Tanah Pengasingan – Bagian ke-26


Sub judul: Dialog Antara Kami, Kita Dan Mereka

Tahun 1998 masih agak sering kami mendapat “kiriman” tamu dari Indonesia. Mereka para turis dari
Indonesia yang keliling Eropa. Pertama ke Holland dulu, lalu ke bagian Eropa lainnya. Dan selalu akan
melalui Paris. Dan biasanya selama di Paris akan makan di resto kami. Yang kusebut “kiriman” tamu ini
adalah rekan kami sebisnis, antara turisme – pariwisata dan horeca ( hotel – resto dan cafe ). Biasanya dua
tiga bulan sekali akan ada saja tilpun dari Holland, pesan tempat buat belasan dan sampai puluhan orang
buat makan di resto kami selama di kota Paris. Karena hubungan ini sudah berjalan agak lama dan
lancar dan saling menguntungkan, maka kami pasang harga yang semurah mungkin tetapi tidak sampai
merugikan kami. Ini menyangkut promosi dan buat kelanjutan relasi yang mantap, dengan rekan
sebisnis kami di Holland. Pernah beberapa kali rombongan dari Indonesia. Dan kami sangat gembira
menerima rombongan ini, karena kami dapat berjumpa dengan orang Indonesia yang benar-benar “masih
hangat” dari Indonesia, bukannya dari Jerman, Swedia, atau Belanda yang sama saja dengan kami
keadaannya, dan pula kami sudah lama saling mengenal. Kalau mereka datang, kami ajak ngobrol, kami
usahakan agar mereka menjadi betah dan rileks selama makan di resto kami. Lama-lama kami mengerti
hukum mereka. Misalnya yang penting kami harus siap agar banyak nasi, ini yang paling penting, lalu
laukpauk sambal jangan lupa, kerupuk, lalap,dan sayuran serta buah-buahan. Daging tampaknya tidak
sepenting nasi. Apalagi anggur yang biasa menjadi minuman pokok orang Eropa, tak ada yang minta.

Apalagi kalau rombongan itu yang banyak menggunakan kerja-badan, mengeluarkan energi. Misalnya
saja para rombongan tarian-bali yang pernah mengadakan pertunjukan di kota Paris, harus siap banyak
nasi, nasi dan nasi. Terkadang kami kelabakan meladeninya karena ketika itu kami belum punya
pengalaman, sehingga buru-buru tanak-nasi. Dan kami sangat menyukai dan gembira menyambut mereka
ini. Sebaliknya merekapun sangat gembira bertemu dan ngobrol dengan kami, tanya-menanyakan segala
sesuatunya. Kami tahu mereka sangat puas, bukan hanya dari kata-kata mereka yang keluar dari mulut
saja, tetapi mereka menulis di buku-tamu, livre d*or, menyatakan kepuasannya dan puji-pujiannya. Tetapi
sekali ini, pada kuartal kedua dan sampai tahun 1999 ini tak ada lagi rombongan seperti dulu itu. Dulu
kami banyak juga berkenalan dengan para tamu kami yang ternyata dari berbagai daerah dan wilayah
dari Jatim misalnya, ada juga dari Jateng. Yang hamper kesemuanya adalah pejabat-daerah, para bupati,
sekwilda, dan ada juga para camat dan “pembesar setempat” di wilayah dan daerah itu. Tetapi pada
umumnya pada tingkat kabupaten, bukan kegubernuran. Karena begitu lama tak ada “kiriman” tamu ini,
maka kami secara agak iseng-iseng menanyakan kepada rekan kami yang di Holland, mengapa lama
sekali para tamu yang seperti dulu itu tak pada datang lagi.

“Akh itu kan sebelum masa reformasi dulu, Mas”, kata mbak Vera kepala guide wisata, menjawab
dalam tilpunnya. “Dulu itu kan belum ada masalah gencarnya mendobrak, membongkar KKN. Makanya
para “pembesar daerah tingkat kabupetan ke bawah” dapat bagianlah. Disuruhlah pelesir ke luarnegeri,
tentulah kira-kira merasai juga bagiannya, peruntungannya”, kata mbak Vera dari seberang sana. Dan
kami terpukau tak mengerti pada mulanya. Tetapi paham pada akhirnya, dengan nafas panjang berkata
sendiri——–Oooo begitu rupanya. Dalam hal ini mungkin kami terlalu lambat berpikir secara demikian,
karena tidak berada di dunianya sendiri. Dan kami ingat-ingat benar, memang pada waktu itu jauh
sebelum bulan Mei 1998, artinya “beliau” itu belum lengser keprabon pandita ratu! Ada-ada saja pikir
kami kejadian di dunia ini!

Lalu tak ada hujan tak ada angin, tak ada pertanda alamat apapun, datanglah beberapa orang ke resto
kami. Bukan ini yang penting. Tetapi yang datang itu adalah orang yang boleh dikatakan membawa “suatu
misi” dari Ambassade RI di Paris. Mereka yang ternyata kami kenal dan tak pernah saling bermusuhan
dengan kami, menyatakan maksudnya, bahwa Ambassade ingin mengadakan sedikit keterangan atau
ceramah mengenai pemilu sebelum bulan Juni ini. Jadi karena mereka mungkin saja ada anggapan bahwa
di resto kami ini ada yang berwarganegara RI yang mau menggunakan hak-pilihnya, maka mereka
sengaja datang buat sekedar menanyakan dan menawarkan siapa tahu ada di antara kami yang berminat.
Berminat menggunakan hak-pilihnya dan berminat mendengarkan keterangan dan ceramah soal-soal

pemilu. Kami pada mengurut dada, ada mimpi apa ini, kok sudah begitu berani dan begitu jengaren
datang ke resto kami. Sudah tentu kami menyambut kedatangannya. Kami kan orang resto, kehangatan,
kebaikan, keramahan, keterbukaan adalah “profesi” kami. Kalau tidak resto ini takkan dapat berumur
sampai sudah 18 tahun!

“Jengaren benar, Mas, lha kok tumben-tumbennya mau datang ke mari”, kata kami senyum senang.
“Apa nggak boleh, apa dilarang?”, katanya bergurau. Dan sekali lagi kami pada bersalaman hangat.
“Yang melarang dan yang menganjurkan agar tak datang ke resto kami ini, kan kalian! Dulu surat
edarannya langsung dari Jakarta, katanya sih atas anjuran menlu Mokhtar Kusumaatmaja ketika itu”.
“Yah, sudahlah, yang dulu ya dulu, kita sambut yang akan datang. Bagaimana setuju nggak?”, kata
seorang di antara mereka. Kami tak menjawab, tapi kami menjawab dengan menyambut kedatangan
mereka buat sekarang ini. Orang boleh berbeda pendapat tentang pemilu, pro dan kontra pemilu,
tetapi bagi kami yang penting sekarang ini, orang Ambassade datang ke resto kami, walaupun
samasekali bukannya pejabat-penting, tapi atas sepengetahuan Ambassade. Bukankah ada kwalitas baru
dibandingkan dengan dulu? Tentang apa isi kwalitas itu, tunggu dulu. Itu urusan lain lagi. Kalau sudah
sejak dari dulu mereka lakukan hal demikian, tentulah keadaan tidak menjadi seperti selama ini. Tetapi
kalau dipikir-pikir, mana berani kalau “beliau” itu masih belum lengser keprabon,pandita ratu! Takkan
ada kwalitas baru sekecil apapun.

Dari sangat lama dan sangat jarangnya para turis yang datang ke resto kami, lalu tiba-tiba tak ada hujan,
tak ada angin, tak ada pertanda alamat apapun, datang beberapa orang yang kami kenal, dan sejak dulu
tak pernah bermusuhan dengan kami, mendekatkan diri, ingin bersentuhan secara sejuk-nyaman, sudah
tentu kami menerimanya dengan terbuka. Samasekali bukan dari segi politiknya, tetapi inilah dulu, dari
segi kemanusiaan, kewajaran, dan human-being-nya. Kita ini makhluk sosial, bermasarakat, apalagi
“profesi” kami orang resto, pergaulan, pendekatan, keterbukaan, kedekatan, adalah mutlak. Senyum
dengan wajah jernih, harus kami “pasang” setiap waktu begitu bertugas di resto, dengan kejujuran
bukan kepalsuan atau kesemuan. Dan kami merasa dapat santai ngobrol dengan teman-teman kami yang
memang bertugas sebagai pelaksana dan mungkin pensukses pemilu itu. Bagi kami bukan pemilunya
itu, tapi mau datang dan mau mendekatkan diri itu saja, sudah suatu kwalitas baru. Pemilunya sendiri, di
antara kami jangan-jangan tidak satu pendapat, karena memang tidak pernah kami bicarakan sebelumnya.
Lagipula status kami tidak punya hak-pilih, sebab kebanyakannya berwarganegara asing.

Paris 1 Mai 1999 (bersambung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *