Mahar Politik Itu Ada, Hanya Sulit Dibuktikan


Isu mahar politik yang disyaratkan oleh partai politik kepada para bakal calon peserta pemilihan kepala daerah yang ingin menggunakan parpol sebagai perahunya untuk maju dalam pilkada serentak, 9 Desember mendatang, marak kembali.

Merebaknya isu tersebut, terutama terkait dengan pendaftaran calon kepala daerah yang resmi dibuka pada hari Minggu (26/7) dan ditutup pada tanggal 28 Juli 2015. Secara keseluruhan, ada 269 daerah yang bakal menggelar pilkada serentak 2015, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Tentu saja sebagian besar parpol menolak keras isu tersebut. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Ir. H. Ahmad Fauzi (Rully), misalnya, menegaskan bahwa sebagai partai Islam, PPP tak mengenal mahar politik.

Menurut dia, bakal calon kepala daerah yang mengambil formulir dan kemudian mengembalikannya ke PPP tidak disyaratkan untuk membayar sejumlah biaya yang disebut sebagai mahar politik.

“Partai Persatuan Pembangunan tidak mengenal mahar politik. Kalau ada, tolong sebutkan siapa di antara bakal calon yang telah mengembalikan formulir yang membayar sejumlah uang yang disebut sebagai mahar politik tersebut, kemudian berapa besar nilai rupiahnya,” katanya.

Nada keras juga disuarakan Ketua Dewan Pengurus Daerah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Jawa Tengah Bambang Wuryanto. Dia menegaskan tTidak ada praktik mahar politik dalam pengusulan calon bupati/wali kota dari PDI Perjuangan di wilayah Jateng. Semua proses didasarkan kriteria yang kemudian diputuskan oleh Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan di Jakarta.

“‘Tak tempeleng’ jika ada yang meminta uang. Saya melarang keras diri saya sendiri untuk melakukan itu,” ujar Bambang di depan pasangan calon pimpinan daerah usungan PDI Perjuangan.

Ia tidak menampik bahwa dalam proses politik mungkin saja terjadi hal-hal seperti itu. Akan tetapi, dia mengharamkan diri meminta uang atau mahar politik. “Jika ada yang bilang untuk maju dari PDI Perjuangan harus nyetor uang Rp100 juta, itu tidak benar. Kami melarang keras,” katanya.

Pengajuan calon pasangan kepala daerah dari PDI Perjuangan, baik yang murni dari partai tersebut maupun hasil koalisi dengan partai lain, menurut dia, merupakan keputusan DPP PDI Perjuangan. “Kami mungkin memang tidak bersih sekali, tetapi kami bisa pastikan proses di daerah tidak ada mahar politik, semua adalah hasil penilaian dengan parameter yang ada,” katanya.

Kepada semua pengurus PAN dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota, Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan melarang mereka menerima “mahar” politik menjelang pelaksanaan pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2015.

“‘Mahar’ politik atau membayar menjadi perahu di pilkada nanti tidak boleh ada di PAN, kecuali kalau untuk beli baliho dan perlengkapan menghadapi pilkada, baru dibolehkan,” kata Zulkifli.

Dalam menjaring bakal calon kepala daerah, kata dia, partainya memiliki standar yang tegas dalam mengusung calon kepala daerah. Pihaknya tidak ingin terjebak dalam pengotakan kader dan nonkader. Dia ingin semua tokoh yang memiliki wawasan kebangsaan yang bagus yang mendapat dukungan dari PAN.

“Jadi, pada pilkada ini PAN tidak menekankan harus kader, tetapi semua kandidat bupati/wali kota dan gubernur harus memiliki visi dan misi yang berwawasan kebangsaan, memajukan daerah. Tidak hanya memimpin kelompoknya, agamanya saja, tetapi menjadi pemimpin seluruh masyarakat,” ujarnya.

Dalam pilkada tersebut, kata Zulkifli, bakal calon yang akan diusung partai tersebut bisa juga merupakan kader dari dalam ataupun dari parpol lain, termasuk dari kalangan TNI, Polri, PNS, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.

Ia menambahkan bahwa PAN tidak ingin terikat pada koalisi manapun meski saat ini DPP PAN masih tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP).

Juru bicara Partai Demokrat Ramadhan Pohan juga menekankan tidak adanya budaya mahar politik yang dilakukan partainya dalam pagelaran pilkada serentak Desember nanti. Dia memastikan, dalam undang-undang (UU), mahar politik jelas tidak diperbolehkan sehingga Demokrat tidak ada mahar untuk mencalonkan orang jadi kepala daerah.

Menurut Ramadhan, bagi para kader atau nonkader yang ingin maju lewat Demokrat saat ini harus mengikuti seleksi ketat. Mereka harus punya integritas dan elektabilitas untuk bisa maju menjadi calon dari Demokrat.

“Tidak ada mahar. Yang penting integritas, kompetensi, dan elektabilitas. Soal strategi perang, ada yang garis permanen, ada yang situasional juga,” kata Ramadhan.

Kekuatan uang dalam pilkada, kata dia, memang dibutuhkan untuk memenangi persaingan. Namun, hal itu masih dalam batas kewajaran dan sesuai dengan undang-undang.

Sulit Dibuktikan Seperti kata pepatah tak akan ada asap jika tak ada api. Itulah praktik politik, transaksional yang sulit dihindari pada momentum pilkada serentak pada tanggal 9 Desember mendatang. Kendati dalam berbagai kesempatan pimpinan parpol menjamin bahwa dukungan yang diberikan tanpa mahar politik, tetap saja isu jual beli dukungan tetap menyeruak.

Seperti halnya untuk tiga pilkada di Gorontalo yaitu Bonbol, Kabgor dan Pohuwato, berkembang kabar bahwa untuk bisa mendapatkan dukungan satu kursi di DPRD, calon menggelontorkan minimal Rp350 juta. Kabar ini mencuat di tengah tingginya intensitas lobi-lobi calon kepala daerah kepada parpol untuk mendapatkan kendaraan politik.

Pada saat tahapan pendaftaran pasangan calon tiba, rata-rata partai politik belum punya keputusan final mengenai pasangan calon yang akan diusung. Ini membuka peluang bagi calon untuk melakukan berbagai manuver demi mendapatkan rekomendasi dukungan parpol, termasuk lewat aksi jual beli dukungan.

Jika mahar politik itu benar-benar tidak ada, kenapa Ketua Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaedi meminta parpol serius menolak praktik jual beli atau mahar politik dalam pilkada serentak Desember 2015.

Ia menilai parpol merupakan palang pintu utama untuk mencegah praktik-praktik seperti itu. “Untuk mencegah jual beli mahar politik harus ada komitmen dari partai. Ketika ada komitmen partai, saya kira sudah ada langkah maju dan berpengaruh terhadap perbaikan kualitas pilkada dan demokrasi,” katanya.

Veri berpendapat bahwa komitmen parpol itu harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas. Bawaslu dan KPU, kata dia, harus tegas mendorong penindakan secara hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam mahar politik. “Kalau tidak ada penegakan hukum, sulit mencegah praktik mahar politik ini,” katanya.

Peneliti senior CSIS J. Kristiadi mengutarakan bahwa sesungguhnya akar masalah timbulnya mahar politik adalah nafsu kuasa dari seseorang, dan tata keuangan parpol yang masih amburadul. “Kenikmatan kekuasaan, mendorong orang berupaya memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang tidak terpuji, termasuk politik uang,” katanya.

Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Mahfud Md. juga pernah mengatakan bahwa hampir semua pilkada diwarnai praktik politik uang. Hal tersebut terungkap pada sengketa pilkada yang ditangani komisioner.

Akan teetapi, sekalipun pada semua pilkada yang disengketakan selalu ada politik uang, hal itu belum tentu membuat gugatan pilkada dikabulkan. Pasalnya, politik uang tidak dapat dibuktikan terkait dengan perolehan suara. “Politik uang juga tidak dapat dijadikan alasan pembatalan pilkada jika terjadi secara sporadis, kecuali bila pelanggarannya sudah kronis, sistematis, masif, dan terstuktur,” kata Mahfud.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga menemukan indikasi keberadaan calo pilkada perorangan yang ada di dalam parpol yang mengklaim memiliki akses ke DPP partai dan bisa mencalonkan seseorang di partainya dalam pilkada dengan imbalan sejumlah uang.

“Terkait dengan pengawasan Bawaslu, dalam seleksi di internal parpol ada oknum perorangan dalam parpol yang menerima imbalan dari pasangan calon,” kata anggota Bawaslu Nasrullah.

Menurut dia, Bawaslu menemukan modus operandi baru bahwa calo politik ini lebih dimainkan oleh perorangan, bukan institusional parpol. Oknum ini meminta sejumlah uang kepada bakal pasangan calon agar bisa dicalonkan. Namun, sayangnya Bawaslu belum bisa memastikan siapa pelaku tersebut. “Kami agak kesulitan untuk memastikan siapa orangnya, tetapi modusnya sudah tercium,” katanya.

Pengamat politik dari UIN Pangi Syarwi Chaniago mengatakan bahwa mahar diajukan parpol untuk memberikan dukungan kepada pasangan tertentu saat Pilkada. Hanya saja mahar tersebut sulit untuk dibuktikan oleh publik, tetapi bisa dirasakan.

Ia berpendapat bahwa biaya sewa parpol selama ini kerap dianggap sebagai nenek moyang politik uang. Dia tidak sepakat jika besarnya biaya pilkada disebabkan pengadaan logistik kampanye calon, seperti pengadaan spanduk, flyer, iklan, atau membayar tim sukses.

“Yang membuat tinggi dan mahalnya biaya pilkada itu adalah biaya sewa perahu parpol yang bisa mencapai puluhan miliar rupiah. Inilah sumber masalah politik uang,” katanya.

Pengamat politik dari Universitas Khairun (Unkhair) Ternate Ridha Adjam menilai mahar politik dalam pilkada sulit dihilangkan. Para calon yang ingin didukung oleh parpol dan parpol yang akan memberikan dukungan pasti akan mencari segala cara agar transaksi mahar politik tetap bisa dilakukan tanpa bisa dideteksi oleh pihak-pihak berwenang.

Seperti kata Ridha, mahar politik sulit dilacak karena transaksinya bisa saja dilakukan dengan memanfaatkan pihak-pihak yang seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan orang yang mendapatkan dukungan dari parpol dan parpol yang memberikan dukungan meski uang itu nantinya sampai juga ke parpol pemberi dukungan.( SP / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *