Semalam di Serambi


Masih dalam rangka perayaan Chinese New Year beberapa teman saya undang kerumah sambil makan Yu Sheng; makanan traditional yang hanya dihidangkan pada hari hari raya Chinese New Year. Seperti diketahui, tahun baru Tionghoa berpanjangan selama lima belas hari, diakhiri dengan perayaan Chap Goh Meh atau Yen Siau Chie bahasa Mandarinnya.

Yu Sheng sangat disukai ramai karena cara makannya sangat berlainan dari

May Swan - penulis

biasa; dimulai dengan ceremony dimana semua tamu berdiri mengelilingi hidangan, lalu masing masing menjepit dengan sumpit dan mengangkat hidangan setinggi mungkin sebelum melepaskan kembali ke dalam pinggan sambil menyerukan ucapan ucapan bertuah, membayangkan orang menangkap ikan di laut dengan jaring dan menempatkan hasil tangkapanya ke dalam perahu. Yu Sheng dalam bahasa Cantonese berarti Ikan Hidup. Jadi, Yu Sheng adalah makanan simbolik, mencerminkan tradisi semangat kerja keras dan merayakan keberhasilan yang terdapat dari susah payah.

Kami duduk di serambi, pada ketinggian tingkat sepuluh gedung condominium, menikmati angin malam berdesir lembut menyegarkan jiwa raga. Pembicaraan kami ngalor ngidul. Demi memberi arahan pada pembicaraan, aku lontarkan berita current affairs mengenai pergolakan demonstrasi di Mesir, ingin tahu apa tanggapan mereka. Ternyata, tidak banyak yang tahu.

Patrick Ee seorang pengacara di private practice duduk santai dengan sebuah kakinya disandarkan di atas pot bunga anggerek yang kebetulan masih

CNY Yu Sheng

berkembang setelah mekar selama dua minggu, tiba tiba menyeletuk, “May ini ada ada saja, selalu gemar membincangkan current affairs. Kami yang kerjanya sibuk saban hari, mana ada waktu memperhatikan demonstrasi yang terjadi ditempat lain, apalagi sejauh itu. Soal yang penting bagiku adalah bagaimana menangani seribu satu persoalan yang diajukan clients, dan apakah pembayarannya akan tepat, tidak ditunda tunda.”

Charles Loke  seorang property developer yang memiliki perusahaannya sendiri ikut menjawab, “Ya, itu benar sekali. Kami perlu berbaik baik dengan banking sector, berusaha mendapat fasilitas memperpanjang credit line. Dan bagaimana menjual property units yang akan dibangun, perlu menghitung kemungkinan untung ruginya sebuah project. Demi mengontrol harga property, pemerintah berkali kali mengeluarkan peraturan yang tidak menguntungkan kami sebagai developer. Semua ini sudah cukup memusingkan, mana ada tenaga mengikuti kejadian orang berdemonstrasi.” Lalu ia membuka stofles, mengambil kueh kering yang terdapat di dalamnya, “Hhmm ini sedap sekali.”

Edward Wong credit officer pada DBS sebuah bank pemerintah turut menyambung, “Aku keluar kerja dari rumah jam 7.30 pagi, sampai di kantor jam 8.30. Malam pulangnya sampai dirumah paling kurang jam 8.30 lelah bukan main. Mana ada waktu dan tenaga untuk yang lain. Untuk pacaran pun kagak ada waktu. Saban hari berurusan dengan angka angka berhubungan dengan credit application yang tak habis habisnya. Ketika property boom, banyak yang mengajukan credit mau beli, sebaliknya ketika market jatuh, juga banyak yang hendak melepas property yang ada di tangan, tidak tahan membayar mortgage. Aku tidak mengerti kenapa mereka tidak mau beli ketika harga turun, malah berlomba lomba beli ketika harga naik. Yah, herd instinct, agaknya.”

Seorang teman ikut bersuara, “Tapi kamu dan Charles kan sering ke Nepal dan Sri Lanka, koq ada waktu?”

yu sheng

Edward Wong memberi keterangan, “Oh sebenarnya itu projectnya Charles, aku hanya diminta menemani dia. Ketika ke Sri Lanka kami bekerjasama dengan Singapore Red Cross dalam rangka relief program bagi korbam tsunami. Sedangkan perjalanan ke Nepal itu demi memberi bantuan logistics kepada para biksu yang menangani rumah yatim piatu setempat. Dan demi kepentingan itu jatah libur tahunan aku habis terpakai semuanya.”

Laurent Lau yang semalaman sibuk menerima dan mengirim SMS ikut menambah pembicaraan, “Betul, May ini senang memperhatikan current affairs karena ia banyak waktu untuk itu. Aku juga memperhatikan hal itu, tapi karena keperluan kerja. Seperti protest demonstrasi pada tahun lalu, ketika mereka menduduki ruangan international airport di Bangkok, itu perlu sekali aku ikuti. Siapa yang mau terkandas di airport? Tapi para demonstran termasuk cukup disiplin, mereka tidak menggunakan situasi untuk menjarah. Dalam hal ini laporan di media banyak yang membuat sensasi.” Laurent berusaha dalam bidang travel. Pekerjaannya membawa anak anak sekolah mengadakan study banding di sekitar negeri jiran, berkunjung ke perkampungan miskin di Tiongkok, Thailand, Vietnam dan Kamboja. Di Siem Reap mereka berkunjung ke sekolah sekolah dan rumah tampungan bagi baby dan anak anak yang ditinggalkan orangtuanya sendiri karena tidak mampu memberi makan anaknya. Mereka diberi project memperbaiki gedung gedung sekolah yang sudah rapuh dan membersihkan rumah tampungan yang mereka kunjungi. Ia menceritakan betapa kasihannya anak anak itu, sedih melihat nasibnya. Ia juga mengatakan yang paling mengesankan, masyarakat  di pedalaman sekali pun hidup dalam serba kekurangan, namun selalu tampak cera murah senyum, tidak uring uringan, dan sangat jujur dalam menangani pekerjaan sehari hari, juga ketika berhubungan dengan orang luar negeri.

Kami masih berbual bual, tanpa terasa sudah dekat tengah malam. Seorang teman berkata, “Sudah larut malam, nih. Mari pulang, besok hari kerja. Perlu bangun pagi.”

Agaknya semangat kerja keras, semangat Yu Sheng tidak hanya terdapat pada jaman dahulu ketika para leluhur datang menyeberangi lautan menantang badai mencari kehidupan yang lebih baik bagi hari depan, tapi juga terdapat semalam di serambiku.(May Swan – IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *