Tanah Pengasingan Bagian ke- 27


Sub judul: Pelurusan Pikiran

Pada mulanya di antara kami bukannya mudah untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang
harus kami kerjakan sehari-hari. Dalam pikiran tetap ada perjuangan, apa sih pekerjaan yang
beginian! Nyapu, ngepel, cuci-piring-mangkuk-gelas, segala cuci-mencuci, lalu ngepel dan
membersihkan WC, pekerjaan susu-asma saja! Susu-asma yalah tetek-bengek. “Terlalu remeh-
temeh”, inilah anggapan sebagian kami. Perjuangan dalam pikiran itu nantinya akan tercermin
pada tindak-laku atau menyembul keluar.

Suatu kali akan terucapkan, bahwa demikianlah bias
dalam diri seseorang yang menyatakan ketidak-puasannya atas pekerjaan dan “kedudukan
sosialnya”. Bila “pikiran dan perasaan” itu ke luar, maka tahulah kita, kira-kira teman ini “belum
klar, belum jernih akan masalah tugas-pekerjaan” yang dihadapinya. Masih punya soal yang
belum terbebaskan dalam dirinya. Dan ini menurut kami masih dalam batas kewajaran, walapun
pikiran dan perasaan itu seharusnya dikikis sedikit demi sedikit. Bukannya lalu dipupuk
jadi subur, bukan!

Suatu kali teman kami si baju-merah, menanyakan kepada temannya si
baju-biru,-
“Kerja hari ini?”.
“Ya, hari ini ngacung di resto”, jawabnya. Si baju-merah belum begitu menangkap apa
maksudnya.
” Apa itu ngacung?”.
” Ya, ngacung, menjadi kacung, jongos, apalagi!”.
“Lho kok ngacung, jadi kacung, jadi jongos? Apa maksudnya sampeyan berkata begitu?”.
“Biasa, tak ada apa-apa. Pekerjaan begini kan memang pekerjaan kacung atau jongos sebutan
lamanya. Jenis pekerjaannya ya sama, pesuruh, bisa juga opas kalau di kantoran”.

Rupanya si baju-merah tidak merasa puas akan jawaban teman tadi. Lalu terjadi sedikit diskusi
yang hampir jadi pertengkaran. Yang satu tidak terima sebutan kacung, jongos, pesuruh, yang
satunya lagi sebenarnya sama saja, akan tetapi karena luapan ketidakpuasannya lalu terlontar ke
luar. Si baju-biru belum dapat menyesuaikan diri dengan pekerjaannya, atau karena perasaan-
beban yang masih memberati dirinya. Merasa dirinya kaum intelektuil, pekerja-otak, apalagi
ada gelar sarjananya, maka perasaan dan pikiran demikian bukannya mudah untuk mengikisnya
dalam waktu yang singkat.

” Kalau menurut pendapat saya, apapun pekerjaan yang kita lakukan asal saja sah dan tidak
melanggar undang-undang dan peraturan tata-tertib masyarakat yang luas, adalah mulia. Adalah
dibenarkan. Mengemispun dibenarkan, habis tak ada lowongan pekerjaan yang bisa didapatkan
seseorang! Tetapi kalau mencuri, mencopet, jambret, apalagi rampok, atau pekerjaannya hanya
menipu orang saja, nah, ini barulah mengganggu masyarakat. Ini melanggar undang-undang,
membikin susah orang lain.

Kalau sampeyan merasa “jadi kacung dan jongos” tadi itu, justru
membikin orang lain senang, sebab bagian resto menjadi bersih. Lantai bersih, piring-mangkuk,
gelas semua barang pecah-belah bersih, WC-nya bersih dan tidak bau. Nah, ini pekerjaan mulia!
Pikiran dan perasaan sampeyan itu yang belum bersih! Dan perkara ini yang harus sampeyan
bersihkan”, kata si baju-merah tidak sabaran.

Pada hari lain, ada teman wanita yang bekerja di perumahan orang-orang tua Perancis,
pekerjaannya sebagai femme de menage, artinya pekerjaan wanita pembersih rumahtangga.
Seorang teman bertanya lagi yang kebetulan sama dengan yang dulu itu.
“Mbak besok kan Sabtu, kerja nggak?”.
“Aduh, saya besok diminta kerja, karena hari Minggunya keluarga Madame Blondel akan datang.
Jadi tetap saja besok harus ngembabu”, katanya.Tampak temannya itu tidak merasa puas akan
jawabannya, lalu minta penjelasannya.

“Apa sih maksudnya ngembabu?”.
“Ya ngembabu jadi babu, jongos kalau laki-laki mah! Pesuruh, ya apalagi”.
” Lho kok jadi ngotot dan nggak puas begitu sih?”
“Memang pekerjaan begitu kan, sama saja dengan pekerjaan seorang babu dan jongos dan
pesuruh, apa lagi, tokh kenyataannya memang begitu”, kata teman yang merasa bebannya begitu
berat itu. Maka terjadi lagi diskusi buat “penjernihan” apa sesungguhnya beban pikirannya.

Dijelaskannya, sebenarnya begitu banyak jenis pekerjaan yang diperebutkan antara kaum pencari-
kerja, dari berbagai bangsa dan kewarganegaraan di Paris ini. Seseorang tampaknya mendorong
kereta-bayi, tapi tampaknya bayi itu bukan anaknya sendiri, dan ternyata wanita itu seorang
baby-sitter. Dia bekerja buat mengongkosi kehidupannya, dia datang dari Taiwan, dan sedang
mempersiapkan penulisan disertasinya buat gelar doktor ekonomi-perusahaan.

Dan banyak lagi pekerja serabutan, di resto, di pertokoan, di perusahaan, sebagai pekerja-kasar,
yang padahal mereka itu sudah bergelar sarjana penuh. Tetapi karena tak ada lowongan pekerjaan
yang seprofesi jurusannya, maka pekerjaan apa saja dia tangkap dan pegang erat. Ini semua demi
kelanjutan hidupnya.

Sampai tahun ini, seorang teman kami yang benar-benar doktor tamatan
EHESS Paris, tetap saja dengan rela dan tanpa beban sebagai pekerja resto, termasuk ngepel
ruangan dan WC tadi itu. Termasuk yang bisa dikategorikan si baju-biru dengan sebutan “kacung
dan jongos” tadi itu.

Dan mengapa banyak sekali orang Perancis yang begitu bersimpati dengan
kami. Karena mereka banyak juga yang tahu, bahwa di antara pekerja resto kami, lebih dari 80
persennya adalah bergelar sarjana, mahaguru, dan wartawan tingkat nasional yang dikenal banyak
jurnalis internasional. Tetapi kebanyakan dalam pikiran teman-teman ini tampaknya sudah “klar
dan jernih” bahwa pekerjaan apapun adalah mulia kalau dikerjakan dengan jujur, sungguh-
sungguh, dan mencintai pekerjaan.

Seseorang yang “belum klar = klaar, selesai,- jelas-jemelas” akan merasa kikuk kalau ada
pekerjaan ngepel di luar resto, yang bisa banyak dilihat orang, terbuka sifatnya. Tetapi kalau
masih di ruangan-dalam, tak apalah, tokh orang tak melihatnya. Dan perasaan serta beban-pikiran
begini tidak begitu mudah buat mengikisnya dalam waktu yang singkat. Hanya proses praktek
pekerjaan dan kehidupan itu sendiri yang akan menempa seseorang “menjadi” atau “belum jadi”,
atau perlu proses panjang lagi. Seseorang tidak sama proses penempuhannya itu, ada yang lama,
ada yang sebentar, bahkan ada yang “belum jadi-jadi juga”! Saling bantu dalam proses pekerjaan
dan kehidupan secara begini tampaknya memang dibutuhkan, agar bisa secara matang dan wajar
sampai “jadi dan klar serta jernih”. Paris 2 Mei 1999(bersambung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *