Syafii: Indonesia, Demokrasi “Tetapi”


Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, mengatakan, setelah beberapa kali mencoba sistem demokrasi tanpa nama selama 13 tahun, Indonesia telah mengalami banyak kemajuan. Kemajuan tersebut dalam makna memberi kebebasan luas kepada rakyat untuk sepenuhnya menggunakan haknya dalam proses pengambilan keputusan politik secara reguler

Namun, menurut dia, dalam sistem demokrasi itu selalu ada “tetapi”. “Tetapi yang paling sarat dosa adalah kenyataan bahwa tujuan kemerdekaan berupa ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ belum semakin mendekat di tengah-tengah pertumbuhan yang banyak dipuji itu. Lautan kemiskinan masih bersama kita, yaitu mereka yang berada pada lapis bawah piramida kekuasaan, sementara di puncak atasnya bertengger para elite yang telah cukup puas menikmati buah kemerdekaan ini,” ujar Maarif di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa (28/6/2011).

‘Tetapi’ lainnya adalah ongkos demokrasi melalui pemilu langsung yang mahal. Maarif menuturkan, sekitar tiga tahun yang lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan bahwa ongkos pemilu tidak kurang dari Rp 400 triliun selama lima tahun.

Oleh karena itu, politisi yang akrab dipanggil Buya Syafii ini menilai bahwa pada 2011, tentu biaya tersebut akan semakin membengkak. “Seorang calon bupati saja misalnya sampai menghabiskan puluhan miliar dalam pemilu kepala daerah, dan itu belum tentu menang. Dengan demikian, kita belum menemukan cara yang efisien dalam melaksanakan sistem demokrasi Indonesia yang dipuji oleh pihak luar itu,” katanya.

Selain itu, ‘tetapi’ selanjutnya adalah demokrasi sekarang ini belum pernah serius melaksanakan seruan mantan Presiden RI Soekarno tentang pembangunan bangsa dan pembangunan karakter yang telah berlaku sejak awal kemerdekaan.

Buya mengatakan, tidak ada seorang pemimpin di Indonesia yang benar-benar berpikir strategis untuk jangka panjang bagi pembangunan yang dinilainya belum selesai ini. Para pemimpin saat ini terlalu sibuk dengan politik kekuasaan yang telah menguras banyak energi bangsa.

“Akibatnya, proses intergrasi nasional masih saja harus dihadapkan pada ujian-ujian berat dan berdarah-darah. Terahkir yang dampaknya besar berlaku di Aceh dan Papua,” tuturnya.

Oleh karena itu, Buya meminta agar para pemimpin negeri ini memerhatikan dan memperbaiki berbagai persoalan tersebut. Menurut dia, jika keadaan seperti itu dibiarkan terus-menerus, rakyat Indonesia dapat tidak percaya lagi dengan sistem demokrasi di negeri ini.

“Kalau sudah tidak percaya lagi dengan demokrasi, sangat berbahaya sekali. Itu sudah menjadi lampu merah bagi bangsa ini. Jangan sampai terjadi itu. Apalagi sekarang sudah banyak orang bikin survei, misalnya lebih enak dengan Pak Harto atau sebagainya. Nah, itu artinya kekecewaan yang mendalam sekali. Jadi, pemerintah harus menanggapi kekecewaan ini,” tandasnya.

 

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *