Keputusan partai politik kerap tak sejalan dengan pemikiran para kadernya. Itu pulalah yang terjadi dalam penentuan calon gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.
Sejumlah kader partai politik kemudian memilih untuk membelot setelah berbeda pendapat dengan keputusan partai terkait siapa yang harus dicalonkan. Siapa saja mereka?
Boy Sadikin
Keputusan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) untuk mengusung calon petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan Djarot Saiful Hidayat pada Pilkada DKI Jakarta 2017 membuat Boy Sadikin mengundurkan diri dari partai itu.
Mantan Ketua DPD PDI-P DKI Jakarta itu menyerahkan surat pengunduran diri kepada DPD dan DPP PDI-P pada Kamis (22/9/2016) lalu.
Ia merasa tak sepaham dengan berbagai kebijakan dan pernyataan yang dilontarkan Basuki atau Ahok. Salah satunya terkait ucapan Ahok soal peredaran bir di Jakarta.
Ahok sebelumnya mengatakan bahwa soal saham Pemprov DKI di PT Delta Djakarta (produsen dan distributor bir), silakan tanyakan hal itu kepada ayah Boy, almarhum Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.
“Nah, dia enggak tahu sejarahnya. Delta (PT Delta Djakarta) itu kan perusahaan Belanda, diambil alih dong oleh DKI. Dan Bapak ambil saham untuk bisa mengontrol peredarannya,” kata Boy.
Boy menyampaikan kekecewaannya kepada Sandiaga Uno yang maju sebagai calon wakil gubernur DKI berpasangan dengan Anies Baswedan. Boy memutuskan untuk bergabung dengan pasangan Anies-Sandiaga dan berjuang untuk memenangkan pasangan tersebut.
Boy sudah membangun jaringan politiknya di DKI Jakarta dari 1999 ketika PDI-P pertama dibentuk. Boy tercatat pernah menduduki kursi Wakil Ketua lalu Ketua DPC PDI-P Jakarta Selatan pada 2005.
Pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Boy sempat dikabarkan menjadi calon gubernur dari PDI-P. Namun, akhirnya PDI-P mengusung pasangan Jokowi-Ahok dan Boy menjadi tim sukses pasangan tersebut.
Boy memilih tempat di legislatif, dia sempat menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Pada 2014, ketika Jokowi akan melenggang ke kursi kepresidenan, nama Boy diusulkan untuk jadi wagub DKI Jakarta setelah Ahok menjabat gubernur.
Pada akhirnya Boy tidak dipilih. Djarot Saiful Hidayat yang kemudian mengisi kursi wagub yang ditinggalkan Ahok.
Boy sendiri kemudian memilih aktif di partai. Ia mengalahkan cucu Soekarno yang juga keponakan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, yaitu Puti Guntur Soekarnoputri, dalam Pemilihan Ketua DPD PDI-P DKI Jakarta periode 2015-2020.
Namun, kursi tersebut tak lama ia tempati. Ketidaknyamanan Boy di PDI-P terjadi semenjak Ahok makin kuat di Jakarta.
Ruhut Sitompul
Tak hanya Boy, Ruhut Sitompul juga membelot dari keputusan partai. Kader Partai Demokrat itu memilih mendukung pasanganAhok-Djarot ketimbang pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dengan Sylviana Murni.
Ruhut meyakini bahwa keputusannya untuk mendukung Ahok-Djarot adalah yang terbaik. Pada akhirnya, ia meyakini Ahok-Djarot-lah yang akan memenangi pertarungan meski harus menghadapi putra Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
Berbeda dari Boy, Ruhut memilih tak mengundurkan diri dari partai yang membesarkannya. Namun, ia siap dipecat dari PartaiDemokrat.
“Kalau Demokrat enggak suka aku, silakan pecat aku,” kata Ruhut.
Ketua DPP Partai Demokrat itu menyesalkan langkah partainya yang memilih Agus sebagai bakal calon gubernur. Sebab, jika Agus kalah di DKI, karier militernya akan tamat.
Partai Demokrat yang berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan memutuskan untuk mengusung Agus-SylvianaMurni. Untuk maju Pilkada DKI Jakarta 2017, Agus telah mengundurkan diri dari keanggotaan TNI.
“Aku enggak kebayang kalau Agus kalah, dibunuh kariernya oleh partai yang aku banggakan,” kata Ruhut.
Hayono Isman
Selain Ruhut, Hayono Isman juga tak sepakat dengan keputusan Partai Demokrat mengusung pasangan Agus-Sylviana. Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu juga menyatakan dukungannya kepada pasangan petahana Ahok-Djarot.
Menurut Hayono, Ahok-Djarot merupakan pasangan harmonis yang mencalonkan diri kembali bukan untuk memperebutkan kekuasaan. Ia menganggap Ahok-Djarot ingin terus berprestasi dan melayani masyarakat Jakarta.
“Sejak awal saya sudah mendukung Ahok karena saya melihat bahwa sebagai petahana, Ahok-Djarot memiliki prestasi sangat baik. Padahal, secara efektif baru menduduki posisi gubernur dan wakil gubernur kurang dari dua tahun,” ujar Hayono.
Sama seperti Ruhut, Hayono juga mengaku siap dipecat dari partai politik berlambang mercy tersebut.
Tiga kader Hanura
Jauh sebelum PDI-P dan Partai Demokrat, Partai Hanura telah memberhentikan tiga orang kadernya. Hal ini disebabkan karena mereka tak loyal pada putusan partai. Mereka tidak mau mendukung Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Tiga kader yang dipecat adalah Guntur dari posisi Ketua DPCHanura Jakarta Timur, Rahmat HS dan Bustami, dari keanggotaan DPD Hanura DKI Jakarta.
Ketua DPD Hanura DKI Jakarta Mohamad Sangaji alias Ongen menegaskan tidak akan main-main dalam mengambil keputusan. Siapa pun kader yang tak mengikuti keputusan partai akan dipecat.
“Saya akan terus memantau sampai tingkat terendah karena struktur kami sudah sampai tingkat anak ranting. Saya akan pantau (kader) yang tidak patuh dengan aturan,” kata Ongen.
DPD Hanura DKI Jakarta telah mencabut kartu tanda anggota (KTA) Guntur, Rahmat, dan Bustami.( Kps / IM )