Konsultasi Publik KKP Dorong Ekspor Perikanan


Konsultasi Publik KKP Dorong Ekspor Perikanan

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 10 Pebruary, 2020/Indonesia Media – Pelaku usaha memberi catatan, beberapa point penting hasil pertemuan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yakni pengembangan kepiting, udang vaname, kerapu, napoleon dalam rangka mendongkrak ekspor. Kepiting yang diekspor melalui akses Bandara Soekarno Hatta (Soeta) merupakan konsolidasi dari semua titik angkut/muat. Sehingga infrastruktur logistik, cargo harus ditingkatkan. “Ekspor kepiting dari Balikpapan (Kalimantan Timur) dikirim ke Jakarta, ongkos kirim Rp 25.000/kilo. Lalu kirim lagi, Jakarta – Shanghai dengan ongkos kirim Rp 30.000. Kalau bisa kirim langsung, Balikpapan – Shanghai, hanya Rp 20.000. Waktu pengiriman juga lebih singkat, hanya empat jam. Ada cargo, runway (landas pacu), importir di luar negeri, dan sebagainya. Sehingga kita tinggal mengordinasikan pemilik cargo dengan maskapai penerbangan. Produksi kepiting kita 40 ton per hari, sehingga perlu logistic, cargo yang efektif, efisien. Budidaya harus terus ditingkatkan untuk pengembangan sektor perikanan di Indonesia,” kata Wajan Sudja, Ketua Departemen Kelautan dan Perikanan DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Gelar pertemuan konsultasi publik perdana melibatkan stakholders kelautan dan perikanan di Ballroom Gedung Mina Bahari III, Jakarta. Pertemuan ini dibuka oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, dan antusiasme pelaku usaha tinggi. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menegaskan bahwa kebijakan KKP seperti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang akan diterbitkan harus berdasarkan kajian ilmiah. Selain itu juga perlu dilakukan uji publik agar kebijakan yang dikeluarkan tidak membebani masyarakat, sebaliknya meningkatkan ekspor.

 

Wajan menimpali, bahwa ekspor perikanan Indonesia paling besar yakni udang vaname. Nilainya mencapai sekitar Rp 18 triliun per tahun. Sementara anggaran KKP untuk mengembangkan budidaya udang mungkin sekitar Rp 1 triliun, bahkan kurang dari Rp 100 milyar. Indonesia mengekspor udang sejak tahun 1985. Kalau anggaran untuk budidaya ditingkatkan, feedback untuk kas negara bisa mencapai Rp 10 trilun. Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 1 triliun untuk peningkatan teknologi, logistic dan lain sebagainya. “Hasilnya pasti bisa lebih besar, mungkin sekitar Rp 20 triliun. Kepiting jangan sampai diabaikan. Sebaliknya budidaya kepiting degan fasilitas hatchery. KKP harus membangun percontohan skala komersial. Lalu lintas penjualan kepiting paling besar melalui Tarakan, Kalimantan Timur. Dari data, volume (ekspor kepiting) paling besar melalui Bandara Soeta Cengkareng dan Denpasar, Bali,” tegas Wajan kelahiran Muenchen, Desember 1959 ini.

 

Di tempat berbeda, pelaku usaha budidaya kepiting Hendra Sugandhi mengamini Wajan, yakni perlunya pembangunan hatchery kepiting. Selain itu, hatchery bisa meningkatkan produksi kepiting kalau dibarengi dengan nursery. “Meningkatkan crablet (kepiting bakau) sampai ukuran sebesar 40 – 50 gram, melibatkan masyarakat. Sehingga budidaya kepiting soka dan pembesaran oleh swasta seperti kami, bisa terus membuka pasar ekspor, memperkuat devisa negara,” kata  Hendra Sugandhi, Managing Director perusahaan budidaya kepiting PT TSI (Tritunggal Segara Indonesia).

 

 

Kendatipun demikian, salah satu inovasi TSI pada budidaya kepiting yakni pembuatan apartement/vertikal. Metode ini sudah sangat berkembang di luar negeri. Teknologi (untuk budidaya kepiting) sudah maju. Penerapan budidaya dengan apartment, prinsipnya juga untuk memotivasi usaha. “Kita sudah tertinggal. Kita lihat, (salah satunya) negara Singapura tidak punya sumber daya, tidak punya bibit. Tapi ada yang berani investasi untuk mulai (budidaya kepiting). TSI melihat tantangan ini. Thailand, China, Malaysia juga sudah mengembangkan budidaya kepiting. Awalnya, belum ada (pembudidaya) yang berani. Kebetulan, kami punya salah satu partner, yang bisa bikin kotaknya (unit apartment/vertikal). Kami pun bikin sistemnya,” tegas Hendra.

 

Sementara itu, Wajan juga mendesak KKP di bawah kepemimpinan Edhy Prabowo merevisi beberapa peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang merugikan pembudidaya. Salah satunya Permen Nomor 56/2014, dimana kapal-kapal angkut dari luar negeri terutama Hongkong dibatasi untuk beli langsung ikan kerapu di kerambah jaring apung (KJA). “Kapal besar dari Hongkong yang angkut ikan jenis napoleon dan kerapu jangan dibatasi,” tegas Wajan.

Karena bobot/berat kapal dan frekuensi pengangkutan/pembelian, kalaupun sampai ribuan kali, duit dipastikan masuk ke Indonesia. Sebelum terbit Peraturan Menteri (Permen) 56/2014, kapal-kapal angkut Hongkong beli ikan langsung di keramba jaring apung (KJA). “Mereka pasti bayar, tentunya ada devisa serta membuka lapangan pekerjaan. Tidak ada illegal fishing pada aquaculture (budidaya),” tegas Wayan.

Pembatasan titik (pintu pelabuhan keluar masuk), Malaysia dan Vietnam yang punya skala produksi kerapu 20 kali Indonesia, tidak ada satupun titik (pintu pelabuhan) yang bisa langsung angkut ikan sampai penuh. Kalau kapal berbendera Hongkong masuk ke Indonesia bagian tengah, mulai muat/angkut di Bali, Sumbawa, Buton, kalau kapalnya masih kosong, (kapal Hongkong) kembali mengisi lagi di Bontang. Ada juga kapal yang membeli, mengangkut ikan di Lampung, Sumatera Barat, Sibolga dan pulang melewati Penang, Belawan dan mendarat di Johor. “Kalau kapalnya masih kosong, mereka masuk Anambas, Natura. Ini kapal tramper yang tidak ada jadual,” tegas Wayan. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *