Parpol Penyebab Kinerja DPR Jadi Buruk


Problem utama yang menyebabkan kinerja parlemen tak efektif justru ada pada partai politik (parpol). Kinerja para wakil rakyat tidak bergantung pada sistem pemilu yang diarahkan untuk menyederhanakan parpol yang lolos ke parlemen.

Hal itu dikatakan pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin di Jakarta, baru-baru ini. Irman menilai, kinerja parlemen tak efektif, karena 560 anggota dewan yang terpilih tak sepenuhnya bisa menyuarakan aspirasi rakyat.

“Faktanya, para anggota DPR dikuasai oleh sembilan penguasa parpol yang menentukan langkah politik di parlemen. Seharusnya, 560 anggota DPR terpilih itu memiliki kuasa dan bukan hanya menjalankan perintah 9 penguasa partai. Yang terjadi sekarang, anggota DPR tidak memiliki kuasa menyuarakan suara hati atau suara konstituen yang telah memilih mereka,” ujar Irman.

Dikatakan pula, tidak ada kebutuhan konstitusional bahwa menyederhanakan parpol untuk mengefektifkan kinerja parlemen dan memperkuat sistem presidensial. Penyederhanaan parpol dengan menaikkan angka ambang batas perolehan suara pada pemilu untuk bisa duduk di parlemen (parliamentary threshold/PT) secara nasional adalah kepentingan partai besar untuk mengurangi partai yang lolos ke parlemen.

“Tidak ada kaitan dan kebutuhan konstitusional untuk menyederhanakan parpol. Saya juga melihat, tidak ada hubungan antara sistem multipartai dengan efektivitas parlemen dan penguatan sistem presidensial,” ujarnya.

Menurut dia, tidak ada jaminan efektivitas sistem presidensial akan bisa lebih dipenuhi dengan mengurangi jumlah partai melalui kenaikan angka PT. Bukan tidak mungkin, ujarnya, suara partai besar turun drastis akibat kehilangan suara pendukung yang beralih ke partai baru. Oleh karena itu, kemungkinan jumlah partai yang lolos ke parlemen akan lebih dari 9 partai yang ada di DPR.

“Secara logika konstitusional, kalau PT 5 persen tidak menjamin jumlah partai akan berkurang, malah bisa bertambah. Kalau suara partai-partai besar, seperti Partai Golkar, PDI-P, dan Partai Demokrat, turun menjadi 5 persen, bukan tidak mungkin jumlah partai yang lolos justru bertambah. Jadi, tidak ada kaitannya menaikkan PT berarti menurunkan jumlah partai,” kata Irman.

Direktur Cetro Hadar N Gumay mengatakan, langkah mengefektifkan pengambilan keputusan di parlemen bukan dengan cara penyederhanaan parpol, melainkan pengaturan mekanisme agar suara parpol di parlemen lebih merepresentasikan suara rakyat. Caranya, lanjut Hadar, dengan membuat fraksi lebih sederhana agar perdebatan antarfraksi tidak berbelit.

“Fraksi dibentuk dalam tiga kelompok, yakni fraksi pendukung pemerintah, fraksi tengah, dan fraksi oposisi. Dengan demikian, parpol apa pun yang lolos bergabung ke tiga kelompok itu. Tanpa menaikkan PT, lanjutnya, penyederhanaan partai akan terjadi, karena masyarakat semakin selektif dan kritis saat memilih”.

Anggota Pansus Pemilu dari FPDI-P Ganjar Pranowo mengatakan, secara empiris tidak mungkin partai-partai besar, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P bisa turun angkanya sampai belasan dan puluhan persen. Kejadian turun yang drastis, lanjutnya, hanya mungkin terjadi jika ada hal yang luar biasa saja, sehingga semua partai rata-rata hanya mendapatkan suara 5 persen.

“Secara empirik, kenaikan atau penurunan jumlah suara yang didapatkan partai itu hanya 5 persen. Sampai saat ini mungkin hanya PD yang bisa naik sampai 300 persen di dunia ini,” kata Ganjar.

Dia menjelaskan, naik dan turun perolehan suara parpol pada pemilu sekitar 5 persen, biasanya karena masing-masing partai sudah punya konstituen sendiri.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *