Produksi Benih, Pangan Indonesia Potensial Meningkat


Pemuliaan tanaman tradisional Indonesia potensial dengan kawasan megabiodiversitas, serta GMO (genetically modified organism) atau organism termodifikasi secara genetika. Dua hal yang potensial untuk meningkatkan kemampuan produksi benih dan pangan. “Asumsi kami, yaitu potensi megabiodiversitas dan GMO. Tidak ada asumsi lain. Sehingga kami yakin, bangsa kita punya kekuatan pangan yang luar biasa, tidak perlu mengandalkan pemodal asing,” Dhana El Furqon dari IHCS (Indonesian Human RightsCommittee for Social Justice) mengatakan kepada Harian Nusantara (9/4).
 
Perusahaan asing juga terus membidik pangsa pasar dalam negeri Indonesia untuk benih dan pangan. Asing juga menggunakan berbagai dalil ‘pasar global’ untuk merebut pangsa pasar dalam negeri. Sementara affirmative action pasal  33 Undang Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia, bahwasanya warga negara harus terlibat dalam berbagai cabang produksi yang penting bagi negara. “Tetapi terkait dengan benih dan pangan, tidak ada peraturan turunan seperti Permen (Peraturan Menteri) yang bisa mengarah pada cita-cita ideal UUD. Kita tidak punya kekuatan pangan sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar.”
Contohnya, kabupaten Indramayu sangat dikenal sebagai daerah pemuliaan benih nasional, termasuk beras. Benih Indramayu bisa memenuhi kebutuhan nasional termasuk beras, buah-buahan dan sayur-sayuran. Misalkan beras Ciherang, produksi Indramayu sudah lama menjadi tumpuan kekuatan pangan nasional. “Benih beras Ciherang dan beberapa produk hortikultura Indramayu tidak melalui jalur pemasaran pemerintah. Mereka jalan sendiri dengan system distribusi benih. Petani pemulia benih bisa memenuhi kebutuhan daerah lain. Kami mendata, ada 27 provinsi di Indonesia yang bisa memuliakan benih. Pemodal asing tidak perlu bermain pada pangsa pasar dalam negeri.”
Sementara itu, Koalisi Kedaulatan Petani Pemulia Tanaman Indonesia tetap mendesak perlunya alokasi 30 persen divestasi pemodal asing dalam usaha perbenihan. Ketentuan 30 persen harus termaktub dalam regulasi nasional, terutama Undang Undang No. 13/2010 tentang Hortikultura. Koalisi mengajukan permohonan Uji Materiil UU No. 13/2010, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) sudah terlebih dahulu menolak pembatasan dominasi modal asing dalam usaha perbenihan hortikultura di Indonesia. MK memberi pernyataan terkait dengan Uji Materiil UU Sistem Budidaya Tanaman (SBT), bahwa masyarakat dan keluarga petani harus punya kedaulatan terhadap benih. “Permohonan Uji Materiil Undang Undang No. 13/2010, kami berharap, perbenihan nasional tidak tergantung perusahaan multinasional. Kami melihat ada beberapa perusahaan seperti Monsanto (asal Amerika) dan lain sebagainya yang menjadikan Indonesia sebagai basis produksi,” Priadi dari Koalisi mengatakan kepada Harian Nusantara.
Koalisi terdiri dari beberapa LSM, termasuk IHCS, IGJ (Indonesian for Global Justice), Sawit Watch, Field Indonesia, Binadesa, dana lain sebagainya. Koalisi berharap, penerapan UU seakan membiarkan praktik monopoli perusahaan nasional. Mereka mengontrol pasar melalui legalisasi Pemerintah Indonesia. Hal ini yang terus mereduksi kedaulatan petani Indonesia atas produksi pertanian. “Kondisinya bisa terus mendorong petani ke dalam kemiskinan. Kami mencatat beberapa perusahaan asing perbenihan selain Monsanto, (yaitu) East-West SeedDuPont, Syngenta, dan Bayer.”
 
UU Hortikultura, khususnya yang termaktub dalam Pasal 100 dan 131 ayat (2) telah mengawali komitmen pembatasan dominasi asing di Indonesia. Hal tersebut sangat menentukan keberlanjutan sector ekonomi strategis Indonesia. Regulasi nasional, khususnya untuk sector tanaman pangan dan perkebunan mendorong penanaman modal asing hingga 100 persen. Hal tersebut sudah berlaku sejak tahun 2010 sampai 2013. Tahun 2010 PMA di sektor ini hanya sekitar 751 juta US$, dan di 2013 PMA di sektor ini naik hingga 120% menjadi 1,6 Milyar US$. “Hal ini sangat ironis mengingat Indonesia merupakan negara dengan potensi megabiodiversitas, ketiga terbesar di dunia. Perusahaan asing sudah mengambil alih kebudayaan, perbenihan kita.”
Perusahaan asing juga membuat dalil alih teknologi, sehinggga menanamkan modal di Indonesia. Praktik di lapangan, alih teknologi terjadi dari Indonesia ke negara asing. Alih teknologi yang didengungkan perusahaan asing tidak berjalan sama sekali. Sehingga Uji Materiil pasarl 100 dan 131 UU Hortikultura nantinya bisa meluruskan dalil yang salah. “Investor asing sudah mengarah pada oligopoly. Penanaman modal yang sudah melebihi ketentuan, sehingga melemahkan posisi petani. Affirmative action yang merupakan pendapat MK, harus benar-benah menjadi perlindungan untuk masyarakat dan keluarga petani.”
Sementara itu, Riza Damanik dari IGJ melihat perbenihan tanaman pangan baik pokok dan hortikultura di dominasi oleh segelintir perusahaan benih asing yang beroperasi di Indonesia. Mereka menguasai 75 persen penelitian pemuliaan tanamah (plant breeding research), 60persen mengontrol pasar benih dunia, dan 76persen dari penjualan pupuk dan pestisida di dunia. Di Indonesia mereka menguasai hampir 90 persen pasar benih domestik. Masuknya modal asing di sektor pertanian tidak juga mengilangkan ketergantungan pangan nasional kita terhadap impor. Justru semakin meningkat sebesar 100 persen sejak 2009 hingga 2012, dimana pada 2009 nilai impor pangan kita baru sebesar 5,94 Milyar US$ dan melonjak hingga 12,05 Milyar US$ pada 2012. “Perusahaan asing tidak mau ada pembatasan (modal dalam negeri) sampai 30 persen. Ini jelas akan merugikan petani. Pengusahaan tanah atas kelola hortikultura baik sayur-sayuran, buah-buahan, harus berpihak pada petani Indonesia. MK harus mengabulkan permohonan (Uji Materiil UU Hortikultura), terutama klausul (pembatasan) 30 persen,” Riza mengatakan kepada Harian Nusantara.
Peran modal asing di sektor pertanian tetap tidak mampu menjawab persoalan pangan nasional, terlebih lagi persoalan pangan dunia. Hal ini terbukti, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ETC Group, disebutkan bahwa Supply Chain yang dibangun oleh Perusahaan Multi nasionalhanya mampu menyediakan 30 persen dari total kebutuhan pangan dunia, sangat jauh dibandingkan kemampuan budidaya petani tradisional yang mampu menyediakan 70 persen dari total kebutuhan pangan dunia.
 
Selain itu, kemampuan perusahaan multi nasional untuk menghasilkan varietas benih hanya mencapai 80.000 varietas terhitung sejak 1960-an, tetapi petani pemulia tanaman tradisional mampu menghasilkan sebanyak 2,1 juta varietas benih terhitung dari waktu yang sama. Dari hal ini, Pemerintah seharusnya memberikan dukungan lebih besar lagi kepada petani dan mengalihkan subsidi benih sebesar RP.1,6 Triliun yang selama ini diberikan kepada Perusahaan benih menjadi kepada petani pemulia tanaman. Hal ini lebih efektif, khususnya untuk mendorong daya saing petani dalam menghadapi agenda masyarakat ekonomi ASEAN pada 2015 nanti. Sehingga, penguatan daya saing harus dilakukan dalam rangka memperkuat peran petani dan bukan memperkuat dominasi modal asing di Indonesia.Sehingga upaya intervensi dlm Uji Materil yg dilakukan oleh Hortindo (asosiasi produsen perbenihan Indonesia) menjadi sangat penting untuk mengembalikan kedaulatan Petani Pemulia Tanaman di Indonesia.” 
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *