ENTAH apa lagi yang mesti kita katakan ketika menyaksikan praktik korupsi di negeri ini. Kita nyaris kehabisan kata-kata.
Semakin keras kata-kata perang melawan korupsi diucapkan, semakin banyak korupsi dipraktikkan. Semakin kencang aba-aba perang dikumandangkan, semakin nekat pula para koruptor menggerus uang rakyat demi ketamakan pribadi.
Contoh paling baru ialah terjeratnya seluruh anggota DPR Papua Barat, termasuk ketua dan dua wakil ketua, dalam pusaran korupsi massal. Sebanyak 44 anggota legislatif provinsi muda itu divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jayapura, Senin (10/2), karena menerima dana Rp22 miliar dari pihak ketiga untuk kebutuhan pribadi mereka.
Kasus itu membuktikan sekali lagi betapa keserakahan pejabat publik dan wakil rakyat saat ini sudah sedemikian akut dan menakutkan. Korupsi seolah menjadi hal biasa dan wajar-wajar saja dilakukan bersama-sama.
Rakyat lapar? Itu cukup masuk daftar tunggu prioritas program kerja mereka. Prioritas pertama tentu saja memenuhi kerakusan pribadi dan keluarga. Dengan kejadian itu pula kita jadi bisa mengerti mengapa taraf hidup masyarakat di sebagian daerah di Tanah Air, termasuk Papua Barat, seperti enggan beranjak maju.
Di sana-sini banyak disorot adanya kelaparan, kemiskinan, kelangkaan lapangan kerja, dan tak jarang konflik antarwarga karena problem ekonomi. Namun, pada saat yang sama orang-orang yang diberi amanat menjadi wakil rakyat malah sibuk memperkaya diri.
Sejak reformasi berjalan, korupsi memang tak hanya menjadi langganan pemegang kekuasaan di pusat. Sangat ironis dan menyedihkan melihat fakta bahwa daerah telah menjadi lumbung korupsi baru. Desentralisasi rupanya bukan hanya distribusi kekuasaan, melainkan juga distribusi korupsi dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan di daerah.
Kita pun bertanya, bila Komisi Pemberantasan Korupsi dan aparat penegak hukum lainnya begitu hebat berupaya memberantas korupsi, mengapa korupsi seperti tumbuh semakin subur?
Jawabnya ialah kegagalan kita melembagakan atau menginstitusionalisasi demokrasi yang baik. Banyak kasus korupsi yang menimpa anggota legislatif atau pejabat publik yang berasal dari partai politik bila ditelusuri pasti berujung pada pembiayaan politik.
Demokrasi kita berbiaya mahal. Siapa pun, asalkan punya duit, bisa mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau pejabat publik. Maka, ketika berkuasa, mereka menuntut imbalan atau fasilitas setara. Bila perlu, melebihi anggaran yang telah mereka investasikan.
Demokrasi yang baik dan mapan tidak harus berbiaya mahal. Ia bahkan akan memberi insentif, fasilitas, dan peluang besar bagi calon anggota dewan atau pejabat publik yang punya kapabilitas dan integritas meski mereka tak punya duit.
Institusionalisasi demokrasi sendiri merupakan bagian dari pencegahan korupsi. Itu artinya pencegahan harus menjadi kepedulian seluruh pilar demokrasi.
Kita, lewat KPK, bisa dikatakan begitu hebat memberantas korupsi. Namun, kita kedodoran mencegahnya. Akibatnya, korupsi di negeri ini ibarat gulma yang terus diberantas, tapi tetap tumbuh, bahkan semakin subur.
Bila kita terus gagal melembagakan demokrasi dan pencegahan korupsi, justru korupsi itu sendiri yang akan melembaga.
Indonesia adalah Tanah Subur bagi Koruptor, memang kenyataannya menurut Artikel diatas bahwa Koruptor semakin Hebat Aksinya semakain Banyak yang Korup, bukan Rahasia lagi dan tidak dapat ditutup-tutupi meski bagaimanapun karena Kenyataan Bukti bukan hanya Kabar Burung atau Gossip, MERDEKA lah Para Koruptor di Indonesia