Akademisi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Drajad Kuncoro menyatakan hambatan terbesar usaha di Indonesia bukanlah perizinan melainkan korupsi.
Drajad mengutip Global Competitiveness Report 2017-2018 yang menempatkan korupsi sebagai faktor paling menghambat kemudahan berusaha setelah birokrasi, akses permodalan, infrastruktur, dan inkonsistensi regulasi.
Menurutnya, hal ini penting jadi dasar pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan terutama untuk menggenjot investasi.
“Tantangan pebisnis di Indonesia, nomor satu itu masih korupsi, kedua birokrasi, ketiga akses pembiayaan baru infrastruktur dan regulasi,” tuturnya dalam diskusi virtual Rabu (12/7).
Ia melanjutkan berdasarkan data yang dihimpun FEB UGM, jenis korupsi didominasi oleh penyuapan sebesar 48 persen, pengadaan barang dan jasa 30 persen, penyalahgunaan anggaran 10 persen dan lain-lain 12 persen.
“Pelakunya dari politisi 32 persen, swasta 25 persen, dan pejabat pemerintah 24 persen dan sisanya 29 persen lain-lain,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini menuturkan pemerintah terlalu sibuk memperdebatkan omnibus law sebagai strategi menggenjot investasi.
Seolah-olah masalah birokrasi dan perizinan satu-satunya penghambat investor masuk ke Indonesia.
Padahal, peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia tidak buruk-buruk amat, bahkan membaik di masa pemerintahan Joko Widodo.
“Dari peringkat 114 di tahun 2015 ke peringkat 73 di tahun 2020. Beneran ini, diobrak-abrik, suatu prestasi juga,” ucap Didik.
Ia justru menyoroti rendahnya kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir. “Investasi kita relatif bagus dibandingkan negara-negara lain tapi pertumbuhan turun. Sekarang apa gunanya jalan mulus, industri baik, tapi pertumbuhan enggak bisa apa-apa,” imbuhnya.
Karena itu lah, menurut Didik, yang harus diperbaiki bukan lah peraturan perundangan-undangan melainkan membereskan masalah korupsi yang membuat birokrasi tak efisien.
“Yang terjadi sekarang adalah boros, tidak efisien. Enggak punya strategi, itu tidak diperhatikan. Jadi di satu sisi (investasi meningkat) baik tapi outcome-nya tidak ada,” tandasnya.( CNN / IM )