“Stigma”


Seperti yang pernah saya prediksi dalam tulisan saya sebelumnya, manuver-manuver politik

menjelang Pemilu 2014 akan semakin memanas memasuki tahun baru ini. Tidak mau mengecewakan

prediksi saya tersebut, pada tanggal 1 Januari 2014 Pertamina memberikan kado tahun baru dengan

menaikkan harga jual tabung LPG 12 kg dari Rp. 70.200 (sekitar USD 5.75) menjadi Rp. 117.000 (sekitar

USD 9.75), atau naik sekitar 68%. Apa hubungannya?

Kenaikan harga LPG yang drastis ini menyebabkan reaksi yang kuat di kalangan masyarakat.

Dengan turunnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan lemahnya mata uang rupiah, kenaikan harga

LPG yang menjadi tulang punggung dapur rumah tangga di Indonesia otomatis mengundang reaksi

tersebut. Beberapa analis bahkan langsung menjatuhkan vonis bahwa kenaikan harga jual tabung LPG 12

kg ini akan membunuh ribuan usaha kecil, seperti warung makanan dan pengusaha kue dan jajanan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan agar Pertamina meninjau ulang

kenaikan harga LPG tersebut. Semua menteri yang terkait dengan permasalahan ini diinstruksikan

untuk melakukan langkah-langkah menghindari keresahan masyarakat, termasuk juga memikirkan

langkah membatalkan kenaikan harga LPG ini. Para menteri ini pun memberikan reaksi yang bermacam-
macam: Menteri Energi, Sumber Daya Alam dan Mineral (ESDM) Jero Wacik mengaku tidak tahu atas

keputusan Pertamina ini, sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekonomi) Hatta

Rajasa menuding Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mewakili pemerintah di dalam

struktur perusahaan Pertamina yang bertanggung-jawab memberi persetujuan Pertamina untuk menaikan

harga LPG.

Pertamina menjawab reaksi pemerintah dan masyarakat dengan merujuk kembali pada aturan

yang ada bahwa untuk produk-produk yang tidak termasuk dalam barang-barang yang disubsidi oleh

pemerintah, Pertamina berhak untuk menyesuaikan harga produk tersebut sendiri. Produk-produk itu

antara lain bensin Pertamax dan LPG 12 kg. Untuk bensin Premium dan LPG 3 kg pemerintah Indonesia

masih memberikan subsidi sehingga harga jualnya ditentukan oleh pemerintah.

Selain itu Pertamina juga berdalih keputusan yang diambilnya itu merupakan tanggapan terhadap

rekomendasi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang meminta Pertamina untuk mengurangi kerugian

Rp. 7 trilliun (sekitar USD 580 juta) tahun 2013 dari penjualan LPG karena harga jualnya yang jauh

dibawah harga perolehannya. Oleh karena itu untuk mengurangi kerugian yang terjadi Pertamina

memutuskan menaikkan harga LPG yang tidak diatur oleh pemerintah, yaitu LPG tabung 12 kg yang non-
subsidi.

Menanggapi semua reaksi ini Menteri BUMN, Dahlan Iskan, terlihat pasang badan (baca:

mengambil semua tanggung-jawab) atas keputusan kenaikan harga yang tidak populer ini. Ia membela

Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina, atas keputusan yang terjadi dan secara singkat di depan

para wartawan ia berkata bahwa “semua itu salahnya” sebelum dirinya dirangkul dan ditarik oleh Jatta

Rajasa untuk memasuki ruang rapat dengan presiden di Halim Perdanakusuma.

Sikap Dahlan Iskan dan polemik kenaikan harga LPG ini menarik perhatian saya dalam konteks

kompetisi para tokoh yang berpeluang menjadi calon presiden Indonesia. Karena belum lama ini, tepatnya

di akhir bulan Desember 2013, Dahlan Iskan dinilai sebagai peserta konvensi presiden Partai Demokrat

terpopuler menurut survey Indo Barometer. Namanya jauh di atas Pramono Edhie Wibowo dan Anies

Baswedan.

Apakah ini merupakan “blunder” Dahlan Iskan dalam manuver politiknya? Atau situasi ini

sudah dirancang sedemikian rupa oleh Cikeas untuk meredupkan pamor Dahlan Iskan guna memuluskan

pencalonan Pramono Edhie yang merupakan adik Ibu Ani istri SBY sebagai calon presiden dari Partai

Demokrat?

Satu hal yang pasti dari peristiwa naiknya harga LPG awal tahun ini adalah turunnya citra

Dahlan Iskan sebagai calon presiden. Ia akan dianggap sebagai seseorang yang kurang sensitif terhadap

kesusahan rakyat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

[Type text]

Dalam persaingan politik di Indonesia saya perhatikan ada yang saya sebut sebagai strategi

stigma. Adalah suatu kemenangan bagi pihak tertentu apabila pihak lain bisa diberikan stigma yang

akan selalu menempel pada dirinya dan menjadi konotasi dalam benak masyarakat. Misalnya, Partai

Keadilan Sejahtera (PKS) dengan impor daging sapi, Aburizal Bakrie dengan lumpur Lapindo, Partai

Demokrat dengan korupsi para kader mudanya (untuk saat ini Angelina Sondakh, Nazarrudin dan Andi

Malaranggeng) dan Partai Golkar dengan dinasti (yang tertuduh sebagai) koruptor seperti keluarga Ratu

Atut Chosiyah di Banten.

Saat ini kesan yang bisa dirasakan di tengah-tengah masyarakat, terutama diantara generasi

muda, adalah berkembangnya apatisme terhadap kehidupan politik. Mereka menganggap tidak ada satu

pun partai yang bersih dan yang benar-benar mengusung aspirasi rakyat. Semua partai – mungkin akibat

strategi stigma di atas – adalah partai yang kotor.

Pada tanggal 7 Januari 2014 pemerintah dan Pertamina sepakat untuk “mengkoreksi” harga jual

LPG tabung 12 kg dari Rp. 117.000 menjadi “hanya” Rp. 82.200. Penurunan harga ini pasti bisa lebih

menenangkan rakyat. Namun apakah koreksi harga ini bisa juga “mengkoreksi” citra Dahlan Iskan yang

terlanjur sudah terkena stigma akibat keputusannya yang dianggap terburu-buru dan tidak berpihak pada

rakyat kecil? Allahu’alam. (RO – Twitter: @iamwongkampung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *