Regenerasi Pemimpin pada Pilpres 2024 dengan Filosofi Kearifan Timur


Regenerasi Pemimpin pada Pilpres 2024 dengan Filosofi Kearifan Timur

Dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 26 Oktober 2023/Indonesia Media – Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak lepas dari pusaran perpolitikan dunia, serta masalah yang terjadi saat ini dalam konteks yang berbeda. Pusaran perpolitikan dalam negeri, yakni regenerasi pemimpin dan ‘putra mahkota’ pada pilpres (pemilihan umum presiden dan wakil presiden) 2024. “Orang tua tidak bisa melarang, tidak bisa mendorong (putra/putri) berpolitik. Kalau mendorong, dicap dinasti politik, meneruskan kekuasaan. Kalau mendukung, (orang tuanya) hanya bisa kasih restu. Semuanya tergantung (putra mahkota) mau berusaha dan belajar atau nggak. (Gibran/Gibran Rakabuming Raka, AHY/Agus Harimurti Yudhoyono, Puan Maharani) mau belajar nggak?” penulis buku-buku kearifan timur, Jusuf Sutanto mengatakan kepada Redaksi.

Ia merefleksikan perpolitikan Indonesia jelang pemilu 2024 dengan kisah 2.500 tahun lalu, ketika seorang putera mahkota digadang oleh orangtuanya untuk melanjutkan kerajaannya. Tapi sang putera menolak karena ada masalah lebih penting setelah melihat orang menjadi tua, sakit, harus menderita, dan mati (peristiwa alamiah). Selama ini belum terpecahkan, betapapun bijak dan sekuat tenaga memerintah, hanya seperti setetes air di lautan. “Bukan hanya Gibran (cawapres Koalisi Indonesia Maju/KIM), tapi (refleksi) untuk semua orang. ini kan persaingan antara dinasti. Ibu Mega (presiden ke V RI) punya Puan Maharani (politisi PDI Perjuangan), SBY (Presiden ke VI RI, Susilo Bambang Yudhoyono) punya AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). Semua punya penerus dari takhta (kedudukan) orang tuanya. Itu tidak salah, asal mau belajar. Kalam dalam wisdom Tiongkok, kuncinya pada belajar dan pembelajaran. Kalau tidak mau belajar, (takhta) ambruk,” kata anggota Majelis Indonesia Council of Sinologists (ISC)

Kisah 2.500 tahun yang lalu, putera mahkota tersebut akhirnya melihat satu orang tua renta dikerumuni orang muda sambil menanyakan untuk apa sebenarnya manusia diciptakan dan hidup harus dijalani?. Meski usianya sudah lanjut, mukanya cerah, sorot matanya tajam, bicaranya nyaring. Lalu dia (putera mahkota) memutuskan meninggalkan kerajaan, keluarga dan anaknya untuk mencari sendiri sebab-sebab manusia menderita dan mencari jalan keluarnya. Akhirnya putera mahkota menemukan jawabannya. Syaratnya tidak hanya membaca, mendengar, melihat, tapi semua harus dijalani sendiri seperti makan, minum, tidur dan sebagainya, tidak bisa diwakilkan atau mengupah orang untuk mengerjakan baginya. “Makna dari proses pembelajaran (putera mahkota) relevan dengan filosofi (Tiongkok) Dàxué, berlaku pada raja sampai rakyat jelata. Daxue, ajaran pada level universitas. Kalau Xiǎoxuě, level SD – SMA. Daxue, artinya para pemimpin seperti Gibran, Puan, AHY harus membuat negara maju, aman. Filosofi Daxue, (calon pemimpin) harus bisa memperbaiki kondisi dunia, dan mulai dari diri sendiri. Tidak bisa memperbaiki dunia, kalau diri sendiri belum benar,” kata mantan dosen (2004 – 2017) psikologi timur pada fakultas psikologi Univ. Pancasila, Jakarta. (sl/IM

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *