Opini: Benteng terakhir Penegakan Demokrasi Indonesia


Jelang pelaksanaan Pemilu 2014 yang kurang dari 40 hari lagi, partai politik telah mengisi amunisinya untuk bermanuver habis-habisan. Berbagai partai telah melakukan sejumlah agenda nasional guna menyiapkan kadernya, seperti apel siaga perubahan Partai Nasdem pada 23 Februari lalu. Tidak hanya parpol, caleg dan capres pun telah menebar atribut kampanye serta melakukan pendekatan ke sejumlah media sehingga lebih dikenal masyarakat.

Media memang dinilai sebagai senjata ampuh dalam kampanye politik karena sebagian besar masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan media, seperti televisi, koran, media internet. Media massa diyakini mempunyai kekuatan, kekuasaan, dan pengaruh untuk membelokkan pikiran orang dan menghasut pikiran melalui kalimat-kalimat, kata-kata dan visual yang akhirnya membangun pikiran, persepsi, dan sikap masyarakat.

Namun, seiring dengan perkaitan modal ekonomi dan kebutuhan media akan uang, seringkali dikuasai pemodal politik, sehingga media menjadi mudah disetir oleh kalangan tertentu dan mulai kehilangan sikap kritisnya. Akibatnya, beberapa media cenderung menjadikan “keuangan yang maha kuasa” sebagai ideologinya. Hal ini lah yang pada akhirnya akan menjadi masalah serius bagi bangsa ini.

Tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang kepemilikan media telah menjadikan pemilik modal bebas mengatur konten medianya sesuai kepentingan politik tertentu. Media hanya berpegang pada kode etik dan undang-undang penyiaran yang tidak menyinggung tentang kepemilikan media. Akibatnya, media mudah disusupi dan dimasuki oleh kepentingan politik, bahkan jadi alat politik. Media massa dan politikpun sudah berada dalam satu tubuh sehingga muncul stigma bahwa media tidak mungkin netral.

Tidak bisa diragukan lagi, tidak akan ada kepentingan politik yang sukses tanpa dukungan media. Semua pemberitaan media akan berbanding lurus dengan dengan keberhasilan pemerintah di mata masyarakat. Contoh saja, berita tentang Walikota Risma yang mulanya tidak begitu diminati masyarakat, setelah ditampilkan di program Mata Najwa akhirnya muncul simpati di masyarakat tentang sosok pemimpin dambaan. Begitu juga dengan Jokowi yang mulanya hanya berstatus sebagai Walikota Solo, setelah di beritakan di media tentang keberhasilan program-programnya dan proyek mobil SMK nya, Jokowi mampu mendapat simpati masyarakat luas hingga berhasil menduduki posisi DKI 1.

Condongnya media ke salah satu partai/tokoh tidak hanya bergantung pada pemilik modal, namun juga tidak bisa dilepaskan oleh peran serta jurnalis yang merumuskan berita dengan interpretasi masing-masing, sehingga para jurnalis kerap tidak bisa lagi membedakan berita yang termasuk dalam kolom news dan berita yang masuk dalam kolom editorial. Akibatnya, masyarakat sebagai penikmat berita pun dengan mudahnya dipengaruhi oleh fakta opini dalam kolom news.

Keberpihakan media pada salah satu tokoh dan partai jelang pemilu 2014 sudah tidak dapat dicegah, sehingga mencari media yang bersikap netral dalam pemilu 2014 ibarat “mencai jarum dalam tumpukan jerami”. Oleh karena itu, perlu kearifan dan kecerdasan masyarakat penikmat media agar tidak hanya berpedoman pada satu media, namun menggunakan berbagai media sebagai literatur dalam melihat persoalan politik sehingga masyarakat tidak mudah ditipu oleh berbagai tayangan yang sudah dikendarai oleh kepentingan politik tertentu. Kearifan pemimpin Indonesia mendatang bergantung kearifan masyarakat Indonesia sendiri sebagai benteng penegakan demokrasi.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *