Sobron_Tanah Pengasingan Bagian ke-25


Sub judul: Tanggungjawab

Mengapa dulu itu aku seakan-akan mau saja menerima tugas dari guruku dan kepala foyer kami
Madame Barre, untuk ditunjuk dan diangkat menjadi kepala-gedung. Kalau kuingat-ingat benar,
samasekali bukan kemauanku buat menerima tugas menjadi kepala-gedung. Tapi karena didesak
dan dipercayakan, lalu diberi tanggungjawab, maka tak ada jalan lain, aku menerima saja
pengangkatan itu. Mungkin karena aku dituakan, atau karena hal-hal mengenai pekerjaan sehari-
hariku. Antara lain misalnya setiap pagi mulai jam 06.00 aku olahraga jogging, lalu taicichuan.
Lalu sesudah belajar bersama di kelas, bahasa Perancis, aku melanjutkan pekerjaan harianku
dengan tusukjarum. Dan pasienku memang banyak, ada belasan orang. Dan kalau hari Sabtu dan
Minggu, orang-orang berdatangan dari kota-kota sekitar situ, dari Vesoul, Belfort, Montpellier,
dan lain-lain.

Berbagai macam penyakit yang berhubungan dengan syaraf. Sulit tidur, banyak kencing malam,
tidak bisa kencing, sakit ayan, kalau di kampung kami penyakit ini namanya penyakit gila babi.
Sakit lemah syaraf secara umum, impotensi, hipertensi, banyak mimpi dan sebagainya. Bahkan
ada yang datang padaku yang mengidap penyakit tidak haid, tidak menstruasi, dan bahkan ada
yang datang minta gugurkan kandungannya. Tetapi prinsipku, akan kuobati kalau yang sifatnya
membangun, bukannya merusak. Menggugurkan kandungan kuanggap bukannya membangun
dan menyembuhkan, tetapi membongkar, merubuhkan, karena itu kutolak. Kuanjurkan agar ke
dokter umum dan ke rumahsakit saja.

Lalu pada suatu kali pernah aku berhasil mencegah perkelahian antara orang-orang Afrika dan
Asia. Perkara kecil saja, ketika perebutan piala dunia sepakbola di Barcelona tahun 1982, masing-
masing dengan klub andalannya, saling mengejek. Lalu menjadi saling mencemoohkan, lalu
memukul dinding pembatas gedung. Dan pada akhirnya masing-masing bawa golok, pentung,
tombak, pada siap mau perang! Aku yang ketika itu kebetulan yang tertua di antara mereka,
dan yang kebetulan semua mereka memanggiku dengan sebutan papa, dari yang kecil umur 4
a 5 tahun sampai nenek-nenek dan kakek-kakek yang hanya tinggal di kamar saja. Sebutan dan
panggilan “kehormatan” ini kugunakan sebaik-baiknya dengan menyerukan kepada kedua
belah pihak agar menyetop perkelahian, dan tidak boleh seorangpun yang memulai perkelahian.

Entah bagaimana pengaruhnya semua yang kuceritakan tadi, dari tukangtusuk jarum, lalu
taichichuan, praktek dokter tanpa diploma dan sertifikat apapun, nyatanya mereka mau menuruti
seruanku. Dan perkelahian itu tidak terjadi. Seandainya terjadi sungguh tak bisa kubayangkan.
Orang-orang dari Asia Tenggara ini, pada umumnya adalah bekas serdadu yang cukup banyak
membunuhi kaum komunis di negaranya masing-masing. Sedangkan orang-orang dari Afrika
dan Asia Timur-Tengah seperti Iran, Afganistan, juga berpengalaman perang betul-betulan.
Sebenarnya pada umumnya di foyer kami ini tempat sarang serdadu pelarian yang banyak
membunuhi orang. Dan disitulah aku hidup, di tengah mereka! Dan dari situlah pula, melihat
“keberhasilanku” ini yang pada akhirnya menjerat, mengikat dan memelintir kehidupanku sendiri.
Maka jadilah aku seorang kepala-gedung di antara tidak sedikit para pembunuh itu!

Padahal dalam hati ini, hanya Tuhanlah yang tahu, betapa aku takutnya, gelisahnya, dan
kecilnya nyaliku buat “membawahi” orang-orang muda yang gagah-berani ini, yang pengalaman
perangnya benar-benar terjadi di Kamboja, di Laos di Vietnam, di Iran dan Afganistan, dan
pedalaman Afrika. Dalam hatiku, kalau saja mereka tahu siapa aku ini, nah, habislah riwayatnya,
tamat dan bisa hilang dari peredaran! Tetapi segala apapun yang mau kukerjakan, kumulai, ketika
itu sadar benar aku, selalu ingat akan Tuhan dan minta kepadaNYA, memohon kepadaNYA.
Agar Tuhan selalu menyertai dan memberkahi pekerjaanku.

Suatu senja menjelang malam, tiba-tiba terdengar teriakan yang sangat mengejutkan. Suara
wanita dan jeritan anak-anak yang sangat memilukan. Bergegas aku mencari sumber suara

pekikan dan jeritan itu. Ternyata ada di tingkat dua sejajar dengan kamarku, tetapi ada dipojok
ujung. Dan aku segera lari mengejar sumber suara itu. Ada di kamar Tuan Lin, orang Laos yang
kecil perawakannya tetapi sudah banyak membunuhi orang komunis di negaranya. Teriakan itu
adalah suara isterinya dan pekikan tangisan yang sangat memilukan itu adalah dua anaknya yang
memang kukenal. Sura Tiak dan Keok, anaknya wanita berumur 9 tahun dan laki-laki berumur 7
tahun. Kuketuk pintu dengan keras, tetapi tidak dibuka juga. “Tuan Lin, aku papa, bukalah pintu!
Apa yang Tuan kerjakan itu!”, kataku keras agak membentak. Tetapi pintu tetap saja tertutup dan
terkunci dari dalam. Kugedor keras lagi. Tapi tetap saja dia membisu sedangkan suara isterinya
seperti kehilangan daya, dan dua anaknya semakin menjerit ketakutan. “Tuan Lin, sekali lagi saya
katakan, buka pintu, kalau tidak, saya pakai tenaga lain”, kataku. Tetapi tidak juga dibuka.

Dan aku hanya ingat satu saja, jangan sampai Tuan Lin membunuh orang lagi, jangan
sampai Tuan Lin membunuh isteri dan anak-anaknya. Dan aku hanya ingat satu lagi, ini
tanggungjawabku, kalau ada kematian, korban perkelahian, korban kekerasan, maka akulah yang
bertanggungjawab, karena aku sebagai kepala-gedung asrama kami di tengah kaum pengungsi
itu. Kuundurkan badanku untuk siap menyerbu dan menendang pintu itu. Kukumpulkan
kekuatanku, dan konsentrasi tanaga-dalam yang mungkin aku punya, maka kuserbu pintu itu,
kuterpa-tubruk, dan patah berkeping-keping. Aku masuk. Ya, Allah, apakah yang kulihat ini?
Tangan Tuan Lin sedang mencekik leher isterinya, dan di tentang urat-nadi besar itu. Dengan
sigap dan gerakan kilat, kutangkap tangan Tuan Lin, lalu kukibaskan sekuatnya, dan badan Tuan
Lin yang memang kecil itu, terhempas ke pintu yang sudah patah itu. Aku sangat marah, aku
sangat benci, dan aku sangat kasihan akan isteri dan kedua anak Tuan Lin. Tuan Lin kutangkap
dengan kedua tanganku, lalu kubawa menuju rumah Tuan Silvain, Kepala Foyer, wakil Madame
Barre. Ini memang pesannya kalau terjadi apa-apa. Dan apa-apa itu ya sudah terjadi sekarang ini.

Tuan Lin dipaksa menginap di perumahan penanggungjawab Kepala Asrama. Dan aku
membenahi kamar Tuan Lin, serta mengurus anak isterinya. Aduh, aduh, cobaan pertama dan
cobaan gila-gilaan ini, sangat menakutkan dan mencemaskan. Kalau ada yang mati, maka akulah
yang terkena imbasannya, sebab sebagai kepala-gedung, kenapa sampai terjadi peristiwa ini,
justru dalam “wilayah pengawasanku”. Dan malam yang menakutkan itu, ternyata belum
berakhir, dan masih berkepanjangan. Tiak dan Keok, dua anak Tuan Lin, mengetuk pintu
kamarku. Mereka langsung masuk dan menangis sedih dan pilu, agar aku datang ke kamarnya
buat melihat ibunya yang sakit keras mendadak. Dan aku segera bergegas menuju kamarnya.
Apakah yang kulihat ini? Isteri Tuan Lin muntah darah, dan wajahnya putih-pucat, sudah tak
bertenaga lagi. Aku segera menghubungi Tuan Silvain yang gedungnya masih di kompleks itu
juga. Dan kami segera menilpun ambulance di kota Lure yang kecil itu. Tak sampai 10 menit,
ambulance datang dan segera mengangkut Madame Lin. Sedangkan Tiak dan Keok ikut
bersamaku ke rumahsakit. Dan malam itu aku tak sepicingpun bisa tidur sampai paginya.
Karena aku mau tahu, bagaimana nasib Madame Lin. Sedangkan Tiak dan Keok terus menangis
di pangkuanku. Betapa sedih dan kasihannya dua anak kecil yang tersiksa akibat kekejaman
bapanya itu.

Sampai keesokan paginya, aku berdua anak Tuan Lin masih menunggu di rumahsakit. Tuan Lin
tak lagi terpikirkan olehku, itu bagian Tuan Silvain yang mengurusnya! Dan agak senang juga
hati ini, begitu tahu bahwa krisis sakitnya Madame Lin sudah lewat. Artinya dia tidak sampai
fatal, dan kabar inilah yang aku mau tahu. Cekikan Tuan Lin kulihat memang cekikan maut, dan
pantas sajalah kalau Madame Lin sampai muntah darah, tidak matipun sudah memadai! Cekikan
itu jangan-jangan yang sering dilakukannya kepada musuhnya di Laos sana. Tetapi kini dia sudah
ada di negara beradab, dan mereka di bawah pengawasan serta perlindungan yang mereka minta
buat melindunginya. Ingat Tuan Lin begini, rasanya benar-benar aku sangat marah dan sudah
tidak ingat lagi mau berapa kek dia banyaknya membunuh orang dulunya di negaranya itu! Dia
punya isteri yang setia, dua anaknya yang baik, sehat dan lucu. Tetapi siapa tahu karena memang

terlalu banyak membunuh orang, lalu terkena sakit jiwa walaupun mungkin masih ringan.

Dan di tengah pergaulan hidup beginilah aku berada di tengahnya, menjadi kepala- gedung pula.
Oh, nasibku, selalu dirundung kecemasan, kekuatiran dan ketidaktenangan. Keberanianku, aku
sendiri tak tahu dari mana datangnya dan bagaimana bisa terjadi begitu. Tetapi satu hal, aku
selalu berdoa kepada Tuhan, minta kepadaNYA, memohon perlindunganNYA, selalu dan selalu.
Padahal aku boleh dikatakan samasekali tak punya pengalaman apa-apa di tengah masarakat
yang penuh api, penuh amarah dan benci satu sama lain ini. Sekali-sekali memang ada perasaan
hatiku dan bertanya kepada Tuhan, Tuhan kapan Kau memindahkan aku dari tempat ini? Kapan
Tuhan? Ternyata, dan untunglah telegram datang dari temanku Markam, agar aku segera kembali
ke Paris! Dan sukur alhamdulillah, Tuhan sangat memperhatikan permohonanku, kecemasan dan
ketakutanku sepanjang aku “menjabat kepala gedung” yang sangat menakutkan itu.-

Paris 28 April 1999

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *