Prof. Satyanegara & RSPP, Terlanjur Mengabdi pada Masyarakat


Prof. Satyanegara & RSPP, Terlanjur Mengabdi pada Masyarakat

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 8 Desember 2023/Indonesia Media – Prof. Satyanegara, dokter ahli bedah saraf senior di Indonesia sempat punya 2 hingga 3 pekerjaan sekaligus ketika baru pulang ke Indonesia (September 1972), mengabdi di tengah masyarakat khususnya memimpin RS Pusat Pertamina (RSPP) serta mengetuai tim dokter kepresidenan sampai sekitar tahun 1999. “Setelah pulang ke Indonesia, karena terlanjur posisi saya sudah terjun (mengabdi) di masyarakat, tugas saya tiga kali lipat,” Prof. Satyanegara mengatakan kepada Redaksi.

 

Selain sebagai ahli bedah saraf yang menyimpan rahasia pasien, ia juga memimpin unit usaha RSPP selama 10 tahun lebih. Ke 10 unit usaha tersebut tersebar di berbagai daerah seperti Cirebon, Jawa Barat, Prabumulih, Sumatera Selatan, Pangkalan Brandan Kab. Langkat, Sumatera Selatan, Balikpapan, Kalimantan Timur, Plaju Palembang Sumatera Selatan, kab. Tabalong, Kalimantan Selatan. Seluruh rumah sakit di beberapa wilayah di Indonesia, milik Pertamina di bawah pengawasannya. Ia menyadari kondisi badannya yang kuntet (pendek), sehingga bekerja keras mengatasi (tiga pekerjaan sekaligus) untuk mengatasi kekurangan tersebut. Selama sekian tahun, setelah memimpin RSPP, berlanjut sampai mengemban jabatan senior director. “Awalnya saya tidak mau langsung ke (jabatan/posisi) senior director karena jabatan direktur sangat berperan. Selain, ada beberapa hal yang saya tidak inginkan, (yakni) saya tidak mau menyinggung (perasaan) beberapa yang sudah sangat berjasa juga untuk RSPP. Hal tersebut dituangkan pada Buku Senyum Samurai,” kata Prof. Satyanegara.

Bagian cerita perjalanan karir dan riwayat hidupnya diceritakan pada Perayaan HUT (hari ulang tahun) ke 85 dan peluncuran buku ke 11 (sebelas) di ballroom Lt. 5 & 6 Sun City, ged. Lindeteves Trade Center berlangsung meriah, dihadiri oleh para kerabat termasuk para dokter, tenaga perawat dari rumah-rumah sakit tempatnya praktik. Acara yang rencananya berlangsung mulai 16.00 – 20.00 sempat molor karena jalanan macet, terutama yang melintas di kawasan Monas yang sedang ada aksi demo. Pada kata sambutannya, Prof Satyanegara mengaku, awalnya tidak berencana merayakan HUT ke 85. “(awalnya) saya tidak ada rencana mengadakan pesta. Sebaliknya mau menyepi di satu tempat, sehingga tenang. Saya tidak mau merepotkan orang banyak. Tapi bulan Mei 2023, panitia dan nyonya (Istri Prof. Satyanegara) sudah kasak-kusuk untuk mempersiapkan perayaan di Sun City (Lindeteves). Mereka juga melihat, pengabdian (pada kesehatan) selama kurang lebih 50 tahun, khususnya bedah saraf harus tetap berperan,” kata Prof. Satyanegara.

 

Bulan-bulan sebelumnya, wartawati/penulis Metta Wulandari (penulis buku Senyum Samurai Satyanegara) sudah sempat wawancara. Kebetulan Metta Wulandari asalnya dari kab. Pati, Jateng. Sementara, ia lahir di Kudus, besar di Semarang Jawa Tengah. Karena ada atmosphere (suasana) Javanese (nuansa suku Jawa), akhirnya Prof. Satyanegara menawarkan Metta untuk mempersiapkan buku ke 11 (sebelas) yakni Senyum Samurai Satyanegara. Kendatipun sudah berhasil menulis 10 buku termasuk Ilmu Bedah Saraf dan biografi, Prof. Satyanegara terdorong menyempurnakan cerita perjalanan karir dan riwayat hidup terutama fase masa pengabdian pada kesehatan masyarakat Indonesia. Buku biografi sebelumnya, yakni ‘Ayat-ayat Filosofi Satyanegara’, berisi kisah masa kecil sampai masa belajar di Jepang. “Saya menghabiskan masa kecil di kota kecil, Welahan (kab. Jepara Jateng). “Sehingga gaya penulisan (Metta Wulandari) sangat Javanese. Karena sama-sama orang Jawa, bisa lebih memahami lucunya, gayanya (penulisan biografi) seperti yang saya inginkan. Waktu saya setengah ragu-ragu menawarkan kepada Metta, ternyata (Metta  Wulandari) langsung setuju untuk menerima tawaran saya (menulis Buku Senyum Samurai). Saya sebagai narasumber,” kata Satyanegara yang didampingi istrinya selama pesta berlangsung.

Untuk mempersiapkan Buku Senyum Samurai, ia mengumpulkan foto dari sekitar 500 album. Ia juga menyeleksi (koleksi foto) satu per satu yang penting untuk menceritakan perjalanan karir dan riwayat hidup. “Saya juga ambil (koleksi) foto, termasuk dari handphone, lalu dicetak ulang,” kata Satyanegara. Pembuatan buku Senyum Samurai Satyanegara, salah satu tujuannya untuk memberi pencerahan terutama kepada kedua putranya, yakni Utama (Huang Bo Zhi) dan Dharma (Huang Bo Ren) serta cucu-cucunya. Ketika ia kembali ke Indonesia pada tahun 1972, karena diminta Pak Harto (presiden ke 2 RI, alm. Soeharto), awalnya sempat ada kecurigaan. Tapi di balik kecurigaan, ia semakin yakin dan merasa bangga untuk mengabdi untuk Bangsa dan Negara saat itu. Alasan kedua, buku Senyum Samurai terbit, tujuannya untuk menunjukan kemampuannya. “Minimal, saya tidak boleh diremehkan orang-orang di sekitar saya saat itu. Sehingga era (kurun waktu) tahun 1970 – 1980, saya sangat produktif (menulis). Buku ke 11, saya dibantu Metta Wulandari, menyusun kata-kata yang mungkin semula rencana saya, tersistematika, menjadi satu pola tulisan yang berbeda tapi menarik. setelah saya baca beberapa kali tulisannya, kata-katanya sangat Javanese (nuansa Jawa). Sehingga saya ucapkan terima kasih, mungkin saya masih belum kenal dengan suaminya (Metta Wulandari) yang juga hadir di Sun City,” kata Satyanegara. (sl/IM)

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *