Pemulung, Lapak Pedagang Masih Jauh dari Kampanye Model Ekonomi Sirkular


Pemulung, Lapak Pedagang Masih Jauh dari Kampanye Model Ekonomi Sirkular

 dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 13 Desember 2023/Indonesia Media – Para pemulung di kota-kota besar di Indonesia terutama di Jakarta hampir tidak pernah tahu mengenai model ekonomi sirkular (circular economy) yang sedang dikampanyekan masyarakat dunia, yakni pemanfaatan nilai guna produk secara terus menerus dan energi yang digunakan akan lebih hemat serta terbarukan. Padahal, peran aktif pemulung nyata mengumpulkan sampah-sampah, lalu mencuci, menyortir dan seterusnya sampai bisa dimanfaatkan kembali masyarakat. Salah satunya Yadi, lapak pedagang barang bekas di pinggiran rel kereta api Jl. Tanjung Selor, Cideng Jakarta Pusat yang mengaku tidak pernah mendengar ‘barang baru’ tersebut. Yadi, sudah hampir 30 tahun bekerja sebagai pemulung, memunguti barang-barang bekas di sekitar Roxy, Grogol, Cideng. Setelah sekitar 15 tahun memulung, ia akhirnya bisa mendirikan lapak pedagang. Artinya, ia menerima sampah botol plastik, kertas, besi rongsokan dan lain sebagainya. Tapi dari berbagai jenis sampah yang ditampung, ia tidak pernah membeli sampah kemasan sachet. “Sampah plastik kemasan sachet nggak laku. Saya hanya terima botol, kaleng minuman kaca, botol PET. Kadang, saya dapat order borongan dari kantor-kantor besar. Terakhir, saya borong barang-barang bekas dari gudang BULOG (Jl. Gatot Subroto No.Kav. 49). Sebagian besar, komputer-komputer yang sudah rusak. Kami harus copot-copot (komponen komputer) lagi,” kata Yadi.

Setelah memproses sampah, misalkan botol plastik yang kotor, harus dicuci dan disusun di dalam karung besar. Setelah itu, karung-karung yang berisi berbagai sampah produk dibawa ke pabrik pengolahan. Tentunya, ia menjual dengan harga yang sepadan untuk ganti biaya produksi. “Harga pabrik bisa turun naik. Botol PET (minuman air mineral) dibeli (pabrik) Rp 1800 per kilo. Tapi kalau harganya sedang anjlok, bisa sampai Rp 1000 (seribu rupiah). Kalau sedang tinggi, harga bisa sampai Rp 2.000 (dua ribu rupiah),” kata Yadi.

Ia mengaku tidak pernah mau tahu mengenai ekonomi sirkular, termasuk berbagai regulasi, peta jalan pengurangan sampah. Sehari-harinya, ia hanya berurusan dengan para pemulung. Kadang, ia harus jeli memilah jenis sampah yang ditawari pemulung. Tapi sebagian besar, jenis sampah botol PET (air mineral) dan kardus. “(sampah) botol air mineral dan kardus, harganya sama. Tapi botol PET, kalau sudah dicuci, harganya bisa naik sampai dua kali lipat. Tapi kami harus mengeluarkan biaya lagi untuk beli air, ongkos tukang cucinya,” kata Yadi.

Karung-karung yang berisi sampah bersih tersebut, dibawa dengan mobil pick up. Ia terpaksa harus menumpuk beberapa karung melebihi tinggi maksimal bak muatan pick up. Kalau tidak ditumpuk semaksimal mungkin, ia bisa rugi untuk biaya operasional pick up. “Kalau ada order seperti dari BULOG, saya juga harus usahakan maksimal (barang) bisa full satu bak mobil pick up. Kalau hanya terisi setengah, kami rugi untuk ongkos bensin, upah sopir, dan lain sebagainya,” kata Yadi. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *