Selisih PPN, PPn 8,5% Menjadi ‘Racun’ bagi Pelaku Usaha


DJBC1Jakarta Agustus, 8, 2017/Indonesia Media – Hampir seluruh negara di dunia menerapkan sistem perpajakan khususnya Pajak Pertambahan (nilai) yang dikenakan dikenakan sebesar 10 persen terhadap harga jual, sehingga terjadi multiple taxation. Tetapi konsep penerapan jenis pajak tersebut di Indonesia lebih dari satu, yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan (PPn) yang biasanya terkait dengan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). “Seluruh dunia, (sistem perpajakan) dengan menggunakan ‘n’ kecil. Hanya segelintir negara yang menerapkan ‘N’ (huruf besar) yakni PPN,” Puspahadi Boenjamin dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengatakan kepada Redaksi.

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai (N dengan huruf besar) merupakan jenis pajak tidak langsung disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan merupakan penanggung pajak (konsumen akhir). Prinsip dasarnya adalah suatu pajak yang harus dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi. Jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk tersebut. PPN hanya memajaki pertambahan nilainya saja, melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan. Sedangkan konsep PPn (n dengan huruf kecil) yakni pengenaan sebesar 1,5 persen terhadap harga jual, sehingga terjadi multiple taxation. “Kalau ‘n’ (huruf kecil) 1,5 persen, N (huruf besar) 10 persen, berarti selisih 8,5 persen. Semua orang tidak suka dengan N besar. Sistem PPN (N huruf besar) juga salah tempat, salah waktu. (Penerapan) dengan tingkat kesulitan, sampai akhirnya seperti sekarang ini. Pajak akhirnya menjadi ‘racun’ karena salah penerapan. Kalau mau diubah atau revisi (PPN, PPn), pembahasan bisa sampai DPR.”

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia wajib membuat e-faktur atau faktur pajak elektronik untuk menghindari penerbitan faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya.

Lebih gamblang lagi, pengertian PPN yakni pengenaan pajak hanya atas pertambahan nilainya (value added) dalam setiap transaksi. Sedangkan PPn adalah Pajak Penjualan, dikenakan pemajakan atas nilai transaksi dalam setiap mata rantai transaksi. PPN diterapkan sejak 30 tahun yang lalu, dan waktu itu dianggap lebih baik ketimbang PPn. Para pengelola keuangan pemerintahan seakan memberi harapan untuk pelaksanaan pembangunan dalam pemerintahannya. “Faktanya, dalam kurun waktu 30 tahun (pengelolaan keuangan), apa yang didapat?. Undang Undang berubah-ubah, kepastian hukum sangat minim. Mereka (pengelola keuangan pada saat itu) dengan label ‘jebolan Harvard Business School (Amerika)’ nggak menjamin. Terbukti, sekitar 200 lebih negara di dunia menerapkan PPn (n huruf kecil). Yang menerapkan PPN (N huruf besar) hanya sekitar 20 negara termasuk Indonesia.”DJBC2

Dampak langsung penerapan PPN atas impor yakni siapa yang diuntungkan, siapa yang rugi. Kalau semakin banyak konsumen di Indonesia membeli produk impor, berarti beban lebih banyak pada konsumen langsung. “Kesalahan bukan pada pihak penjual.” Sehingga pengelola keuangan di Indonesia juga bisa belajar dari India. Kendatipun income per kapita rakyat Indonesia di bawah rata-rata Indonesia, tetapi berbagai peralatan industrinya ‘made in India’. Alat-alat produksi misalkan tractor, alat pertanian di India bikinan dalam negeri mereka. Itu satu kebanggaan. Sementara kita, tidak bisa bangga karena banyak impornya termasuk peralatan pertanian.”

Sebagaimana impor adalah kegiatan perdagangan dengan cara memasukan barang dari luar negeri ke dalam wilayah pabean Indonesia, (importir) harus memenuhi ketentuan yang berlaku. Berbagai biaya yang timbul dalam kegiatan impor antara lain biaya pabean, bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor (PDRI). Selain itu, biaya pelayaran mencakup THC (terminal handling charge) yakni biaya yang timbul atas penanganan muatan di pelabuhan muat (port of loading). Biaya tebus D/O, adm. D/O, dan Doc. Fee yakni biaya yang dibebankan oleh pelayaran atas pengambilan D/O.c. Ada juga biaya pelabuhan seperti biaya penumpukan dan lift on full. Biaya operasional, biaya-biaya yang dikeluarkan EMKL seperti biaya angkutan darat, biaya empty container, biaya non kwitansi yang tetap dihitung dalam laporan keuangan. “Itu semua biaya dalam kegiatan impor.”

Sementara itu, konsultan kepabeanan dan impor Sugiarto Utomo menganjurkan para pelaku usaha untuk tertib dokumen impor. Kalau dokumen tidak ada masalah, pengambilan D/O di pelayaran untuk pengeluaran barang juga bisa lancar. Mengenai biaya pengiriman, baik melalui vessel (laut) ataupun cargo udara relatif. “Tarif cargo udara belum tentu lebih mahal dibanding vessel. Pengapalan sampai ke pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta Utara) lebih murah?, belum tentu juga. Hal yang paling penting, (yakni) tertib dokumentasi impor. Semuanya harus jelas, termasuk pemotretan barang pada saat pendaratan. Barang tidak akan lama di airport, kalau dokumen juga tidak ada masalah,” Sugiarto mengatakan kepada Redaksi. (Liu/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

2 thoughts on “Selisih PPN, PPn 8,5% Menjadi ‘Racun’ bagi Pelaku Usaha

  1. Perselingkuhan+Intelek
    August 10, 2017 at 2:23 am

    Pelaku Usaha semakin lama semakin tertekan, lama-lama bangkrut seperti Nyonya Meneer tuh

  2. Liu
    August 10, 2017 at 8:09 am

    nggak bisa terbaca

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *