CERMIN DAN DEMOKRASI


Berkaca didepan cermin memandang diri sendiri, benarkah itu aku? Lha, kalau bukan aku, siapa lagi?
Tapi kenapa tangan kananku berada di sebelah kiri, tangan kiri di sebelah kanan?
Kita niscaya melihat, mengambil keputusan, bahkan menghakim berdasarkan kenyataan yang terbukti;
dimana benar salah, baik buruk diterapkan. Tapi apakah yang kita pandang sebagai kenyataan itu
sesungguhnya adalah kenyataan, bukannya semata mata sebuah persepsi? Pernahkah ada kenyataan tanpa
persepsi? Adakah persepsi yang tidak berpangkal pada kepentingan dan pengalaman individu maupun
kumpulan masing masing? Namun kita juga sadar bahwa persepsi itu berlainan pangkal, bahkan tidak
jarang pula transient pembawaannya.

Budaya Tionghoa yang berdasarkan budaya ajaran Kong Hu Chu, sangat mengambil berat kepentingan
keluarga. Antara lain anak anak perlu menghormat kepada orangtua, dan leluhur. Kalau ada yang berbuat
salah, keluar dari norma kebiasaan, ucapan yang selalu didengar adalah, “Kenapa kamu berbuat begitu?
Perbuatanmu itu membawa malu kepada orangtua.” Kalau perbuatannya lebih parah lagi, “Anak durhaka,
bikin malu orangtua, bikin malu leluhur.” Tentunya budaya mencerminkan kepentingan kehidupan
survival masyarakat di mana ia tumbuh. Jadi bagaimana pun ada nilainya yang tertentu. Hanya dengan
berjalannya waktu, dan berdasarkan kenyataan bahwa segala sesuatu tidak ada yang tidak berubah di
dunia ini melainkan perubahan itu sendiri, banyak budaya yang tadinya diagung-agungkan telah berubah
dan diganti dengan yang baru. Apakah yang baru itu selalu lebih baik dari yang lama, itu merupakan
masalah lain, tidak masuk dalam lingkaran topic pembicaraan kita di artikel singkat ini.

Bertahun tahun melalui mass media Barat, masyarakat diberi tahu bahwa hidup dalam sistim demokrasi
adalah yang terbaik, di situ terdapat kebebasan yang luar biasa, kebebasan berpikir, berkarya, termasuk
kebebasan bercelana jeans dan mendengar heavy metal rock music, juga kebebasan menghisap ganja
asalkan dilokasi yang ditentukan seperti di sebagian tempat di Eropah, misalnya. Tapi jangan sekali kali
di Singapura, berat hukumannya.

Sering kita lihat baik di media cetak maupun di TV banyak orang berjejalan berdemonstrasi di jalan
raya berteriak mengacungkan plakat dengan coretan besar DEMOKRASI Kami Mau DEMOKRASI
dan semboyan yang bersamaan nada. Berapa banyak diantara mereka yang sungguh mengerti makna
demokrasi dalam kehidupan bangsa? Terlebih pula demonstrasi yang sering terjadi di jalan raya di
bundaran Hotel Indonesia Jakarta? Dengan sebungkus nasi campur dan sehelai T shirt orang sudah
dengan suka rela berdemonstrasi menuntut Demokrasi. Lalu dengan cepat kabar dan foto barisan yang
menuntut Demokrasi disebar luaskan di mass media di mana-mana, memberi kesan bahwa rakyat
menuntut adanya demokrasi. Sebuah contoh persepsi berkaca di depan cermin.

Persepsi kita terhadap segala sesuatu dalam kehidupan sehari hari banyak terpengaruh oleh lingkungan,
dimana pengaruh mass media termasuk yang terkuat. Demi mencari keseimbangan persepsi perlu adanya
alternative information untuk menandingi mainstream information yang hanya menayangkan pandangan
dari satu sisi. Mungkin disinilah letaknya fungsi milis independent, memberi kesempatan melihat
kenyataan dari berbagai persepsi, dan dari situ dapat mengambil keputusan yang lebih memadai.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *