Sisi lain maestro bedah saraf Prof. Dr. dr. Satyanegara, Sp.BS
dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 2 Oktober 2022/Indonesia Media – Pepatah ‘Buah jatuh tak jauh dari pohonnya’ yang bermakna bahwa kemiripan sikap, perilaku, dan pola pikir antara orang tua dengan anak-anak mereka. Namun, benarkah demikian menurut maestro bedah saraf, Prof. Dr. dr. Satyanegara, Sp.BS?. Jawabannya, bahwa pepatah tersebut tidak berlaku pada dirinya. “(pepatah tersebut) tidak mencerminkan kondisi saya dengan kedua putra saya,” Satyanegara mengatakan kepada Redaksi.
Menurutnya, sedari kedua putranya masih kecil, mereka dibawa ke Jepang. Ia pergi ke Jepang pada tanggal 18 oktober 1958 dengan berbagai perasaan karena pisah dengan keluarganya. Ia pun tiba tanggal 6 desember 1958 di Tokyo, Jepang. Pada saat kedua putranya dibopong ke Jepang, masing-masing berusia 4,5 (empat setengah) dan 2,5 (dua setengah) tahun. “Sedari mereka bangun tidur dan beranjak tidur pada malam hari, (kami) tidak pernah temu,” kata pemilik nama Tionghoa, Oei Kim Seng
Situasi tersebut sama sekali bukan keinginannya. Sebaliknya, kesibukan dari pagi sampai malam hari yang membuat suasana jarang bertemu kedua putranya sampai mereka duduk di bangku SMA (sekolah menengah atas). Karena kondisi tersebut, terbesit pikiran kalau ia bukan sebagai ayah yang baik pada saat itu. “(terbersit) saya bukan sebagai ayah yang ideal di mata mereka. Saya bukan seorang kepala keluarga yang ideal. Sehingga mereka tidak memilih profesi dokter. Sebaliknya, putra pertama saya memilih profesi ekonom. Yang satu lagi, memilih berprofesi sebagai electrical engineer. Yang ekonom, lulusan dari Amerika. Satu lagi, lulusan jepang,” kata Satya Negara saat ditemui di ruang kerjanya di Rumah Sakit Satya Negara, Sunter Jakarta Utara.
Kendatipun demikian, ia yakin bahwa sebagai lelaki, kedua putranya terjun ke masyarakat melakukan berbagai kegiatan pekerjaan dan sosial dan sering berkonsultasi. “Mereka akan selalu berkonsultasi dengan saya sebagai ayahnya,” kata Satya Negara yang sempat bercita-cita jadi penulis atau wartawan.
Kondisi serupa tapi tak sama, yakni detik-detik kelahirannya di desa Kudus, Jawa Tengah. Pada saat itu, tepatnya 1 Desember 1938, kondisi ibunya yang hamil dengan air ketuban pecah. Kedua orang tua termasuk ibunya mengajar sekolah di Desa Welahan, kecamatan Welahan, Jepara Jawa Tengah. Air ketuban pecah, sang Ibu harus cepat-cepat dibawa ke rumah sakit. “Waktu saya masih di dalam kandungan, air ketubannya pecah, (kondisinya) sulit. Kalau naik mobil, (jumlahnya) masih sangat sedikit. Perjalanan (dari Welahan) ke rumah sakit di Semarang, sangat jauh. Sehingga saya dilahirkan di Kudus, sekedar menumpang lahir. Aslinya, saya dari Welahan dan pindah ke Semarang untuk sekolah. Sehingga saya lebih merasa sebagai orang Semarang,” kata Satya Negara yang sudah menulis buku Ilmu Bedah Saraf seri I – VI.
Setelah berpindah-pindah, terutama setelah kembali (dari Jepang) ke Indonesia pada tahun 1972, ia masih ingat berbagai momen memorable yang pernah dilewati. Momen dan kenangan ketika ia masih sering berkumpul bersama keluarganya, kakek-nenek dan ayah-ibunya. Suasana berkumpul bersama dengan kakeknya dan kedua orang tuanya, sebuah kenangan indah. Ketika ia diajak kakeknya makan makanan khas Semarang, menu favorit yang tidak terlupakan, yaitu sate dan gulai kambing. “(momen memorable) ketika kami makan sate, gulai kambing. Tapi saya hanya makan dua sate saja. Ayah saya sering bagi (porsi) separo, bahkan kurang. Karena kedua orang tua saya kan hanya guru sekolah,” kata Direktur Senior Tzu Chi Hospital, Pantai Indah Kapuk/PIK. (sl/IM)