Indonesia masih akan bergulat dengan berbagai masalah terkait penodaan agama karena dua faktor, yaitu hukum dan sosial. Dalam kasus tertentu faktor politik juga menjadi bahan bakar, yang membuat sebuah kasus kecil bisa menjadi besar.
Konferensi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan sesi 2 membahas persoalan itu dengan tema utama “Tren Penodaan Agama di Indonesia”. Acara ini diselenggarakan sejumlah lembaga seperti YLBHI, ICRS, Komnas HAM, CRCS, dan beberapa lainnya.
Salah satu pembicara dalam acara yang digelar Jumat (21/8) ini adalah Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik. Taufan mencatat, kasus penodaan agama berpotensi merembet ke berbagai persoalan.
“Ini sangat memprihatinkan, karena isu pokok dari penodaan agama atau penistaan ini adalah karena dia kemudian bisa kemana-mana. Nanti kalau kita lihat tipologi kasusnya kan juga begitu, terutama dalam kaitan ketika situasi atau dinamika sosial politik kita itu sangat panas,” papar Taufan.
Taufan menilai, kasus-kasus penodaan agama menyita energi bangsa karena saling adu ke penegak hukum yang tidak ada habisnya. Salah satu akar persoalannya, tambah Taufan adalah faktor regulasi yang bisa menempatkan siapapun dalam lingkaran kasus ini.
UU ITE dan Surat Edaran Kapolri turut mewarnai keruwetan kasus-kasus penodaan agama. Rumitnya, batasan untuk kasus-kasus semacam ini juga tidak jelas, sehingga pelaku penodaan agama nasibnya juga tergantung faktor di luar hukum.
Taufan memberi contoh, faktor mayoritas-minoritas berperan sebagaimana terlihat dalam sejumlah kasus. Jika pelakunya muslim dan ada di Jawa atau Sumatera, dia akan cenderung dapat terhindar dari kasus hukum. Sementara jika terjadi di Nusa Tenggara Timur, atau daerah lain yang muslim menjadi minoritas, pelaku non muslim akan cenderung tidak diproses hukum.
“Jadi bukan hanya fleksibel pasalnya, tetapi juga cenderung diskriminatif dan menimbulkan problem yang akan berdampak pada sosial politik kita,” kata Taufan.
Pengenaan Pasal Tidak Jelas
Pegiat hukum dari YLBHI, Asfinati mengatakan, dari berbagai kasus yang ada, dapat disimpulkan bahwa di Indonesia, penodaan agama dianggap sama dengan penistaan agama. Padahal, keduanya adalah konsep yang sama sekali berbeda, dan penyeragaman semacam ini tidak bisa dilakukan di dalam hukum pidana. Selain itu, penggunaan pasal-pasal juga tidak memiliki batasan jelas.
“Terjadi perluasan penggunaan pasal, sehingga kemungkinan orang masuk sebagai penoda agama lebih besar pastinya. Tidak ada definisi yang jelas, sehingga penegak hukum cenderung dipengaruhi oleh desakan massa atau publik dan bisa mempidanakan apa saja,” kata Asfinati.
Alasan gangguan ketertiban juga masih menjadi alat untuk menangkap atau memproses pelaku, sebagaimana pengalaman Asfinati sendiri sejak tahun 2005.
Namun, Asfinati mengaku ada sejumlah perbaikan dalam tindakan aparat terkait kasus sejenis. Ada kecenderungan aparat untuk tidak langsung menetapkan status tersangka terhadap terlapor, yang berbeda sekali dengan masa sebelumnya. Selain itu, ada pula upaya memeriksa kesehatan jiwa terlapor sebelum menjadikan tersangka.
Ada pula hakim yang mau membebaskan pelaku, upaya fasilitasi perdamaian, ada ada keberanian untuk tidak menindaklanjuti kasus yang viral dengan proses hukum. Dalam beberapa kasus, penegak hukum juga mengalihkan kasus penodaan agama menjadi ujaran kebencian, meski nampaknya hanya diberlakukan ke mereka yang sering membela kebijakan pemerintah.
Karena itu, YLBHI merekomendasikan perlunya penghapusan pasal penodaan agama di KUHP dan penistaan agama di Undang-Undang Ormas. Selain itu, perlu penghapusan UU ITE atau revisi kedua karena pasal yang multitafsir, misalnya terkait apa yang disebut sebagai tindakan menghina.
Pasal penodaan agama, kata Asfinati sebaiknya diubah menjadi pasal hate crime, siar kebencian dan diskriminasi berbasis agama. Alasannya, langkah itu akan lebih tepat guna dan tidak mengkriminalisasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Dan harapan kami masih ada di dalam RUU KUHP, karena masih dalam pembahasan,” tambah Asfinati.
Penodaan Agama Tetap Diatur
Harapan Asfinati mungkin terlaksana, tetapi kecil kesempatannya karena draft RUU KUHP baru sebenarnya sudah dianggap selesai. Anggota DPR Komisi III, Taufik Basari dalam konferensi ini menyebut, DPR sendiri sampai saat ini belum mengesahkan RUU KUHP yang di dalamnya terdapat sejumlah pasal terkait penodaan agama.
itu semua hanya faktor Fanatik dan Pemaksaan, padahal di Arab sono gak begitu, lihat dan ingat apa yang dikatakan Raja Salman sewaktu berkunjung ke Indonesia, dia mengatakan bahwa Pengajaran Islam di Indonesia banyak kekeliruan dan ketidak benaran Pengajarannya, tapi tidak ada satupun berani mengatakan bahwa itu Penodaan Agama ?