SEKARANGLAH


Seringkali saya  diberi nasihat, “ Kalau mau makan enak dan mau jalan jalan, sekaranglah waktunya. Jangan tunggu lain kali”. Maksudnya nanti kalau sudah bertambah tua, banyak makanan yang harus dihindari demi menjaga

May Swan - penulis

kesehatan, dan kaki tidak kuat lagi jalan jauh karena kesehatan menurun. Maka, kalau hendak hidup nyaman, sekaranglah waktunya, jangan ditangguh lagi.

Mau tidak mau, pandangan seseorang terhadap apa yang terjadi di sekeliling sedikit banyak tidak lepas dari pengalaman hidup masing masing, baik ketika masa kanak kanak maupun setelah dewasa. Entah kenapa setiap kali mendengar  nasehat tersebut diatas, terasa ada sesuatu yang tidak mengena di telingaku. Ingin langsung menyeletuk membantah nasihatnya. Bagiku, nasehat itu kedengarannyan tidak beda dengan iklan commercial yang menyerukan: “One Day Only Great Sale, mari lekas datang, jangan ketinggalan,  jangan terlambat, jangan sampai kehabisan”. Iklan itu sangat efektif karena telah berhasil mengail jiwa hedonistic manusia hidup di alam consumerism. Pada hari yang ditentukan, customers berduyun  duyun datang menunggu dibukannya  pintu toko, bersedia menyerbu barang barang Sale yang hanya untuk sehari, kalau tidak, tentu menyesal.

Tapi yang memberi nasehat agar makanlah sekenyang kenyangnya, dan jalan jalanlah sebanyak banyaknya agar tidak menyesal hidupnya sebelum jatuh sakit dan akhirnya mati, adalah seorang senior dalam keluarga. Dari kecil, sebagaimana umumnya orang Asia, kita dididik tidak boleh kasar terhadap yang senior, membantah berarti tidak menghormat. Apa gunanya membantah, ia juga tidak akan merubah pandangannya, dan sebaliknya, apa betul nasehat itu 100% salah? Adakah  pandangan hidup yang 100%  salah atau 100% benar? Coba lihat credit rating Amerika Serikat yang tadinya demikian kuat dan dipercayai dunia internasional, sekarang, apa yang terjadi?

Agaknya, kebiasaan taat pada yang senior masih sangat bercokol dalam budaya masyarakat kita, termasuk dalam menilai para tokoh sejarah, lain kalau berdasarkan pandangan ideology, nah, perdebatan disitu benar salah sangat meruncing bagi yang bersangkutan. Gejala ini sangat nyata dalam penulisan buku biography para tokoh sejarah; umumnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh yang ditulis, baik kehidupannya, karakternya, maupun kebijakan pimpinannya kalau bukan baik sekali, ya buruk sekali, seluruhnya tergantung pada pandangan subjective yang menulis. Yang paling menonjol, kalau tokoh tersebut dianggap pernah

Berdarmawisata

berjasa terhadap Negara, seluruh kekurangan dan kesalahannya ditutup tutup, dengan alasan agar tidak terjadi perpecahan pendapat diantara pengikutnya. Memberi kesan bahwa semua pembaca dianggap tidak mampu membedakan antara benar dan salah, tidak mampu menerima kenyataan bahwa seorang tokoh pemimpin itu bukannya super hero yang tidak mungkin berbuat salah, tapi juga seorang manusia yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan tantangan situasi yang harus dihadapi.

Penulis memperlakukan pembaca setaraf dengan anak kecil yang belum mampu mengambil keputusan sendiri, perlu dibimbing dan dipujuk bahkan dibohongi. Gejala ini masih tetap berjalan sampai hari ini, sekalipun tokoh sejarah yang ditulis telah meninggal lebih setengah abad yang lalu.  “Face saving” juga berupa factor budaya yang mendalangi attribute itu, dengan maksud agar tidak menjelekkan prestasi seorang tokoh yang dijunjung tinggi.

Sale...sale....sale

Tapi, apakah ini mendidik dan bermanfaat bagi pembaca? Inikah tujuan menulis biography tokoh sejarah? Kalau tidak diberi kesempatan, bagaimana pembaca dapat mengambil pelajaran dan  menerapkan pengetahuannya pada kehidupan yang sedang dialaminya dan masa depan? Pembaca hanya diberi dua pilihan dalam melihat tokoh sejarah; kalau bukan dipuja puji bagaikan dewa yang tidak pernah melakukan kesalahan, dikutuk seburuk mungkin sehingga terkesan tidak ada satupun perbuatannya yang positif  sepanjang masa pimpinannya. Begitukah kenyataan sejarah sebenarnya?

Harus diakui, penulis Barat yang berbobot, dalam menulis biography tokoh sejarah, selain research-nya sangat mendalam, jarang yang one-sided, karena akan banyak yang mengeritik. Artinya, tidak hanya memuji atau mengutuk belaka, tanpa menyebut kedua sisi positif dan negatifnya. Mereka rata rata tidak mendewakan siapapun, laporannya lebih menyeluruh dan merata, Isi tulisan tidak menutup kekurangan dan kesalahan tokoh yang ditulis.  Ini juga termasuk buku buku biography tokoh sejarah mereka sendiri. Tentunya mereka juga tidak lepas dari keberpihakan. Dapat dilihat di mana simpatinya berada. Tulisan yang bertema apapun tidak mungkin lari dari nuansa keberpihakan penulisnya. (IM)

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *