Komnas HAM: Aparat Keamanan Berlebihan Tangani Kongres Papua + Pengamat: Pemerintah Tak Konsisten dengan UU Otsus Papua


Hasil penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan aparat keamanan bertindak berlebihan dalam menangani Kongres Rakyat Papua ke III pertengahan Oktober lalu.

Tim penyelidik Komnas HAM telah menginvestigasi kronologi kejadian dengan melakukan pertemuan intensif dan pemeriksaan terhadap sejumlah korban, para tersangka yang ditahan polisi serta pihak-pihak terkait seperti Kapolda Papua dan Pangdam XVII Cendrawasih. Demikian menurut Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh, dalam keterangan pers di kantornya, Jumat (4/11).

Hasilnya, menurut Ridha, terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadi tindakan berlebihan yang berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia.

Ridha menjelaskan bentuk-bentuk perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam peristiwa tersebut adalah perampasan hak hidup dimana tiga orang mengalami tindakan pembunuhan diluar putusan pengadilan.

“Atas keterangan istri kedua korban dan disaksikan lebih dari enam orang menyebutkan jenazah ditemukan di luar dari area Kongres, di atas gunung,” tutur Ridha.
“Dan, itu berada di belakang Korem (Komando Resimen). Informasi yang kami dapatkan bahwa di sekitar wilayah tersebut tempat aparat TNI disiapkan menjaga. Ada lapisan pertama Polri dan TNI dilapisan bawah.”

Menurut Ridha, kematian para korban sangat tragis. “Satu matanya dicopot, pada satu (korban) lagi dua-duanya dicopot dan ditembak dari dubur nembus ke kepala,” tambah Ridha.

Lebih lanjut, Ridha mengungkapkan berdasarkan data, informasi dan fakta terdapat beberapa temuan yang juga menunjukkan adanya perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga yang ditangkap.

Peristiwa tersebut, kata Ridha, juga telah menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran masyarakat Papua. Selain itu aparat keamanan juga telah melakukan perampasan benda berupa handphone, uang dan benda lainnya milik warga peserta kongres.

Menurut Ridha, pelaksanaan kongres Rakyat Papua ke III telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Panitia pelaksana Kongres telah mengirim surat kepada Kapolda Papua memberitahukan dan sekaligus meminta Polda Papua memberi izin keramaian dan pengamanan eksternal saat Kongres Papua ketiga berlangsung.

Ridha mengatakan aparat polisi menyerbu, menyiksa serta menembak sebagian penyelenggara dan peserta kongres setelah acara itu berakhir dua jam lalu.

Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Pendeta Gomar Gultom mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan perkataannya yang ingin membangun Papua dengan pendekatan dengan hati dan bukan kekerasan. Ia juga mendesak kasus kekerasan ini diusut secara tuntas.

“Janganlah diteruskan karena ini menyakiti rakyat,” ujarnya. “Kita mendesak Presiden untuk membuktikan pendekatan dengan hati. Saya kira apa yang terjadi sekarang sangat tidak profesional. Karenanya, itu perlu dituntut diusut tuntas dan hentikan segala penyisiran-penyisiran. Kami meminta dengan sangat kepada Komnas HAM untuk meneruskan dan mengawal respon pemerintah terhadap kasus ini.”

Sementara itu, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri irjen Saud Usman Nasution menyatakan saat ini tim internal Polri sedang melaksanakan pengecekan apakah tindakan aparat polisi dalam menangani Kongres Papua ada yang melanggar aturan atau tidak.

Hasil pengecekan ini nantinya, kata Saud, akan diumumkan kepada publik. Jika ada aparat kepolisian yang melanggar aturan akan diproses hukum. Saud Usman Nasution mengatakan, “Akan kita lihat nanti apakah ada pelanggaran atau tidak. Kalau ada, sejauh mana pelanggarannya. Kalau sudah sesuai ketentuan, saya kira tidak ada masalah.”

Saud menyatakan penangkapan terhadap penyelenggara Kongres dilakukan karena mereka melakukan tindakan makar dengan mendirikan negara dan kepemimpinan baru.

 

Pengamat: Pemerintah Tak Konsisten dengan UU Otsus Papua

Rektor Universitas Cenderawasih, Prof. Dr. Berth Kambuaya, berpandangan bahwa pemerintah pusat belum sepenuhnya memahami UU Otsus Papua.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Papua di Jakarta dan Universitas Cenderawasih Papua telah melakukan kajian atas isi dan pelaksanaan UU Otonomi Khusus. Hasilnya, terdapat sekitar 20 perangkat aturan yang belum dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Demikian yang disampaikan Rektor Universitas Cenderawasih, Profesor Dr. Balthasar Kambuaya, kepada pers, usai diskusi panel pemerintah di Kementerian Pertahanan, Kamis sore.

Profesor Kambuaya meminta semua pihak konsisten menjalankan amanah UU Otonomi Khusus Papua. “Ada hampir 20 lah perangkat-perangkat hukum yang perlu dibuat lagi untuk memperkuat UU itu untuk diimplementasikan,” tuturnya. “Dan itu juga bergantung pada pemerintah pusat dan daerah. UU ini mungkin belum banyak dipahami oleh para pejabat dan pemimpin di republik ini, juga dalam menerjemahkan UU itu dalam berbagai peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan di Papua juga belum berjalan dengan baik.”

Berth Kambuaya mengatakan penambahan kapasitas kepemimpinan di Papua juga perlu diatur agar mampu menangani pembangunan di provinsi tersebut. Ia berharap Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), yang dibentuk Presiden Yudhoyono, mampu melakukan tugasnya dengan baik.

“Salah satu yang dibuat terakhir oleh pemerintah pusat untuk penanganan Papua adalah (pembentukan) UP4B. Selain melihat berbagai program (pembangunan) di Papua dan melakukan pengawasan, tetapi (yang terpenting) bagaimana UU Otsus ini bisa berjalan dengan baik. Kalau bisa ini menjadi bagian dari tugas UP4B itu,” ujarnya.

Kemelut di Papua dan Papua Barat berkembang sejak lama tidak hanya di bidang politik tetapi juga ekonomi. Pekan lalu, aparat kepolisian Abepura membubarkan Kongres Rakyat Papua yang dituding melakukan tindakan makar. Di saat yang hampir bersamaan, ribuan pekerja lokal di tambang Freeport melakukan mogok massal menuntut kenaikan upah.

Tahun lalu, masyarakat Papua melakukan demonstrasi dan meminta referendum, karena tidak puas dengan pelaksanaan otonomi khusus.

Salah seorang peneliti khusus Papua dari LIPI, Dr. Muridan Widjojo, kepada VOA menilai pemerintah pusat tidak perlu takut akan isu Papua Merdeka. Pemerintahan SBY hanya perlu segera memperbaiki pola-pola pendekatan serta aturan hukum yang dirumuskan selama ini. Kalau tidak, maka Papua dan Papua Barat selamanya akan terus bergejolak.

Ia mengatakan, “Ada masalah-masalah mendasar yang selama ini yang tidak pernah diselesaikan. Maka akhirnya orang bicara soal kekerasan dan pelanggaran HAM, masalah pembangunan, ini selalu diputar-putar tidak pernah diselesaikan.”

Muridan menambahkan, persoalan penting lain muncul pada masalah pemilihan bupati atau gubernur, yang konon calon-calonnya dipantau khusus oleh pemerintah pusat. Padahal, UU Nomor 21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Papua, menyebutkan jabatan gubernur dan bupati harus dijabat oleh putra daerah.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *