. Kita tidak perlu menghambat atau melarang orang beli mobil. Tapi lebih tajamnya, bebani mereka. ERP segera laksanakan, cepat cari celah,” pesannya.

Boediono sudah lupa tentang 17 Instruksi-nya kepada Pemprov DKI Jakarta pada September 2010 lalu, yang ada satu  poin di antaranya yang bertentangan dengan jawabannya sekarang ini. Yakni, poin 13 memberi instruksi:  “Membatasi jumlah kendaraan bermotor (di Jakarta).”

Jawaban Boediono itu jelas-jelas suatu jawaban yang normatif, apa wujud kongkrit dari “pemerintah pusat selalu siap membantu Pemprov DKI jakarta (dalam konteks ini mengatasi macet)”? Faktanya, justru kebalikan. Dengan program mobil murah tanpa didukung perbaikan infrastruktur dan transportasi  umum terlebih dulu, jelas akan menambah beban yang saat ini saja nyaris tak terpikulkan oleh Pemprov DKI.

Pemerintah Pusat memang tidak menghambat dan melarang orang beli mobil, — sesuatu yang memang tidak mungkin, tetapi yang pasti adalah Pemerintah Pusat telah merangsang orang semakin suka dan semakin banyak membeli mobil dengan program mobil murahnya itu.

 

Gaikindo “Ngambek”

Akibat dari kontroversi dan kebingungan pemerintah pusat mengenai program mobil murah itu, membuat Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) “ngambek.”

Ketua Gaikindo, Jongkie D. Sugiharto meminta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar berhati-hati dalam menyikapi keberadaan mobil murah. Terutama sebelum memutuskan untuk menghambat penjualan mobil murah. “Jangan seolah-olah tidak ada perlindungan bagi investor,” ujarnya di Jakarta, Jumat, 20 September 2013 (Jawa Pos, Sabtu, 21/09/13).

Jongkie menambahkan, jika pertimbangannya adalah kemacetan pemerintah daerah yang menolak mobil murah seharusnya introspeksi dan terus mengembangkan ketersediaan angkutan umum massal di wilayah masing-masing. “Kalau angkutan umum sudah aman, nyaman, dan terjangkau, masyarakat pasti tidak beli mobil,” tegasnya.

Apabila dihambat, ujar Jongkie, industri otomotif Indonesia akan kehilangan potensi investasi sehingga mungkin bisa terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). “Kalau investasinya tidak bisa masuk ke sini, terus order sepi, karyawannya menganggur, bagaimana? Kalau begitu mending impor CBU (completely built-up) saja dari Thailand, ngapaian susah-susah bikin di sini,” ucapnya.

Sebenarnya, Jongkie salah sasaran mengatakan pemerintah daerah yang menolak mobil murah (termasuk Pemprov DKI)  introspeksi dan terus mengembangkan perbaikan transportasi umumnya itu, karena justru alasan pemerintah daerah itu menolak mobil murah, karena mereka merasa belum mempersiapkan transportasi umum yang memadai itu. Yang seharusnya disuruh introspeksi itu adalah Pemerintah Pusatnya, yang sudah tahu kondisi infrastruktur dan sarana transportasi umumnya seperti ini, masih memaksakan diri dengan program mobil murah tersebut.

Pemerintah pusat mengatakan mereka tidak akan menghambat penjualan mobil murah, tetapi Gaikindo justru menilai pemerintah pusat itu tidak konsisten dengan pernyataannya itu. Antara lain lewat pernyataan Menteri Perindustrian dan Menteri Perhubungan yang muncul dengan wacana mereka bahwa produsen mobil murah akan disuruh menjual mobil-mobil mereka itu  berdasarkan pembatasan per wilayah.

Jongkie mengatakan, wacana-wacana pembatasan penjualan mobil murah seperti itu cukup menganggu semangat kalangan industri. Apalagi, yang sudah berniat memperbesar produksi LCGC-nya di pabrik yang dibangun di Indonesia. “Bagi seorang investor, ini membingungkan. Apalagi yang sudah punya rencana memperbesar produksi terus tiba-tiba dibatasi, saya nggak tahu bagimana rasanya.”

Wacana-wacana dari Pemerintah Pusat yang muncul belakangan setelah timbul kontroversi mobil murah ini, termasuk wacana pembatasan penjualan per wilayah itu, menunjukkan ketidakmampuan mereka mempersiapkan suatu program dengan matang agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar. Sekaligus menunjukkan kebingungan mereka sendiri untuk melaksanakan programnya itu. Menjadi mirip-mirip dengan kebingungan mereka dengan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi tempo hari, yang sempat tertunda beberapakali dengan berbagai wacana seperti sekarang ini

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *