Opini: Jika Politik Tak Lagi Mengusik


Penyelenggaran Pemilu 2014 tinggal sebentar lagi. Semua pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut telah bersiap diri. KPU telah menyiapkan surat suara yang sudah 70% rampung, parpol telah menetapkan calon legislatifnya serta saksi dalam pemilu 2014 di tiap TPS, dan personil pengamanan (TNI dan Polri) pun telah disiagakan guna menjaga kelancaran pelaksanaan pemilu 2014 mendatang. Jika diakumulasikan kesiapan panitia, peserta dan pendukung pemilu telah mencapai 75%. Namun, kesiapan pihak-pihak tersebut tampaknya tidak sejalan dengan salah satu komponen penting kesuksesan pemilu 2014, yakni pemilih.

Pemilih dalam pemilu sebagaimana diatur dalam UU Republik Indonesia No.3 Tahun 1999 tentang pemilu harus memenuhi 2 syarat yakni  WNI yang pada waktu pemungutan suara untuk Pemilihan Umum sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin dan harus terdaftar sebagai pemilih. Menyambut pelaksanaan pemilu 2014 yang hanya tinggal kurang lebih 49 hari lagi, masih banyak pemilih yang belum menentukan pilhannya, hal ini tergambar dalam hasil survei yang dirilis oleh Lembaga Riset dan Polling Indonesia berdasarkan survei pada 15 November hingga 19 Desember 2013 di 15 kota besar Indonesia yang menyatakan hanya sekitar 38,4% masyarakat yang akan menggunakan hak suaranya pada pemilu 2014, 23,4%memilih golput, serta 37% menyatakan masih ragu.

Tingginya persentase keraguan di masyarakat bukanlah tanpa alasan, mengingat banyaknya kasus hukum yang menjerat para pejabat di negara ini. Hingga September 2013 setidaknya jumlah pejabat yang bermasalah dengan hukum mencapai 304 orang, yakni 22 orang gubernur, 7 wakil gubernur, 156 bupati, 46 wakil bupati, 41 wali kota, dan 20 wakil wali kota, serta beberapa pejabat tinggi negara. Angka yang sangat fantastis. Tak heran jika banyak masyarakat yang meragukan kinerja pemimpin daerah/negara hingga akhirnya memutuskan tidak memilih (golput) dalam pemilu 2014. Belum lagi kasus yang menimpa salah seorang hakim MK beberapa saat lalu.

Salah satu indikator suksesnya pelaksanaan pemilu adalah tingkat partisipasi masyarakat. Namun, apa yang terjadi jika masalah politik tak lagi mengusik rakyat hingga akhirnya rakyat tidak mau meluangkan sedikit waktunya untuk sekedar memilih pemimpin bangsa? Jawaban sederhana, pemilu gagal dan pemerintah tak lagi berdaulat. Akibatnya, pemerintah akan sering diprotes rakyat, bahkan besar kemungkinan rakyat melakukan kudeta.

Tentu masih kita ingat, bagaimana peristiwa jatuhnya rezim orde baru di tahun 1998 yang disebabkan oleh amukan massa hingga menduduki gedung DPR/MPR dan memaksa Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Memang, peristiwa tersebut menandakan jatuhnya rezim otoriter dan munculnya demokrasi di negeri ini, namun yang perlu kita perhatikan adalah tidak sedikit jumlah korban yang berjatuhan (12 orang tewas dan 600an orang luka-luka). Tentu kita tidak ingin peristiwa tersebut terulang kembali.

Oleh karena itu, apa yang perlu dilakukan? Tentu saja memperbaiki kinerja pemimpin saat ini dan menciptakan hukum yang adil tanpa pandang bulu. Tapi, mengingat pelaksanaan pemilu sudah dekat, maka perlu diadakan dialog serta penyuluhan kepada masyarakat terutama para penganut golput agar membuka mata hati mereka sehingga mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu 2014. Sebagai dampaknya pemerintah harus berjanji dan berkomitmen segera membersihkan elit-elit dari masalah hukum serta mau duduk bersama masyarakat dan lebih mendengar keluh kesah masyarakat. Jika perlu komitmen tersebut dibuat surat pernyataan bersama di atas materai dan bersedia dilepas jabatannya secara tidak hormat jika gagal melaksanakan amanat yang diembankan padanya.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *