Umat Buddha Harus Ubah Keterangan yang Salah di KTP


Kementerian Agama (Kemenag) berharap umat Buddha di Indonesia terdorong mengubah keterangan agama yang tidak sesuai di KTP dengan yang agama yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa umat Buddha terkadang tidak mau mengubah keterangan yang salah di KTP. Sementara yang bersangkutan setiap harinya mengaku dan menganut agama Buddha. Karena keterangan di KTP merupakan salah satu acuan untuk data statistic jumlah umat Buddha di Indonesia. Kemenag melihat, bahwa tren penurunan umat Buddha di Indonesia bukan berarti kegagalan pembinaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Buddha Kemenag. “Kami perlu menghimbau agar umat Buddha menyesuaikan keterangan agama di KTP. Kalau mengaku agama Buddha, minta petugas (Kelurahan/Kecamatan) untuk mencantumkan agama Buddha,” Dirjen Bimas Buddha Joko Wuryanto mengatakan kepada Redaksi.
Joko yang ditemui pada acara Musyawarah Nasional (Munas) Organisasi Buddhis Tantrayana di Wihara Vajra Bumi Nusantara, Karawaci Tangerang, Banten menjelaskan, bahwa program pembinaan berjalan dengan baik. Tetapi sering kali umat Buddha tidak mau mengubah kesalahan keterangan agama di KTP. Mereka hanya berpikir, kesalahan tersebut hanya sebatas administrasi kependudukan. “Mereka sering berpikir, yang penting hatinya tetap agama Buddha. Mereka juga tidak mau ambil pusing dengan kesalahan, karena mereka mengaku masih bisa tetap kebaktian di Wihara. Data statistic menunjukkan jumlah umat Buddha, sekitar dua juta. Tapi fakta di lapangan, sekitar tujuh juta.”
Penurunan jumlah agama Buddha terjadi sekitar 10 tahun yang lalu. Jumlahnya menurun karena keberhasilan program KB (Keluarga Berencana). “Itu otomatis. Karena jumlah penduduk secara keseluruhan menurun, jumlah umat Buddha menurun. Tapi sekarang, beberapa tahun belakangan ini, jumlah umat Buddha meningkat lagi, karena program KB gagal.”
Di sisi lain, Kemenag juga menegaskan, bahwa tidak ada pembedaan mazhab kecil atau besar dalam agama Buddha di Indonesia. Kemenag melihat bahwa tujuh mazhab yang berkembang di Indonesia, termasuk Tantrayana pada prinsipnya sama. “”Kami tetap membina tujuh mazhab, tanpa pandang bulu. Sampai sekarang ada tujuh mazhab yang berkembang.”
Semua mazhab tetap berpegang pada kitab suci yang sama, Tripita (bahasa Sanskerta) atau Tipitaka (Bahasa Pali). Umat Buddha di seluruh dunia, termasuk di Indonesia berkewajiban melestarikan ajaran Buddha yang semuanya terangkum dalam Tripitaka/Tipitaka. “Walaupun ada tujuh mazhab, tetapi hanya sebatas ritual. Kitab sucinya sama, dan (umat Buddha) berpedoman pada Tripitaka.”
Kemenag melihat kerukunan umat Buddha di Indonesia terus terjaga, baik intern maupun extern dengan agama lainnya, terutama dengan mayoritas Islam di Indonesia. Kemenag juga melihat kerukunan umat Beragama harus dibarengi dengan peran serta umat dalam pembangunan nasional. Peningkatan etika dan moral umat Buddha harus seiring sejalan Jalan Tengah yang meliputi pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, bermata-pencaharian benar dan lain sebagainya. Kemenag berharap setiap pengurus daerah mazhab-mazhab, termasuk Majelis Agama Buddha Tantrayana memberi perhatian khusus terhadap kesejahteraan masyarakat. “Setiap majelis sepantasnya memberi perhatian khusus. Majelis Tantrayana juga melakukannya, tapi harus ditingkatkan.”
Peran serta umat Buddha dalam pembangunan nasional bisa dengan berbagai cara. Pemerintah sekarang ini juga terus mendorong perlunya peningkatan life skill (ketrampilan, keahlian) masyarakat di pedesaan. Semua skill yang dimiliki harus menjadi bagian dari pengembangan ekonomi kreatif. “Selain kreatif, sumber daya umat beragama di daerah, termasuk agama Buddha Tantrayana harus humanis (manusiawi). Misalkan yang baru-baru ini dilaksanakan, penanaman sepuluh ribu pohon.”
Di tempat yang sama, ketua panitia Munas Yusuf Sumartha mengatakan bahwa Majelis sudah memberi bukti nyata Dharma Agama sebagai pemersatu. Berbeda dengan organisasi Buddhis pada umumnya, umat Tantrayana berasal dari berbagai kelompok etnis, terutama Jawa, Dayak, dan Tionghoa. Umat etnis Jawa, sebagian besar berasal dari Cilacap, Temanggung, dan Lampung. Kebaktian (Sadhana) dilaksanakan dalam bahasa Indonesia, Jawa dan mandarin. Keragaman umat ini terlihat jelas dalam semarak berbaur dengan umat lainnya di setiap perayaan Waisak di Borobudur. “Setiap tahun, kami berpartisipasi pada perayaan Waisaka. Majelis Zhenfo Zong Kasogatan berperan aktif menjalankan Dharma, mendukung program pemerintah di bidang social kemasyarakatan termasuk penanggulanan bencana alam,” Yusuf mengatakan kepada Redaksi.
Majelis Zhenfo Zong Kasogatan bercikal bakal dari Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia yang didirikan pada tahun 1976. Sebagai satu-satunya wadah penganut agama Buddha Tantrayana, umatnya terus ikut berperan dalam pembangunan nasional, social kemasyarakatan. Seketika Tantrayana bangkit di tanah air tahun 1953-1956, umatnya terus bertambah, tersebar di 13 kepengurusan provinsi. “Umat Tantrayana sebagai bagian dari lima juta umat Buddha di Indonesia, merupakan yang paling aktif.” (Liu)
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *