Wawancara khusus dengan Surgeon General TNI (Tentara Nasional Indonesia; 2013 – 2015) Mayor Jenderal TNI (Purn.) dr. Daniel Tjen, Sp.S


Wawancara khusus dengan Surgeon General TNI (Tentara Nasional Indonesia; 2013 – 2015) Mayor Jenderal TNI (Purn.) dr. Daniel Tjen, Sp.S

Daniel Tjen, chairman ICMM (international committee of military medicine) Belgium, alumni Fakultas Kedokteran Umum Ukrida, program spesialis neurologis FKUI lama menggeluti biodefense awal tahun 2000 sampai sekarang. Ia melihat ancaman dunia sekarang ini, yakni senjata pemusnah massal/SPM (Weapon of mass destruction) dalam berbagai tipe dan wujud; biologis, kimia, nuklir. Kaitannya dengan pandemic covid-19, sampai sejauh mana biodefense menjadi strategi melawan musuh skala besar, berikut petikan wawancaranya dengan Redaksi, Setiawan Liu.

Pandangan mengenai biodefense, sebuah lessons learned seperti dimuat pada halaman Opinion the Jakarta Post (16/8), apa relevansinya dengan pandemic covid-19?

Dari beberapa tipe Senjata pemusnah massal/SPM (Weapon of mass destruction); yakni nuklir, kimia, biological weapons (bioweapons) atau biological warfare (peperangan biologi) yang paling scary (menakutkan). Dari tiga tipe SPM, yang tidak ada pengawasnya juga bioweapons. Sehingga ada ruang kosong yang sangat menakutkan dari SPM. Chemical weapons atau Senjata kimia sangat mudah dideteksi. Nuclear weapons juga diawasi oleh The International Atomic Energy Agency (IAEA). Kalau ada outbreak, seperti (kondisi sekarang) covid-19 outbreak, ada tiga pertanyaan. Ada tiga penyebab (kemunculan covid); natural, accidental, intentional. Ada kejadian alami atau natural. Ada juga, penyebabnya accidental seperti lab leak. Ada juga spillover (penyebaran virus) dari hewan, atau intentional virus release (pelepasan virus) yang dilarang karena menggunakan mikroorganisme sebagai senjata. Walaupun sampai saat ini, belum ada scientific evidence bahwa pandemic covid merupakan rekayasa biologis atau bio-engineered

Kaitan SPM dengan kondisi di Indonesia?

kalau orang beli bahan kimia dasar, seperti potassium sianida, harus hati-hati di Indonesia. tapi yang menjadi concern tersendiri, bahwa ada pabrik bahan kimia yang high volatile di Cilegon (Banten). Selain, (Banten) juga hotspot bencana alam termasuk tsunami, gunung merapi. Potensi tsunami kalau terjadi gempa juga menjadi concern. Sementara jarak Cilegon – Jakarta hanya 100 km, (dampaknya) dahsyat sebaran bahan kimia. Pada tahun 2000 an, rata-rata 160 an truk per hari yang angkut bahan kimia, masuk Jakarta. (angkutan bahan kimia) menuju beberapa pelabuhan, terutama Tanjung Priok seaport. Kalau terjadi kecelakaan, truck terbalik, dalam konteks how to mitigate disaster risk, ini yang menjadi concern. Kalau nuklir, sangat sophisticated. Sehingga kemungkinan, berlaku non-state (bukan negara) sangat kecil. Ancaman mudah dideteksi karena ada alat. Kita lihat efek destruksi, misalkan Hiroshima & Nagasaki pada perang dunia II, dalam kurun waktu sekian, akan decay (terurai). Bentangan sekian radius kilometer saja, diluar itu aman. Waktu kejadian tsunami di Jepang, reactor nuklir mengalami tsunami. Bencana yang luar biasa tapi akan sirna dengan waktu tidak begitu lama. Tapi biochemical cenderung multiply, lebih bahaya. Kita punya teknologi, tapi ada kemungkinan penyalahgunaan

Kemungkinan penyalahgunaan?

Kondisi Indonesia yang kaya biodiversity, juga kaya dengan mikroorganisme. Efek musnah (bioweapons), virus (sebagai alat peperangan) nggak punya ‘KTP’, artinya (penyebaran virus) borderless. (penularan virus) tidak memakai ‘visa’. Artinya virus dari bioweapons tidak akan terhenti. Begitu (virus SPM) bekerja seperti covid, (invasi) tidak bisa diberhentikan. Virus juga cross-border. Sehingga solusi yang paling efektif untuk tangani covid, tidak bisa hanya menggunakan salah satu modalitas. Vaksin bukan magic bullet. Tidak ada dalam sejarah, vaksin menyelesaikan semua. (penyelesaian covid) harus dengan multiply modalitas, terutama protokol kesehatan (prokes) sebagai benteng (pertahanan) yang sangat murah. Prokes bisa dikerjakan, dibangun dengan keilmuan. Berdasarkan pandemic sebelumnya, bicara infeksi, saya menerapkan teori segitiga. Sisi pertama (dari segitiga tersebut), dengan simpul (ujung) yang pertama yakni manusia. (simpul segitiga) yang kedua, agent dan ketiga adalah environmentagent dalam hal ini virus nya. Kalau kita mau mengendalikan, kita harus kenali virusnya. Sehingga kita bisa menang pada peperangan (biological warfare). Kita bisa kalah kalau tidak tahu (virusnya). Karena virus berubah terus, sesuatu yang sangat baru. Seorang pakar belum tentu (mengenali virus) karena setiap hari berubah. Penularan covid melalui droplet, sehingga perlu physical distancing, penggunaan masker.

Bagaimana dampak kerusakan lingkungan (environmental degradation)?

Faktor manusia juga harus dijaga walaupun dia punya personal resilience. Manusia tidak lepas dari lingkungan, karena lingkungan mempengaruhi keseimbangan. Kalau manusia dengan lingkungan sekitar tidak seimbang, muncul penyakit. Bukan hanya faktor manusia, tapi pengaruh tumbuhan, alam sekitarnya. Perubahan alam, menimbulkan penyakit baru. Contoh klasik, di perbatasan Kalimantan, sebelum deforestasi (kehilangan hutan), (binatang) kera-kera liar tidak bergaul dengan manusia. Begitu terjadi deforestasi, kera liar tidak punya tempat cari makan. Mereka masuk ke kota. Sehingga mereka masuk, muncul penyakit malaria yang menimpa manusia. Perubahan cuaca karena deforestasi. Itu harus (metode) segitiga, yakni manusia, virus dan lingkungan yang harus diperhatikan

Bagaimana dengan program vaksinasi?

Pendekatan (upaya pencegahan penyebaran covid-19), vaksin tidak mencegah, tapi menurunkan tingkat votalitas (ukuran dasar untuk resiko) penularan. Orang sakit diobati, sehingga platform, (yakni) obat yang tepat. Virus tidak punya “KTP atau paspor” sehingga harus ada kolaborasi internasional. Itu persyaratan mutlak untuk menjaga pandemic. Tidak ada negara yang aman, kalau sekitarnya tidak aman. Penanganan harus dengan pendekatan holistic. Yang unik, saat ini ada diskursus, dari mana asal muasal virus. karena virus corona sesungguhnya sudah dipelajari manusia lebih dari 50 tahun yang lalu. Virus terletak antara dua dunia, bisa dikatakan makhluk mati atau hidup. Karena dia tidak punya kemampuan memperbanyak diri, hanya butuh sel hidup. Apakah virus terjadi (muncul) alami? Karena kita tahu, selama perjalanan 50 tahun, sudah sekian banyak keluarga virus corona. Di antaranya yang besar dibanding SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), MERS (Middle East Respiratory Syndrome), Covid-19 yang paling massif sekarang ini. SARS hanya beberapa negara, MERS juga clockwise. Kita dengar Presiden Amerika, Joe Biden memerintahkan badan intelijen untuk meneliti asal muasal virus, apakah ini alami atau bocoran laboratorium. Penyebab outbreak, ada tiga yakni natural, accidental, intentional. Dari covid, kita lihat aspek cakupan dan besaran yang terpapar, varietas, dampak terhadap infrastruktur, hampir tidak ada bedanya. outbreak alami atau accidental, sejak PD (perang dunia) II (kedua), tidak ada kejadian (penyebaran virus) semasif ini. Covid-19 menyebabkan 200 juta penduduk manusia sakit, lebih 50 persen dari whole GDP (gross domestic product) habis, dan lebih dari 4 juta orang meninggal. Covid-19 sangat massif, mengerikan dan akan berulang. Sehingga kita harus siap.

Terkait dengan International Health Regulations (IHR) pada tahun 2005, merupakan kesepakatan negara-negara anggota World Health Organization (WHO) untuk memiliki kemampuan deteksi dini, prevent, dan respons yang adekuat terhadap setiap ancaman kesehatan masyarakat yang berpotensi menyebar antar negara didasarkan pada sistem surveilans nasional dan peraturan perundangan yang telah ada di masing-masing negara. Barack Obama (mantan presiden Amerika) juga meluncurkan Global Health Security Agenda, maksudnya ada tiga isu utama, masalah ketangguhan kesehatan, how we defence, detect and response. founding father kita, Bung Karno sudah hebat membuat sistem penguatan kesehatan masyarakat. Bung Karno membangun puskesmas di seluruh wilayah sampai kelurahan. Puskesmas sebagai primary health care, tujuan membangun kapasitas wilayah. Sehingga (puskesmas) bisa promosi pencegahan terbaik, ini erat dengan apa yang diinginkan Presiden Jokowi (Presiden RI, Joko Widodo) dari awal, yakni SDM unggul, dicegah agar tidak sakit dan menjadi manusia dengan nilai competitive, productive. Tapi dalam perjalanan, puskesmas bergeser. Tahun 1978, banyak negara luar belajar mengenai program primary health care, tapi sekarang (Puskesmas) beralih pada pelayanan perorangan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *