Tidak Ada Format Tunggal untuk Dialog Papua


Pemerintah memutuskan tidak akan ada format tunggal dalam dialog dengan rakyat Papua, dan dialog juga tidak akan terbatas pada rakyat sipil, tetapi juga Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Dialog antara pemerintah pusat dengan rakyat Papua adalah satu hal yang sejak masa kepresidenan Habibie telah diajukan oleh para pengamat sosial politik dan LSM. Duduk bersama dalam satu meja oleh kedua pihak, diharapkan dapat merumuskan langkah penuntasan konflik permanen, di kawasan tersebut.

Dalam wawancara telepon dengan VOA, Rabu sore, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (Kepala UP4B) Letjen (Purn) Bambang Darmono, mengatakan salah satu kendala dalam dialog antara lain ketiadaan tokoh yang dapat mewakili suara dan kepentingan rakyat Papua secara keseluruhan. Itulah sebabnya, belum ada format khusus dalam dialog itu nanti.

“Saya sudah katakan berapa waktu lalu, bahwa prinsipnya kita ingin menyelesaikan persoalan di Papua. Maka, dialog adalah salah satu cara. Tidak ada single leader (pemimpin tunggal) di Papua sehingga tidak ada single format (format tunggal). Formatnya mari kita lihat dan kita tentukan ketika semua sudah berjalan,” papar Bambang Darmono.

Bambang Darmono, mantan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Nanggroe Aceh Darussalam, lalu menambahkan agar dialog antara Jakarta dan Papua diartikan sebagai komunikasi konstruktif. Untuk itu, ia siap berdialog dengan pihak manapun; baik akademisi dan pemuka agama termasuk Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Saya katakan pada pers bersama Menkopolhukam (Djoko Suyanto). bahwa pada dasarnya kami siap dengan dialog, dengan siapa saja termasuk OPM sepanjang itu untuk mencari solusi di Papua tentu akan kita jalankan. Intinya pemerintah akan menjalin komunikasi konstruktif dengan masyarakat Papua untuk menyelesaikan masalah Papua. Saya yang ditunjuk untuk menjalankan misi ini oleh pemerintah maka saya akan all-out (habis-habisan) di situ,” tambah Bambang selanjutnya.

Jika dibandingkan dengan masa-masa darurat militer di Aceh pada tahun 2000-2003, Bambang Darmono mengaku tugasnya akan cukup sulit, karena kondisi politik Papua yang terpecah belah.

“Kalau di Aceh kita ketemu Hassan Tiro (mantan pemimpin besar Gerakan Aceh Merdeka — GAM) selesai. Ketika Hassan Tiro mengatakan A maka ke bawah ya A semua. Di Papua kita mau bicara sama siapa? Bicara dengan Pater Neles Tebay (akademisi, Rektor Sekolah Tinggi Theologia Fajar Timur Papua) belum tentu yang lain setuju. Bicara dengan dengan Goliat Tabuni (Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional dan Organisasi Papua Merdeka – OPM) yang lain juga belum tentu setuju, begitu cairnya masyarakat Papua. Beda Papua dengan Aceh.”

Sosiolog dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Otto Syamsuddin Ishak, menilai konflik bersenjata di Aceh dan Papua memang tidak bisa disejajarkan. Aceh, kata Otto, mengalami tiga kali proses dialog sebelum akhirnya kaum pemberontak dan pemerintah Indonesia sepakat menandatangani Nota Kesepahaman Helsinki tahun 2005.

“MoU Helsinki adalah putaran ketiga dari perundingan, bukan yang pertama sekali, itu yang harus diingat. Ada proses CoHA (The Cessation of Hostilities Agreement atau Perjanjian Penghentian Permusuhan antara GAM dengan pemerintah dan TNI), kemudian jeda kemanusiaan, lalu beberapa proses informal lain termasuk yang digagas oleh Bondan Gunawan,” demikian menurut Otto Syamsuddin Ishak.

Otto menambahkan, dialog di Papua perlu segera dimulai dan diharapkan kelak dapat mendorong kesepakatan akhir yang mengikat seperti Nota Kesepahaman Helsinki.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *