Sudah beberapa hari ini mengamati menikmati pemandangan di Kepulauan Hawaii, lebih banyak manusianya dari flora dan faunanya :-), memang mereka lain dari yang lain. Tidak heran salah satunya, anak basteran item dan bule, si Barrack Obama, bisa jadi presiden Amrik. Etnisitas di
kepulauan ini bukan saja sesuatu yang mereka hargai, juga mereka rangkul, cintai, banggakan, terbukti dari sudah campur aduknya wajah- wajah basteran etnis polynesia, bule, tionghoa, jepang, negro, deeste.
Seperti juga sudah terbukti, variasi genetik yang lebih baik, lebih ganteng dan cantik, dihasilkan dari persilangan dua etnis berbeda, dari ‘gene pool’ yang lebih besar. Contoh konkritnya bisa kita lihat di kedua kepulauan Hawaii dan Tahiti. Kunjungan ke tempat seperti itu merupakan ‘oase’ bagi mereka yang terlibat atau pernah terdampak di dalam pertengkaran,
pertikaian apalagi sentimen antara etnis yang berbeda, berlainan seperti sering kita anak ex Indo alami. Dpl bisa dijadikan contoh soal bagaimana seharusnya suatu masyarakat multietnis hidup berdampingan.
Karena sudah beberapa kali numpak kapal Princess Cruise, di trip kali ini kelas cabin kami dinaikkan pangkatnya dari inside cabin ke ocean view alias ada jendelanya. Lumayan banget jadinya. Selain bisa setiap saat melihat pemandangan ke luar kapal, engga main di ranjang terus, juga berkat GPS Garmin 76CSx yang sering saya pakai canoeing, saya bisa memantau perjalanan. Yang paling jelas selain ada kompas atau kemana arah kapal, siapa tahu si kapten Ivan salah arah :-), juga ada kecepatan lajunya kapal, yakni sekitar 25/30-an km/jam di Samudera Pasifik ini, sama dengan kecepatan kita bersepeda. Seperti
kita semua ketahui, Pasifik adalah samudera terluas di dunia dan oleh karena itu, besar ombaknya juga engga kira-kira. Sejak mulai berlayar, ombaknya bangsa 3 meteran alias ya kapal jadi ajojing.
Oleh karena itu, bila Anda tidak terbiasa dengan kapal yang demikian, ada baiknya naik montor mabur saja. Cuma ya kekurangannya, diperlukan uang sekoper dan waktu sebulanan bila mau mengunjungi semua tempat yang dilalui cruise kami ini. Bukan itu saja, sudah lama saya memantau ongkos cruise ke Tahiti dimana sebelum-sebelumnya ‘prohibitive’ alias kelewat mahal untuk (cuma) seorang pensiunan pegawai IBM. Baru kali ini kami mendapatkan tawaran ‘buy one get one free’ alias dengan ongkos 1 orang, kami bisa pergi berdua. Pucuk dicinta ulam tiba,
kata bu guru. Bukan itu saja, ongkos nginap kalau tidak ikut cruise, di pulau seperti Bora Bora, beberapa ratus dollar per malamnya. Ketika belum lama ini saya bertemu prenku, Ham Go, ia bilang ponakannya baru dari situ dan makan hamburger (doang) ongkosnya $ 60 per porsi. Aje gile banget.
“How long does it take to go to Hana?,” tanya saya ke penjaga di salah satu kios tour di pelabuhan, melihat ada jalan-jalan ke kota itu. Ini pun berkat rekomendasi Aries dan Ennya yang menjelaskan bahwa jalan kesitu istimewa. Ketika saya mulai check pakai M/S Streets & Trips di laptopku, jaraknya cuma 100-an km, kog 3 jam engga cukup. Saya zoom dan baru jelas bahwa sebagian trayeknya berliku-liku bak kelok ampe puloh ampe (trayek dari desa Embun Pagi ke Danau Maninjau di SumBar) beberapa kali lipat. “Where are you staying?,” tanya si Hawaiian. “We are from the cruise ship,” jawabku. “Oh no, you cannot make it, it is not for you because we start very early in the morning.” Hilanglah kesempatan membandingkan
keindahan ‘road to Hana’ yang memang terkenal dengan kelok 44 atau pun Cabot Trail di Cape Breton Island, Nova Scotia, Canada. Bingung juga kami sebab tidak ada tour yang cocok yang mereka tawarkan, mayoritas ke laut ke pulau a.l. melihat ikan paus. Perusahaan sewa mobil tidak ada satu pun yang buka kantornya di daerah pelabuhan tersebut. Akhirnya saya teringat peta dari kapal. Ada satu tempat yang untuk isteriku terindah dimana pun di dunia ini :-).
“Apaan Bang Jeha, bukannya K-Mart kan?,” tanya Anda. Gereja Katolik prens. Ya, isteriku sudah mulai blingsatan di hari Minggu belum ke gereja padahal sudah sejak kami menikah kucoba-camkan, pelancong dibebaskan dari kewajiban ikut Misa Kudus :-). Gereja itu bernama Maria Lahaina alias ada kemungkinan memang gereja Katolik Roma. Kuset GPS-ku ke arah situ dan jaraknya cukup dekat alias kami lalu bergegas kesana. Benar saja,
Maria Lahaina adalah GKR dan singkat cerita, kami ikutan Misa disitu. Mendapat berkat istimewa kami lalu tahu dimana bisa naik bis kota, 1$ ongkosnya untuk ke salah satu atraksi oke punya di pulau ini, Maui Ocean Center. Kepikir sih mau sewa sepeda kesana tadinya sebab jaraknya cuma 20-an km. Untung kami tidak sesinting demikian sebab ternyata jalannya turun naik lamping bukit sepanjang pantai barat pulau Maui. Boljug untuk dikunjungi sang ocean center sebab tanpa basah atau kedinginan seperti terakhir snorkeling di Pulau Weh, kami bisa melihat cem-macem flora dan fauna terumbu karang, termasuk berbagai jenis ikan hiu dan ikan pari. Sekian dulu laporan dari Maui, sampai kisah berikutnya.(IM)