Efektifkan Mekanisme Hukum di Papua + Papua Undang Presiden Berdialog


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta agar pemerintah mengefektifkan mekanisme hukum di Papua dalam menyelesaikan berbagai kasus kekerasan di daerah itu. Jika pemerintah tidak menggunakan mekanisme tersebut, bukan tidak mungkin permasalahan Papua nantinya akan menjadi isu Internasional.

Hal tersebut diungkapkan Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim di Jakarta, Jumat (4/11), menanggapi hasil investigasi Komnas HAM terkait kasus penembakan warga Papua saat Kongres Rakyat Papua (KRP) III berlangsung beberapa waktu lalu. Menurutnya, tindakan aparat saat pembubaran tersebut adalah bentuk penggunaan kewenangan yang berlebihan hingga mengakibatkan tiga orang tewas.

“Memang apa yang dilakukan oleh peserta dalam kongres itu adalah tindakan makar maka ada tindakan yang diambil. Itu kan masalah hukum. Masalah hukum itu ada koridornya, jangan sampai kita menyelesaikan masalah hukum, tapi malah meninggalkan masalah hukum lagi. Nah, mereka juga harus diproses hukum. Nah kalau tidak ada penanganan masalah ini maka ini akan menjadi isu internasional,” kata Ifdal.

Dikatakan, karena hal tersebut menyangkut masalah yuridiksi hukum nasional, maka aparat hukum yang menyalahi prosedur seharusnya segera diusut. Selain itu, bagi masyarakat yang melanggar hukum juga harus ditindak sesuai hukum yang berlaku dan adil sehingga tidak melanggar hak mereka.

“Apalagi November ini akan ada pertemuan-pertemuan pimpinan ASEAN di Bali yang kabarnya Presiden Obama juga akan hadir. Pasti itu isu ini akan dibawa ke sana. Maka hukum nasional harus diefektifkan. Bagai mana caranya biar ini jadi efektif ya dengan menindak mereka yang menyalahi kewenangan itu,” tuturnya.

Lebih lanjut, dikatakan Ifdal, berdasarkan hasil temuan investigasi Komnas HAM, Kongres Rakyat Papua merupakankongres legal, karena sudah disetujui oleh aparat keamanan setempat. Namun, menurut Ifdal, seharusnya pada saat aparat ingin mengamankan para peserta yang dianggap melakukan tindakan makar, tidak perlu dilakukan penyerbuan dengan menggunakan kekerasan.

“Jadi pemerintah harus segera mengusut aparat yang melakukan tindakan kekerasan ini. Karena kalau tidak mampu bekerja maka pasti akan dianggap pemerintah Indonesia tidak bisa menyelesaikan permasalahan hak asasi orang Papua, karena ada tuduhan itu maka mau tidak mau itu akan menjadi isu internasional dan itu tidak bisa dicegah kalau tidak ada penanganan dari pemerintah Indonesia,” kata Ifdal.

 

Papua Undang Presiden Berdialog

Solidaritas Kemanusiaan Rakyat Papua mengundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan masyarakat adat Papua di Gedung DPR Papua.

Penanggung jawab Solidaritas Kemanusiaan Rakyat Bangsa Papua, Jhon Wamu Haluk, mengatakan undangan resmi ini telah dititipkan kepada Sesmenkopolhukam Hotma Panjaitan saat berkunjung ke Papua untuk bertemu sejumlah tokoh di Papua selama dua hari.

“Kami ini dulu minta merdeka, baru ko (SBY-red) kasih kami Otsus. Setelah dapat otsus, hasilnya itu pembunuhan, pembantaian, pencurian. Untuk bisa mendapatkan pembangunan, tapi dibunuh,” katanya.

Jhon mengatakan, dalam pertemuan tidak ada dialog. Namun, Presiden harus menempatkan diri sebagai bapak yang menemui rakyatnya.

Rakyat di sana masih telanjang kaki, tidak tahu menulis dan menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Dengan demikian, Presiden dapat melihat secara jeli persoalan di Papua yang sebenarnya. Ia menjanjikan keamanan Presiden selama berada di Papua.

Perlunya dialog dengan rakyat Papua juga disuarakan Dewan Adat Papua (DAP) dan Presidium Dewan Papua (PDP). Ketua II DAP Sayid Fadhal Al Hamid mengatakan, persoalan Papua hanya dapat diselesaikan dengan dialog.

Ini karena dengan menyelesaikan Papua berarti harus mulai dari akar masalah, yakni persoalan status politik. “Ya dengan cara dialog yang jujur dan bermartabat,” ujarnya.

Namun, Hotma Panjaitan mengatakan pemerintah tidak akan melakukan dialog antara Jakarta dan Papua. Ia tetap berpegang kepada Instruksi Presiden yang akan berkomunikasi konstruktif untuk mengatasi persoalan di Papua.

“Dialog juga hanya bisa ngomong-ngomong saja, tapi kalau istilahnya komunikasi konstruktif itu ada di situ mengandung aspek tanggung-jawab, karena bersifat konstruktif kan artinya membangun, komunikasi yang membangun,” ujarnya.

Soal Freeport

Sementara itu, meski terus menjadi kontroversi, Polri menganggap aliran dana yang diberikan PT Freeport Indonesia dalam pengamanan areal penambangannya di Papua merupakan salah satu cara yang paling mungkin digunakan untuk mengamankan objek vital nasional tersebut.

Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri) Jenderal (Pol) Timur Pradopo mengatakan, apa yang terjadi di Papua saat ini merupakan satu-satunya yang bisa dilakukan Polri untuk mengoptimalkan pengamanan di areal Freeport. Ini karena kurangnya anggaran operasional untuk memenuhi kebutuhan anggotanya di wilayah operasi yang sulit.

Anggota Komisi I DPR Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan, pemberian dana keamanan dari PT Freeport Indonesia ke polisi dan TNI telah diumumkan sejak lama. Soal dana keamanan dari PT Freeport juga pernah disoroti, namun tidak pernah ada sanksi, baik kepada PT Freeport yang memberikan dan aparat yang menerima duit keamanan.

“Jika memang ada yang keliru dalam dukungan dana keamanan ini, tentu Freeport telak dikenai sanksi oleh hukum AS maupun SEC. Memang, bisa saja orang berdalih bahwa kasus ini tak kunjung ada sanksi hukumnya di negeri ini karena terjadi kongkalikong,” kata Susaningtyas ketika dihubungi SH di Jakarta, Sabtu (5/11).

Ia mengatakan, dengan tidak adanya sanksi terhadap Freeport, kendati telah berulang kali persoalan ini disuarakan media massa, menunjukkan bahwa memang tidak ada yang keliru dalam hal ini maupun menyimpang dari koridor hukum.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *