Tak Rela Pecun Berkembang


Waktu Pecun Tangerang rame sekali
Siang-malam orang nggak pernah sepi
Sambil berjalan-jalan melihat pemandangan
…Tue-mude nggak mau ketinggalan
Mentang mate mencari hiburan

Tiap tahun eh rame sekali
Nonton Pecun senang di hati

Oey Tjin Eng (67) masih hafal lirik lagu Nonton Pecun, yang dipopulerkan Lilis Suryani
dengan iringan Gambang Kromong Naga Mustika, di atas. Ia juga masih menyimpan
kenangan mendayung perahu kali terakhir, sebelum tradisi penting dalam masyarakat
Tionghoa itu dilarang pemerintah Orde Lama tahun 1964.

Tjin Eng, demikian Humas klenteng Boen Tek Bio biasa dipanggil, kini tidak lagi
mendayung. Tubuhnya mulai renta, tapi ingatannya masih kuat. Ia adalah ensiklopedi
berjalan tentang Cina Benteng, dan kerap menjadi nara sumber para peneliti,
wartawan, dan televisi.

Tjin Eng menjadi satu dari segelintir orang paling sibuk di kepanitiaan Pecun. Ia
menerima wartawan media cetak silih berganti, dan berulang kali berbicara di depan
kamera televisi dengan latar belakang Sungai Cisadane dengan dua perahu saling adu
cepat.

Tjin Eng adalah prototipe Cina Benteng atau T’ang Lang. Kulitnya tidak lagi kuning, tapi
menghitam terbakar matahari. Ia ramah kepada siapa pun, dan tak lelah memberi
pengetahuaan akan ke-Cina-an — khususnya tradisi Cina Benteng — kepada siapa pun
yang bertanya.

“Generasi tua yang terlibat dalam perayaan ini di era Orde Baru tinggal sedikit,” ujar
Tjin Eng.

Tahun ini, terhitung sejak Pecun kembali digelar tahun 2000, kali ke-13 Tjin Eng
menjadi panitia. Ia seolah akan terus menjadi bagian tradisi Pecun, meski Rika
Lenawati — salah satu generasi penerusnya — mulai berani tampil di depan publik.

Sebagai generasi tua, Tjin Eng mengimpikan Pecun kembali hadir dalam bentuk
aslinya, yaitu sebuah perayaan yang melibatkan seluruh unsur masyarakat Tangerang;
Tionghoa dan pribumi, lengkap dengan berbagai atraksi kesenian
tradisional ‘peranakan’ dan kebiasaan-kebiasannya.

“Sulit menghadirkan suasana Pecun tahun 60-an pada saat ini. Suasananya sudah
beda,” ujar Tjin Eng. “Salah satunya, saat ini tidak ada lagi perahu sampan dan getek.
Generasi muda saat ini lebih suka menjadi penonton, dan enggan terlibat.”

Senada dengan Tjin Eng, Liem Wie Tjong — generasi tua etnis Tionghoa yang
bermukim di Cengkareng — mengatakan; “Perlu waktu lama mengembalikan kejayaan
Pecun era 1960-an.” Namun, katanya, tidak ada yang tak mungkin jika ada upaya terus-
menerus.

“Saya membayangkan Pecun dikemas sedemikian menarik, dipromosikan besar-
besaran, dan masuk kalender wisata,” ujar Wie Tjong, kini berusia 68 tahun. “Saya
yakin pesta tradisi ini tidak hanya menyedot wisatawan lokal, tapi juga dari sekujur
Jabotabek dan mancanegara.”

Sejauh ini, atau sampai perayaan Pecun ke-13, Pemkot Tangerang relatif hanya
memberikan ijin. “Tidak ada bantuan dana untuk penyelenggaraan, membantu promosi,
atau apa pun,” ujar Tjin Eng. “Semuanya kerja keras Boen Tek Bio. Mulai dari cari
sponsor, pendanaan hiburan, sampai penyelenggaraan.”

Tjien Eng tidak sedang mengeluh. Ia hanya mengemukakan fakta. Namun ketika
ditanyakan mengapa Pecun ‘disandingkan’ dengan Festival Cisadane, wajah Tjin Eng
berubah.

“Ini uji coba. Kita lihat saja apakah bisa sukses dua acara dijadikan satu,” ujarnya.

Tumpang Tindih

Pecun dan Festival Cisadane adalah dua event budaya berbeda. Pecun adalah tradisi
masyarakat Tionghoa yang telah ada di Indonesia sejak ratusan tahun. Sampai 1910,
Pecun digelar di Kali Besar, di kawasan kota tua Jakarta.

Akibat pendangkalan serius di semua kali di Jakarta, Pecun dipindahkan ke Tangerang.
Sungai Cisadane, tepatnya di tepian kali tak jauh dari Klenteng Boen Tek Bio, kali
pertama menjadi lokasi Pecun pada tahun 1911. Tradisi ini berlanjut sampai 1964.

Festival Cisadane relatif baru. Acara ini kali pertama diperkenalkan pertengahan 1990-
an oleh Walikota Zakaria Mahmud, dan relatif kurang populer. Semula, festival itu
bertujuan melanjutkan tradisi Pecun, tapi dengan nuansa lebih beragam, alias tidak
melulu berbau etnis Tionghoa.

Setelah Presiden Abdurrachman Wahid mencaut Inpres No14 Tahun 1967 — tentang
larangan semua ekspresi kebudayaan dan keagamaan Tionghoa — lewat Keppres RI
No. 6/2000, Pecun diselenggarakan lagi. Kini, Kota Tangerang memiliki dua festival air
yang relatif identik.

Sampai 2005, Pecun menjadi bagian Festival Cisadane. Tahun 2005 kali pertama
Pecun dan Festival Cisadane dipisah. Pecun, yang merupayan rangkaian perayaan
selama tiga hari, diselenggarakan lebih dulu. Festival Cisadane menyusul kemudian.

Ketika keduanya diselenggarakan bersama, suasana festival menjadi aneh.Di satu sisi,
kedua perayaan mengusung tema sama; Keanekaragaman Cermin Persatuan dan

Kesatuan, seperti ada garis demarkasi di atas Sungai Cisadane ketika kedua perayaan
itu digelar besama.

Demarkasinya adalah jembatan di depan pertokoan Tangerang Plaza. Sungai
Cisadane di sebelah utara jembatan menjadi lokasi Festival Cisadane, dan di sebelah
selatan — di bantaran sungai Jl Kalipasar — untuk Pecun.

Festival Cisadane seolah ingin menampilkan ‘pure’ keindonesiaan, dengan atraksi
kesenian tradisional dan modern. Pecun, sesuai trandisinya, menggelar keseinian hasil
akulturasi; lenong, cokek, tanjidor, plus tradisi Tionghoa lokal berupaya lepas 1.000
bebek.

Pengunjung, yang sebagian besar berasal dari Tangerang, terpecah. Akibatnya, kedua
festival tampak sepi, dengan banyak stand tidak mampu menyedot calon pembeli.

Bagi pengunjung dari luar Tangerang, terjadi kebingungan. Banyak dari mereka
menyangka Pecun dan Festival Cisadane berada di satu lokasi. Ketika mereka tak
menemukan suasana ‘ke-Tionghoa’an’ di pinggir kali mereka harus bertanya ke
petugas lain.

Nio Bun Yan, salah satu pengunjung asal Tegal Alur, mengatakan; “Pemerintah
tampaknya ingin menumpang popularitas Pecun, atau mungkin
sedang ‘menasionalisasi’ tradisi tionghoa ini, dengan cara menjadikannya bagian dari
event budaya lain.”

Dalam bahasa yang lain, Tjin Eng mengatakan; “Pemerintah seakan tak legowo.”
Seharusnya, menurut Tjin Eng, biarkan masyarakat Cina Benteng mengembangkan
kembali Pecun sebagai satu atraksi budaya apa adanya, tanpa perlu disatukan dengan
event budaya lainnya.

“Saya bisa saja tidak setuju, tapi orang lain tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti
keinginan pemerintah,” ujar Tjin Eng.

Bun Yan mengingatkan dalam Pecun ada keaneka-ragaman. Bahkan keaneka-
ragaman itu telah menyatu dan menghasilkan budaya baru. Ke-cina-an hanya terlihat
pada lomba perahu naga, dan sembahyang twan yang.

“Hampir seluruh hiburan yang ditampilkan dalam Pecun adalah produk budaya
perkawinan Tionghoa dan pribumi,” ujarnya. “Itulah yang menarik dari Pecun.”

Satu hal yang harus diingat, Pecun memiliki tradisi sekian ratus tahun. Pecun adalah
satu-satunya peluang wisata Kota Tangerang. Jika perayaan ini dikemas sedemikian
rupa, mendapatkan promosi luas, Pecun akan menjadi sumber devisa bagi pemerintah
kota.

“Yang saya bayangkan adalah Pecun di Tangerang menyedot perhatian seluruh etnis
Tionghoa di Jabotabek, dan wisatawan mancanegara,” ujar Tjin Eng.

Nonton Pecun di Kali Tangerang
Rame sungguh ai bukan kepalang
Bang Amat dan Mpok Dijeh
Ampe lupe pulang
Lihat orkes, cokek, dan gamelan
Pade ngibing, tarinya igel-igelan

Tiap tahun e rame sekali
Nonton Pecun senang di hati.
(Sumber:Republika/.Foto: Josep[h Chen)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *