Gengsi vs Jatidiri


Pernah saya memperhatikan salah seorang teman saya berbicara. Saya memperhatikan gaya bicaranya dengan serius. Dari gayanya berbicara kelihatan sekali bahwa dia adalah asli penutur bahasa Batak Toba

. Namun, ketika saya tanya dari mana asalnya, dengan tegas dia menjawab bahwa dia dia asli anak Medan. Saya sedikit tidak percaya dengan jawabannya. Namun saat dia ditelepon oleh orang tuanya dengan spontan dia menggunakan bahasa Batak Toba. Dari situlah saya yakin bahwa dia itu memang asli penutur bahasa Batak Toba.

Dalam hati saya bertanya, “Mengapa dia gengsi menggunakan bahasa daerahnya sendiri? Bukankah seharusnya dia bangga karena masih mampu menguasai bahasa Batak Toba?”.
Kegengsian menggunakan bahasa daerah kerap sekali terjadi pada diri anak — anak muda saat ini. Mereka yang berasal dari dearah dan bersekolah dan bekerja di kota cenderung melupakan bahasa daerahnya.

Dalam berkomunikasi dengan sesamanya mereka menggunakan bahasa Indonesia. Dari pendapat Mohammad Hadi dari situs webnya yang mengatakan “Sebenarnya apa untungnya dari kegengsian kita untuk berbahasa Sunda atau berbahasa daerah lainnya? Apakah kita akan naik strata di mata masyarakat karena kita selalu berbahasa Indonesia? Apakah kita akan mendapatkan penghargaan jasa ataupun materi bila kita mengarah pada pola hidup modern? Lalu, apa bentuk dedikasi kita sebagai penerus?”. Hal ini memperkuat semakin tinggi rasa gengsi masyarakat dalam menggunakan bahasa daerahya.
Masyarakat cenderung enggan menggunakan bahasa daerah dikarenakan bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional mempunyai makna resmi, modern, bergengi tinggi, menarik semangat persatuan nasional dan kurang begitu akrab. Sebaliknya, bahasa daerah, meski bersifat akrab, namun dianggap tradisional, menarik solidaritas kedaerahan dan kurang bergengsi (Soepomo, 2003:30-51). Hal lain yang menyebabkan kegengsian ini yakni mereka beranggapan akan dipandang sebgai seorang berintelektual tinggi jika selalu menggunakan bahasa Indonesia.
Rasa gengsi menggunakan bahasa daerah tidak hanya terjadi di daerah Sumatera Utara. Namun, di beberapa daerah di Indonesia kegengsian menggunakan bahasa daerah juga kerap terjadi. Saya mengetahui hal ini setelah saya membaca dari beberapa situs internet yang mengangkat masalah kegengsian menggunakan bahasa daerah yang terjadi pada beberapa suku di Indonesia. Sebagai contoh pada masyarakat Sunda yang enggan menggunakan bahasa daerahnya dalam percakapan sehari-hari di lingkungan keluarga maupun di daerah tempat tinggalya. Para orang tua muda enggan untuk mengajarkan bahasa bahasa Sunda kepada anak-anaknya. Hal tersebut dikemukakan Indriani dalam anonim (http://soenantok.multiply.com/journal/item/13/Bahasa_ Budaya_dan_Gengsi).
Kegengsian menggunakan bahasa daerah tidak hanya dilakukan oleh suku Sunda. Suku Gayo juga sudah mulai gengsi menggunakan bahasa daerahnya. Hal itu disampaikan oleh Sejarawan dan Seniman Gayo, Drs. Ibnu Hajar Lut Tawar yang menyatakan budaya Gayo telah mengalami erosi terutama dalam hal bahasa. Pernyataan disampaikan Ibnu Hajar saat memberi materi dalam acara seminar sehari tentang Sejarah dan Kebudayaan Gayo yang dilaksanakan oleh Ikatan Mahsiswa Medan (IMAGA) di Bale Pendari Takengon, Kamis (23/7).
Selain suku Batak Toba, Sunda, dan Gayo, suku Banyumas juga ikut-ikutan gengsi menggunakan bahasa daerahnya di tempat umum. Ciri khas orang Banyumas yang jika berbicara menggunakan kata ‘nyong-nyong’ yang kalau dilihat atau didengar oleh orang Jawa Tengah bagian Timur dibilang “Wong Ndeso”.

Mungkin hal itulah yang menyebabkan ada sebagian masyarakat Banyumas yang gengsi menggunakan bahasa daerahnya di tempat umum. Orang — orang Banyumas yang beberapa hari atau beberapa minggu tinggal di Jakarta akan berusaha dengan sekuat tenaga menghilangkan aksen ngapaknya dan menggantinya dengan “Lu-Gua”. Mereka melupakan jati dirinya sebagai orang Banyumas. Mereka justru lebih bangga menggunakan bahasa yang menurut mereka lebih gaul.
Miris sekali melihat begitu banyaknya masyarakat yang gengsi menggunakan bahasa daerahnya. Jika ini dibiarkan terus — menerus tidak menutup kemungkinan terjadi kepunahan terhadap bahasa daerah. Orang — orang yang menguasai bahasa daerah mestinya lebih mengembangkan dengan mengajarkannya kepada anak-anak kota yang sebagian besar tidak lagi mengenal jati dirinya sebagai suku Batak, Sunda, Gayo, Banyumas, maupun suku lainya.

Apakah memang gengsi dapat mengalahkan jati diri sebagai putra-putri daerah yang semestinya menguasai bahasa daerah dan mengembangkannya? Jika sedikit saja kita menghilangkan gengsi kita dalam menggunakan bahasa daerah kita, tentu kebudayaan kita tidak akan lenyap ditelan zaman yang semakin edan ini. Yang merasa bahwa hidup akan lebih modern jika menggunakan bahasa — bahasa gaul, prokem dan sejenisnya.
Bahasa Inggris Medok
Ada hal yang harus diketahui anak-anak muda di Indonesia bahwa orang-orang di luar negeri yang walaupun menggunakan bahasa Inggris tidak malu menampakkan asal negaranya dengan aksen berbicaranya yang kental. Seperti dikemukakan Irawan dalam websitenya yang mengatakan : “Berbicara tentang menghilangkan gengsi, saya jadi tambah tidak mengerti dengan anggapan udik orang orang Jakarta tentang “kemedokan” ini. Kalau kita perhatikan bahasa Inggris di TV atau film – film, bahasa Inggris bukan dari Inggris saja.

Aksen dari berbagai Negara tidak bisa dihilangkan hanya dengan beberapa tahun saja. Contoh paling jelas adalah Italia, Valentino Rossi, ketika dia diwawancarai di Press Conference bahasa Inggrisnya Italia sekali dan orang tidak ada yang mempermasalahkan itu, justru mereka menganggap seperti menempelkan bendera negaranya ketika berbicara meskipun pakai bahasa Internasional. Atau ketika menonton final TenisAustralia terbuka, Presiden KIA Motors memberikan sambutannya dengan bahasa Inggris yang sangat Asia sekali dan tidak ada orang yang mentertawakan. Asal dengan grammar dan pronunciation yang benar.

Aksen tidak bisa hilang. Banyak teman teman di Australia pun dialeknya masih kental sekali, Jerman, Yunani, Italia, dan Afrika Selatan. Justru perbedaan itu yang membuat dunia ini tetap berputar. Tidak lupa menyebutkan negara maju seperti Jepang, Prancis atau Jerman yang tetap menggunakan bahasa dan dialek mereka kemana pun mereka pergi. Jepang lebih sadis lagi, tidak perduli dengan turis yang tidak bisa bahasa Jepang, mereka memasang rambu rambu lalu lintas semua dengan tulisan mereka sendiri seperti yang saya tonton di Top Gear, jadi ketika navigasi berbahasa Inggris di mobilnya mati, tidak tahu bakal kemana karena semua rambu memakai bahasa Jepang, saya tidak tahu persisnya karena belum pernah ke sana tapi setidaknya seperti itu gambarannya.
Dari pendapat Irawan tersebut dapat diamabil kesimpulan bahwa orang-orang turis yang berkunjung ke negara lain tidak malu menunjukkan jati dirinya.
Fungsi dan Kedudukan Bahasa Daerah
Bahasa Indonesia mempunyai fungsi dan kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi. Namun, bahasa daerah juga mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri di Indonesia. Menurut Syahnan Daulay (2009:51) “Di dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, bahasa — bahasa di Indonesia, kecuali bahasa Indonesia, bahasa rumpun Melayu, dan bahasa asing, berkedudukan sebagai bahasa daerah. Kedudukan ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa daerah itu digunakan sebagai sarana perhubungan dan pendukung kebudayaan di daerah atau di dalam masyarakat etnik tertentu di Indonesia.

Bahasa daerah berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, (4) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, serta (5) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia.

Di dalam hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa Indonesia, (2) bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan pelajaran lain, dan (3) sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia. Dalam keadaan tertentu, bahasa daerah dapat juga berfungsi sebagai pelengkap bahasa Indonsia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah.”
Solusi yang Dapat Ditempuh
Melihat kenyataan tersebut solusi yang harus dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah sebagai berikut. Bagi masyarakat, dengan membiasakan diri menggunakan bahasa daerah. Misalnya dengan keluarga, teman pada situasi yang tepat. Penguasaan bahasa daerah harus tetap ada dalam diri setiap anak negeri. Mereka harus menyadari dari mana asal-usul mereka dan menguasai bahasa daerahnya, sehingga ketika ada orang yang sekampung atau serumpun, mereka bisa saling berbicara dengan bahasa daerahnya masing-masing. Setidaknya dengan penguasaan akan bahasa daerah dapat menunjukkan jati diri mereka. Dan perlu diingat masyarakat tidak boleh juga melupakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi.

Dalam forum resmi masyarakat tetap harus menggunakan bahasa Indonesia. Jangan menganggap seseorang kampungan jika melihat orang tersebut menggunakan bahasa daerah di tempat umum. Pemerintah dapat melakukan pelestarian bahasa daerah dengan memasukkan pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah dasar agar sejak dini anak-anak sudah diajari untuk mengenal bahasa daerahnya. Terutama anak-anak yang tinggal di kota sebab anak-anak yang tinggal di kota banyak yang tidak mengetahui lagi dari mana asal-usul mereka budaya mereka.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *