Merajut mozaik kebersamaan, meluruskan sejarah Indonesia yang utuh


Merajut mozaik kebersamaan, meluruskan sejarah Indonesia yang utuh

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 4 Oktober 2021/Indonesia Media -Urgensi meluruskan sejarah bak merajut mozaik kebersamaan termasuk upaya menguatkan toleransi, mereduksi politik identitas keagamaan seperti yang pernah mengemuka pada Pilkada 2017 DKI Jakarta. Pelurusan sejarah termasuk sejarah perang merupakan proses meng-Indonesiakan pelanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Banyak pelaku dalam satu peristiwa, baik langsung atau tidak langsung. Sejarah merupakan dokumen yang hidup, selalu diperbaharui. Seperti mozaik yang dirajut hingga satu saat kita dapat gambaran (sejarah Indonesia) yang utuh,” Mayor Jenderal TNI (pur) dr. Daniel Tjen, Sp.S mengatakan kepada Redaksi.

Setiap negara mempunyai roh (kebangsaan) dimana Indonesia tidak bisa menduplikasi konsep Amerika dan sebaliknya. Tetapi kaitannya tanggungjawab setiap warganegara, perlu ada rasa keterpanggilan dan termotivasi untuk berkontribusi kepada negaranya. Seperti petikan kalimat yang diucapkan oleh John F. Kennedy (presiden ke 35 Amerika Serikat) yakni ‘Ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country.’ Artinya, jangan tanyakan apa yang negara dapat lakukan untukmu, tetapi tanyakan apa yang kamu dapat lakukan untuk negara. “Negara sudah memberi kepada kita. Dalam hal karir kemiliteran saya, Ketika ditempatkan di mana pun, mengaplikasikan patriotisme ala Kennedy terhadap warga negaranya,” kata Daniel Tjen.

Proses nation building, Indonesia baru merdeka selama 76 tahun. Sementara Amerika sudah 100 tahun lebih, (kondisinya) masih babak belur. Perlu sama-sama menyedari, pencapaian nation building pasti ada up and down, berhasil dan gagal. Sehingga setiap warganegara harus jujur, terbuka, dimana keberhasilan dan dimana kegagalan. Proses kemerdekaan bukan hadiah, tetapi hasil perjuangan dari para pendahulu. Para pendiri negara ini kan tidak lepas dari ratusan suku, ratusan Bahasa local, adat istiadat, tanpa meninggal kearifan local. “(sejarah) perlu digali, dan tidak boleh satu kelompok meng claim bahwa dia paling dominan dalam proses kemerdekaan. Para pendiri negara, mengingatkan pentingnya memelihara keberagaman. Seperti sebuah taman dengan beberapa bunganya. Hal ini (sama) tercermin dalam Sumpah Pemuda. Mayoritas penghuni adalah suku Jawa, tapi beliau-beliau tidak memaksakan bahasa Jawa sebagai Bahasa nasional, (sebaliknya) mengambil dari Bahasa melayu. Kita perlu terus mengulirkan (proses) bagaimana membumikan nilai-nilai yang ada pada Pancasila,” kata Daniel Tjen. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *