Mengingkari Cita-cita Luhur Pendiri Sapta Ronggo  


Mengingkari Cita-cita Luhur Pendiri Sapta Ronggo  

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 29 Oktober 2023/Indonesia Media – Melanjutkan cita-cita luhur atau menepati janji orang tua yang masih hidup atau yang sudah meninggal bisa dilakukan dengan berbagai cara, tertera dalam setiap ajaran Agama atau tumpuan umat beragama. Bentuk / cara berbakti kepada orang tua, antara lain melaksanakan nasihat dan perintah. Selain, merawat dengan penuh keikhlasan serta kesabaran juga cara lainnya. Kondisi sekarang, anak-anak angkat almarhum pendiri padepokan atau Wihara Sapta Ronggo atau SR (di Jl. Petojo VIY III, belakang Roxy Mas Jakarta Pusat) tidak berniat baik melanjutkan cita-cita luhur tersebut. Salah satu anak angkat almarhum, yakni Popo Siswanto yang sekarang menguasai berbagai aset warisan almarhum. “Kalau dana nggak cukup (untuk operasional padepokan), Popo suruh kami cari ketua (pengurus) baru. Dia mau jual aset padepokan. Dia tilep (menggelapkan) uang dari aset-aset (SR) kalau betul-betul terjual, masuk kantong pribadi. Dia nggak pernah memikirkan gaji kami, operasional padepokan dan lain sebagainya,” kata Hendra, salah satu penghuni SR.

 

 

Dua sampai tiga decade (1970 – 1990) merupakan puncak kemasyhuran dan kejayaan SR. Pendirinya, alm. Yu Sheng-zhong sangat disegani, termasuk kegiatan bakti sosial kepada masyarakat di seputar lokasi Wihara ataupun tempat lain. Wihara selalu dipadati pengunjung terutama pada hari Kamis untuk persembahyangan. Bahkan mobil yang parkir meluber sampai keluar jalan Petojo VIJ III. Selain para tuna wisma, pedagang kembang untuk sesajen ini antara lain kembang melati, mawar, kenanga, kantil atau cempaka dan lainnya kelimpahan rezeki. Banyak umat mengandaikan kesempatan mengembalikan kembali kemasyuran SR sebagai Wihara atau padepokan. Aset-aset yang masih tersisa bukan milik anak-anak angkat almarhum, melainkan milik Umat Buddha. “Sebetulnya kondisinya (Popo) sudah happy, dengan kedua anaknya (perempuan) yang sudah besar. Istrinya kerja, walaupun sudah sakit-sakitan. Popo juga sudah sakit-sakitan, kena serangan jantung. Karena keduanya (Popo dan istri) perokok berat. Dulu ada klinik (di SR) sekitar tahun 2018/2019, dikelola Popo. Dana dari umat. Tapi klinik akhirnya ditutup karena sepi, tidak ada pengunjung. (klinik) hanya berjalan kurang dari satu tahun,” kata Hendra.

 

Ia juga menjual patung-patung milik koleksi SR, dan uangnya (hasil penjualan) juga digelapkan. Hal ini sudah berlangsung sekitar lima tahun yang lalu, dengan harga patung sekitar Rp 58 – 60 juta per piece. Sekitar 70 persen dari keseluruhan koleksi patung-patung dijual kepada koleksi. Ada juga yang dijual kepada Yayasan lain Wihara. Penjualan patung sudah sejak lima tahun yang lalu, sekarang hanya tersisa 30 persen dari keseluruhan koleksi SR. Kondisi altar sudah kelihatan kosong. “Patung yang terbuat dari batu alam dilapisi kimpo atau gold leaf (kertas emas), patung dari kayu juga dijual. Kalau patung dari kayu yang sudah sangat lama, di atas 100 tahun, pasti dibeli (kolektor) dengan harga tinggi. Guci keramik China juga dibeli kolektor, dicek ada/tidak cap (seperti surat silsilah). Kl tidak ada cap, harganya murah. Patung singa Kilin pada pintu masuk padepokan terbuat dari batu, patung singa Kilin di dapur juga dijual,” kata Hendra. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *