Setiap Tahun 283 Tindakan Pelanggaran Kebebasan Beragama


Setara Institute melakukan dialog kebijakan dengan Menteri Dalam Negeri RI Tjahjo Kumolo pada Rabu (20/5) di Kantor Kemdagri, Jakarta.

Tujuan dialog Kebijakan ini adalah untuk membangun sinergi dan koordinasi antarpemangku kepentingan dalam rangka memajukan hak asasi manusia, khususnya penghapusan diskriminasi agama atau keyakinan di Indonesia.

“Sebagaimana diketahui, arus politik penyeragaman atas dasar agama dan moralitas telah menimbulkan kekerasan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk. Kemendagri adalah salah satu institusi negara yang memiliki kewenangan penanganan masalah ini,” ujar Ketua Setera Institute Hendardi dalam keterangan persnya seusai dialog tersebut.

Setara Institute, kata Hendardi memaknai hari kebangkitan nasional (20 Mei 2015) sebagai sebuah momentum untuk menghadirkan kembali semangat terbentuknya bangsa, baik melalui Boedi Utomo maupun Sumpah Pemuda. Dalam semangat tersebut, menurutnya ditegaskan, pluralisme sebagai fakta sosio-antropologis bangsa Indonesia dan harus dikelola dan dirawat oleh setiap generasi.

“Kebangkitan nasional hari ini ditujukan untuk bangkit melawan praktik diskriminasi, kekerasan, atas dasar apapun,” tandasnya.

Setara Institute menyampaikan fakta-fakta pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sejak 2007-2014. Menurut Hendardi, sepanjang 8 tahun, tercatat 1.680 peristiwa dengan 2.268 tindakan pelanggaran.

“Jika dirata-ratakan maka setiap tahun terjadi 210 peristiwa dengan 283 tindakan. Sebagian besar peristiwa tersebut mengalami impunitas dan tidak diadili secara fairness dan memenuhi rasa keadilan. Sementara, aktor pelanggaran dilakukan oleh aktor negara dan aktor non Negara,” terangnya.

Selama 8 tahun, lanjutnya Setara Institute mencatat 316 tempat ibadah mengalami gangguan dengan derajat yang beragam, dari pembakaran, pengrusakan, dan gagal didirikan dengan alasan perizinan. Dari 316 tempat ibadah tersebut terdapat 20 tempat ibadah aliran kepercayaan, 163 gereja, 3 klenteng, 110 masjid aliran keagamaan minoritas, 1 sinagog, 5 pura, dan 14 vihara.

Lebih lanjut, Hendardi mengatakan merujuk pada data Komnas Perempuan (Agustus 2014), terdapat 365 kebijakan diskriminatif yang dibentuk atas dasar agama, dalil-dalil keagamaan misoginis, dan bertentangan dengan hak asasi manusia.

Dari 365 kebijakan tersebut terdapat 279 kebijakan yang langsung menyasar pada perempuan. Sedangkan yang mendiskriminasi kelompok agama atau kepercayaan terdapat 40 kebijakan.

“Selain itu terdapat Qanun Jinayat Aceh dan Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban di Aceh Utara yang hingga kini belum direspons oleh pemerintah. Perda-perda diskriminatif yang lahir sejak kebijakan otonomi daerah digulirkan pada 1999 juga potensial direplikasi oleh otoritas desa yang melalui UU 6/2014 tentang Desa memiliki kewenangan membentuk peraturan desa, hingga dimungkinkan melahirkan perdes-perdes yang diskriminatif,” pungkas Hendardi.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *