Pakar politik dari UI Iberamsjah menegaskan, prilaku elite dan para pemimpin bangsa ini sudah jauh menyimpang dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
“Sudah jauh menyimpang dari Pancasila. Misalnya, etika bermusyawarah, etika politik pancasila, sopan santun, dan mendahulukan kepentingan umum. Yang ada adalah kepentingan pribadi dan partai. Sudah jauh dari etika politik Pancasila,” katanya, kepada SP, di Jakarta.
Iberamsjah menerangkan, saat ini masyarakat sudah cerdas. Sehingga, keteladanan yang dicontohkan para elit dan pemimpin bangsa adalah yang dipraktikkan bukan yang diomongkan.
Keteladanan itu adalah praktik kesantunan, toleransi dan semangat persatuan bukan memecah belah atas nama apapun.
“Salah satu esensi demokrasi Pancasila adalah Bhinneka Tunggal Ika. Keteladanan tidak ada.Kepemimpinan kering dalam keteladananan,” katanya.
Dia mengemukakan, Pancasila sangat sering disuarakan kembali. Sayangnya, seruan itu seperti seruan klise.
“Tetapi perubahan yang signifikan belum juga terjadi. Pancasila memang diterima secara normatif, dan dianggap sebagai konsensus dasar serta diakui secara legal. Namun penerimaan normatifnya tidak pernah disertai pengakuan dan jaminan politisnya. Akibatnya, sementara pengakuan dan segi legal normatifnya terus diulang sebagai ritual, praktik penentangan dan pemerosotan terhadap aspek substantifnya juga terus berlangsung,” katanya.
Di titik inilah, lanjutnya, ditemukan satu hal penting, yakni bahwa pengakuan legal-normatif, lengkap dengan ritus di dalamnya, tidak akan pernah bisa menjadikan Pancasila aman apabila tidak disertai sebuah kepolitikan demokratis dengan kepemimpinan yang teguh untuk menopangnya.
“Krisis dalam paham kebangsaan kita terjadi karena Pancasila ada, tapi tanpa politik berpancasila,” katanya.
Dia mengemukakan, Indonesia memiliki seluruh model dan referensi untuk menyusun suatu kepolitikan demokratis, tapi kepolitikan demokratis itu dilaksanakan tanpa disertai kemampuan mengikutsertakan Pancasila di dalamnya.
Iberamsjah melanjutkan, jika kondisi ini berlarut-larut dibiarkan maka bangsa ini akak mengalami anomie politik. Yakni, suatu kondisi ketidakpastian nilai. “Nilai mana yang benar, yang disuruh apa yang dibicarakan berbeda.
Politik kesantunan yang menjadi salah satu nilai Pancasila sudah meluntur,” katanya.
Iberamsjah berpendapat, agar nilai-nilai Pancasila benar-benar merasuk ke setiap tindakan warga bangsa maka Pancasila harus dikembalikan ke jalur pendidikan. “Basic values-nya harus dikembalikan ke posisi sebenarnya.
“Tidak bisa mempraktikkan Pancasila secara instans. Harus ditanamkan sejak usia pra sekolah. Bagaimana menghormati perbedaan, bagaimana menghormati agama-agama lain di luar agama yang dianutnya, dan sebagainya. Harus terencana, berjenjang dan sistematis, dan tidak bisa instan,” katanya.
Iberamsjah mengkhawatirkan, jika tidak dilakukan gerakan secara nasional merevitalisasi Pancasila maka masyarakat menjadi apatis kepada pemerintah dan kepada situasi negara. “Menumpuk menjadi frustasi dan terjadi social movement. Indikasi itu sudah ada,” katanya.