Mengatakan Pemerintah Kota Bogor (Pemkot) adalah cerminan negara sebagai penjahat adalah sesuatu yang tidak enak didengar. Mungkin pula dianggap sebagai penghinaan. Pencemaran nama baik. Bahkan, mungkin penulis akan dipidanakan karena menulis kritikan ini.
Namun, setelah kunjungan ke ibadah minggu jemaat GKI Taman Yasmin, Bogor, kemarin (20/03), membuat penulis berkesimpulan bahwa predikat itu tepat dialamatkan kepada salah satu Pemkot di Jawa Barat itu. Dan tak lupa, negara sebagai penakut juga tercermin dari kebijakannya dalam soal sengketa IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dengan jemaat GKI Taman Yasmin itu.
Pemkot Bogor adalah penjahat. Tepat. Tak salah jika predikat itu disandangnya. Hal ini sejalan dengan sikap buruknya kaitan pembangkangan hukum terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 127 PK/TUN/2009. Putusan MA itu secara jelas memenangkan GKI Taman Yasmin terkait sengketa IMB rumah ibadah di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh 31 Taman Yasmin, Bogor. GKI Taman Yasmin secara hukum berhak menggunakan gedung dan tanah itu untuk beribadah.
Sayangnya, akibat desakan golongan tertentu, Pemkot Bogor pun rela melakukan pelanggaran hukum. Bahkan sikap buruk itu dilakukan secara sengaja, sadar dan terbuka. Pemkot Bogor malah ingin mengusir jemaat GKI Taman Yasmin dari tempat ibadah yang sah itu, dengan cara akan membeli kembali tanah milik GKI Taman Yasmin, menganti biaya proses pengurusan IMB, dan bahkan akan merelokasi tempat ibadah mereka ke lokasi yang lain. Ironi dan sungguh adalah KEGILAAN di luar batas!
Sampai saat ini, bahkan hari minggu kemarin (20/03), jemaat GKI Taman Yasmin masih saja terlantar. Mereka dihadang Satpol PP serta pihak Kepolisian ketika hendak beribadah di tempat resmi itu. Mereka pun akhirnya hanya beribadah di perempatan jalan yang menuju gedung gereja. Padahal, putusan MA telah dikeluarkan 9 Desember 2010. Itu artinya secara sengaja Pemkot Bogor telah melakukan pelanggaran hukum–makanya kita sebut mereka sebagai penjahat–selama empat bulan. Sungguh tindakan yang SEDENG!
Kejahatan oleh pemerintah pusat
Tajuk Rencana Suara Pembaruan (SP), Jumat (18/03), juga menurunkan kritikan yang tak lebih sama. “Berjudul Rongrongan bagi NKRI”, SP menyoroti dan mengkritik sikap abai dan ketidaktegasan pemerintah pusat (negara) dalam menghadapi konflik SARA yang kian mengila di negeri ini. Bukan hanya GKI Taman Yasmin yang terus mengalami teror dari negara, kaum Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) juga mengalami yang hal sama: teror pembiaran oleh negara. Bahkan dalam konteks JAI, lebih sadis lagi. Pemerintah kian terlihat naif dan bego dalam menyelesaikan polemik ini. Bukan hanya pemerintah pusat yang melakukan kejahatan–melalui SKB tiga menteri itu–beberapa pemerintah daerah juga melakukan pelanggaran yang sama.
Pemda Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur adalah di antaranya yang melakukan pelanggaran serius dengan mengeluarkan SK gubernur pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Lucunya, rujukan pembuatan keputusan itu adalah SKB–yang keberadaannya tak ada dasar hukumnya. Kebijakan Pemda ini bukan saja melanggar UU No. 32 tahun 2004 pasal 10 ayat 3, bahkan UUD 1945 pun disasarnya. Sungguh aneh!
Aneh, sebab pemerintah pusat melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung juga membenarkan kebijakan salah kaprah itu. Sebagian publik pun ikut-ikutan kebodohan ketiga menteri itu. Padahal, secara jelas keputusan gubernur yang melarangan itu menyalahi ketentuan UUD ’45 pasa 28E (ayat 1, 2 dan 3) tentang kebebasan berkeyakinan apapun, pasal 28G (ayat 1 dan 2) tentang perlindungan dari kekerasan, dan termasuk pasal 29 (ayat 1 dan 2) tentang kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Entah penyakit kronis apa yang sedang menjangkiti para menteri dan gubernur ini, sehingga logika sehat hukum mereka menjadi tumpul dan terbalik-balik!
SP secara berani juga menuding pemerintah pusat memelihara kekerasan yang selama ini menimpa kaum JAI. Bagi SP, sangat mungkin pemerintah mengantungkan penyelesaian konflik kekerasan terhadap JAI agar bisa dimanfaatkan untuk pengalihkan isu. Tudingan yang cukup beralasan, mengingat fokus media dan publik menjadi buyar terhadap kasus Skandal Century, kasus Mafia Pajak dan Hukum, tatkala konflik kekerasan terhadap Ahmadiyah, semisal, kasus pembunuhan tiga Ahmadi–panggilan akrab penganut Ahmadiyah–di Cikeusik, Pandeglang, bermunculan.
Malah kain terbukti tuduhan SP itu, sebab sampai hari ini presiden terhormat kita tak juga menunjukan giginya dalam soal kekerasan atas nama agama. Walaupun bukan kader Partai Demokrat, tetapi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, mestinya SBY berani memanggil dan menegur Wali Kota Bogor, Gubernur Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur. Bahkan bila perlu “jewerlah kuping tuli” mereka itu. Para petinggi daerah ini mesti ditegur keras oleh presiden. Pun mereka juga mesti disadarkan bahwa mereka adalah pemimpin semua warga, dan bukan hanya bagi sebagian saja. Para pejabat ini mesti paham bahwa mereka diberi hak dan tanggung jawab untuk melindungi warga negara, dengan menjalankan aturan secara benar dan konsisten.
Sikap pemerintah pusat yang tidak tegas dalam menyelesaikan kekerasan terhadap JAI, dan keberlanjutannya sikap busuk Pemkot Bogor hanya akan menunjukan keburukan dan betapa jahatnya negara di mata publik. Agar predikat buruk itu segera terlepas, maka sikap tegas melalui menaati aturan serta konstitusi perlu segera ditunjukan oleh para pemangku kuasa ini.
Ketegasan sikap itu bukan hanya akan menaikan pamor dan legitimasi kepemimpinan para petinggi negeri ini di mata publik, tetapi yang tak kalah penting, tindakan demikian akan meruntuhkan predikat buruk (Negara Sebagai Penjahat) yang terlanjur diberikan oleh publik selama ini. Salam KoDe!