Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus menilai, rencana pemberian dana talangan Pemerintah kepada PT Garuda Indonesia Tbk dapat dilihat dari beberapa aspek. Di antaranya apakah pemerintah bermaksud hanya menyelamatkan Garuda dari lilitan utang, atau pemerintah ingin menyelamatkan industri penerbangan nasional.
Deddy menjelaskan, bila maksud pemerintah adalah untuk menyelamatkan Garuda dari utang global sukuk sebesar USD 500 juta yang jatuh tempo 3 Juni 2020, maka pemerintah akan menjadi pemegang saham mayoritas, 60,5 persen. Menurut Deddy, langkah ini tidak melanggar ketentuan listed company, tapi harus menimbang asas kepatutan.
“Apakah fair (adil) pemerintah yang harus menanggung semua beban Garuda Indonesia? Sedangkan pemegang saham lainnya yang secara de facto menguasai 30,5 persen saham Garuda nampak santai seolah tak ada beban,” kata Deddy, dalam pernyataan tertulis, Rabu (20/5).
Wakil rakyat dari dapil Kalimantan Utara tersebut singgung, saham mayoritas Garuda milik pemerintah, sedangkan 30,5 persen saham lainnya menjadi milik CT Group, dan sisanya dipegang publik.
Deddy mengungkapkan, saat ini posisi CT Group dalam manajemen Garuda Indonesia sangat kuat dan dibuktikan dengan adanya perwakilan mereka di Dewan Komisaris, direksi, bahkan pemilihan anggota direksi harus dengan konsultasi CT Group. Padahal pada masa sebelumnya, semua keputusan hanya dilakukan oleh Kementerian BUMN.
“Teringat oleh kita semua bagaimana Kementerian BUMN pada RUPST tahun 2019 mengajukan agenda untuk holding, namun dimentahkan oleh CT Group karena secara aturan diperlukan 75 persen keputusan suara pemegang saham, sedangkan CT Group tidak menyetujui dengan saham sebesar 30,5%,” ujar Deddy.
Hal lain yang menarik, kata Deddy, apakah Garuda Indonesia dilihat murni sebagai BUMN atau listed company. Pasalnya, salah satu anggota Dewan Komisaris Garuda perwakilan dari CT Group sudah menduduki jabatan di Dewan Komisaris untuk periode ketiga, atau lebih dari ketentuan yang ditetapkan Kementerian BUMN yakni satu periode.
“Bila memang itu bagian dari kesepakatan antara pemerintah dan CT Group, sudah sepantasnya CT Group juga harus bertanggung jawab atas beban Garuda saat ini. Apalagi kita tahu perwakilan CT Group bahkan sampai di anak, bahkan cucu Garuda Group seperti Aerowisata Group, GMF, dan Citilink,” ungkap Deddy.
Namun, jika bantuan pemerintah dimaksudkan untuk menyelamatkan industri penerbangan yang kesulitan akibat pandemi Covid-19, langkah ini sudah dilakukan pemerintah negara lain terhadap maskapai penerbangan di negaranya.
Dalam catatan Deddy, banyak negara membantu perusahaan penerbangannya dalam bentuk bail-out, injeksi modal, maupun dana talangan. Sebagai contoh SQ mendapat MCB (mandatory convertible bond) dari pemerintah dan Temasek, Delta/American Airline/United Airline juga mendapat bantuan likuiditas dari pemerintahnya.
“Sudah pasti bila pendekatan ini digunakan, pemerintah Indonesia tidak mempunyai anggaran yang mencukupi. Ada hal yang menarik untuk diperhatikan, yaitu bagaimana bila Sriwijaya pailit akibat pandemi ini, apakah tagihan BUMN di dalamnya ikut ambyar?” ujar Deddy.
“Kita tahu tagihan Pertamina, BNI, AP1, AP2, GMF, dan Aerowisata cukup besar di Sriwijaya, lebih dari USD 200 juta Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah,” kata Deddy.( Mdk / IM )
menyelamatkan garuda mestinya tanggung jawab bersama pemegang saham. Misal saham pemerintah 50 %, CT group 30.5 %, publik 19.5 %. Butuh dana talangan $ 500 juta, semua harus ikut menyumbang bayar dana talangan sesuai kapasitas saham yang dimilikinya. Kalau ada yang tidak sanggup bayar tentu resiko porsi % sahamnya akan berkurang.
berpuluhan tahun Garuda tidak pernah Beres, semua Direkturnya pada Korupsi, ladang Koruptor yang Empuk Basah
Itu akibat hukum tidak tegas, harusnya kalau terbukti korupsi langsung dimiskinkan keluarganya.