Kebijakan melarang penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat tak memberi implikasi besar dalam menekan konsumsi bahan bakar bersubsidi.
“Mungkin ada, tapi berapa persentase yang bisa diperoleh dari upaya tersebut. Kami menganggap signifikansinya tidak terlalu besar,” kata Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati Sabtu (2/8/2014).
Enny menambahkan, hal yang terjadi justru masyarakat akan mengarahkan pembelian BBM bersubsidi ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di luar Jakarta Pusat. Hal ini bisa terlihat dari upaya pemerintah sebelumnya larangan penjualan BBM bersubsidi melalui waktu tertentu justru memicu antrean panjang di SPBU.
“Penjualan BBM bersubsidi waktu tertentu misalnya. Kita bisa lihat saat itu justru yang terjadi antrean membludak di SPBU. Itu menandakan karakter daya beli masyarat sekarang,” ucapnya.
Ia menilai karakter daya beli masyarakat saat ini menimbulkan kesadaran dengan memanfaatkan berbagai macam celah agar bisa mengonsumsi BBM bersubsidi. “Ini berkaitan dengan daya beli masyarakat. Kalau nggak bisa di sini bisa di tempat lain. Kalau nggak bisa di waktu ini bisa di waktu lain,” ucapnya.
Dari penerapan kebijakan ini, ia memandang efek psikologis yang ditimbulkan sudah sangat jelas. Masyarakat akan rela melakukan segala cara agar BBM bersubsidi bisa diperoleh.
Per 1 Agustus 2014 seluruh Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jakarta Pusat tidak menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis solar.
Hal ini sesuai instruksi Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang tertuang dalam surat edaran No. 937/2014.
Peraturan Kebijaksanaan yang harus di Tinjau Kembali …..