Memahami Aksara Mandarin pada Lukisan Pemulung Miskin Kota Jakarta


Memahami Aksara Mandarin pada Lukisan Pemulung Miskin Kota Jakarta


Jakarta, 27 Maret 2021/Indonesia Media – Di tengah suasana new normal dan upaya pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi covid, masyarakat miskin kota Jakarta yang sehari-harinya bergelut dengan sektor informal seperti jasa tukang parkir, pemulung nyaris luput dari perhatian pemerintah. Bagaimana tidak, ketika menyusuri ‘jalan tikus’ kali jeling tanggul Grogol Petamburan, Jl. Tanjung Selor Cideng (Gambir) sampai bantaran kali Ciliwung (dekat stasiun kereta Karet, Kebon Melati Tanahbang, Jakarta Pusat) nasih disesaki tenda dan gubuk masyarakat miskin. Tanggul yang berbatasan dengan ruas Jalan Tanjung Selor, tepatnya di bawah Jembatan Tomang (yang menghubungkan Slipi, Jakarta Barat – Roxi/Harmoni Jakarta Pusat) penuh gubuk, tenda, warung sampai lapak-lapang pemulung. Salah satu penghuninya, yakni Sarmin (55) asal Purbalingga, Jawa Tengah. Ia mengaku sudah menjadi penghuni ‘Blok G(embel)’ sejak 1986. Pengertian ‘Blok G’ menurutnya, hanya guyon bahwa penghuninya tinggal di bawah jembatan Tomang dan bantaran kali Jeling (berbatasan dengan Jl. Tanjung Selor, Cideng). “Kami adalah gembel yang nggak punya rumah di Jakarta. Saya nggak bayar tinggal di kolong jembatan dan sudah beranak cucu disini. Ketika virus corona mulai ada di Jakarta, tahun lalu, penghasilan saya berkurang. Karena saya memulung sampah plastik, kardus, rongsokan dari hotel Classic (Tomang, Jakbar) dan hotel Gloria (Jl. Kyai Tapa, Jakpus). Tamu hotel sudah nggak ada lagi, otomatis tidak ada sampah lagi,” kata Sarmin.

Selain memulung, kadang ia disuruh warga di komplek perumahan mewah seputar Tomang untuk pembersihan. Misalkan, ada warga yang mau pindah rumah, ia disuruh bantu menyortir barang-barangnya. Sehingga, ia sering dikasih barang-barang elektronik besar seperti exhaust fan, keyboard piano, gitar listrik dan lain sebagainya. “Tapi nggak semuanya bisa dimanfaatkan lagi. Barang rongsokan elektronik biasanya ditimbang per kilo, bukan dijual satuan. (jual satuan) nggak laku karena sudah rusak,” kata kakek dari tiga orang cucu.

Ia lalu memperlihatkan saya lapak barang-barang rongsokan, terutama plastik bekas minuman, kertas bekas, kardus, besi bekas dan lain sebagainya. Dari tumpukan barang-barang bekas atau sampah, mata saya tertegun pada satu lukisan beraksara mandarin. Tetapi aksaranya bukan sekedar aksara, melainkan berwarna-warni serta bermotif burung, ikan, bahkan naga. Salah seorang teman saya menjelaskan bahwa aksara tersebut seperti nama seseorang, yakni Zhou Zhen Ni. “Kalau aksara yang besar, artinya Zhou Zhen Ni, yang mungkin nama pelukisnya. Tapi aksara-aksara yang ukuran kecil sulit terbaca karena size nya terlalu kecil,” kata Denni, alumni fakultas ilmu lingkungan salah satu universitas ternama di Taiwan. Ia juga meyakini bahwa aksara-aksara tersebut bermakna dalam, sastra. Sehingga tidak semua orang bisa menafsirkan artinya. “Tulisan yang kecil, warna hitam tersebut kelihatan jelimet. Saya nggak ngerti,” kata Denni yang tinggal di Jakarta Utara.

Sementara itu, ibu Linty Sastrodihardjo (Lin Zhe Xiu) di Jakarta juga berusaha memahami makna aksara mandarin pada lukisan si pemulung Kali Jeling Tanggul. Menurutnya, aksara tersebut jelas bermakna filosofi kehidupan. Sebagaimana sistem pengaturan periode menurut filosofi Tiongkok kuno yakni 60 tahun setara dengan satu sirkulasi. Masyarakat Tiongkok kuno percaya, bahwa siklus satu periode (60 tahun) selalu ada bencana. “Kalau merunut sejarah Tiongkok, setiap 60 tahun pasti ada bencana. Siklus per 60 tahunan jatuh pada tahun 2020 (kalender internasional), memang terjadi pandemi covid, sebagai bencana nasional Indonesia dan dunia internasional,” kata Linty Sastrodihardjo (76 tahun).

Makna pada lukisan pemulung tersebut diyakini bagian dari Yi Jing (Kitab Perubahan atau Klasik Perubahan ). Yi Jing adalah filosofi Tiongkok kuno berupa ramalan teks yang notabene klasik tertua. “Filosofi Yi Jing, Khong Hucu mengisyaratkan hubungan manusia dengan bumi, alam semesta. Mungkin hal ini juga mengena pada pandemi dan orientasi kehidupan masyarakat modern. Saya juga tidak berani mengelaborasi lebih detail mengenai Yi Jing kaitan dengan aksara pada lukisan pemulung tersebut,” kata ibu dari delapan cucu, kelahiran Semarang Jawa Tengah. (sl/IM) 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *