Kemdiknas Siap Jadi Penengah Kisruh UI


Kementerian Pendidikan Nasional berpandangan Universitas Indonesia telah memiliki prosedur dan tata cara pemberian gelar doktor honoris causa atau doktor kehormatan.

Namun, terkait adanya silang pendapat antara Rektor UI Gumilar Rusliwa Soemantri dengan sejumlah guru besar, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh mengatakan, jika dibutuhkan, kementeriannya siap menjadi penengah.

“Kementerian dengan senang hati memfasilitasi dan menjembatani adanya perbedaan tersebut,” kata Nuh kepada para wartawan di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (6/9/2011). Nuh mengatakan, silang pendapat mengenai pemberian gelar doktor kehormatan kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud adalah murni persoalan akademis.

Mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) ini mengaku yakin bahwa UI dapat menyelesaikan persoalan ini. Ketika ditanya mengenai pencabutan gelar doktor kehormatan yang diberikan UI kepada Raja Abdullah, Nuh mengatakan, hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh pihak yang memberikannya.

Nuh juga membantah bahwa dirinya melakukan pertemuan dengan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Emil Salim sebelum yang bersangkutan menyampaikan orasi ilmiah di hadapan ratusan sivitas akademika di Gedung Fakultas Ekonomi, Kampus UI, di Depok, Jawa Barat, Senin mengenai keprihatinan terhadap tata kelola universitas.

Sebelumnya, Nuh, dan juga Sekretaris Kabinet Dipo Alam dilaporkan melakukan pertemuan, Minggu (4/9/2011). “Tidak. Kapan saya datang? Justru jauh sebelumnya, saya menerima Pak Emil dan Pak Purnomo Prawiro (Ketua Wali Amanat UI). Sebelumnya lagi juga saya ketemu Pak Rektor UI,” kata Nuh.

Pemberian gelar doktor kehormatan kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud menuai kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan internal UI. “Sebagai orang UI, saya malu,” tegas Prof Harkristuti Harkrisnowo, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

“Duka kita atas pemancungan Ruyati belum cair, lalu akademisi memberi gelar doktor kehormatan atas nama kemanusiaan. Ini maksudnya apa?” sergah guru besar bidang hukum UI itu.

Pakar komunikasi UI, Ade Armando, mengatakan, pemberian gelar itu memprihatinkan dan mengabaikan nurani bangsa karena sang raja tak punya prestasi apa pun dalam tiga kriteria yang dikemukakan Rektor UI, yakni bidang perdamaian global, kemanusiaan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi .

“Arab Saudi memiliki catatan sangat buruk dalam hal perlindungan atas hak-hak asasi manusia, tidak memiliki catatan membanggakan dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan, dan bahkan dikenal sebagai pendukung penyebaran ajaran Islam yang eksklusif, tidak toleran, dan anti-keberagaman,” tandas Ade.

Intelektual muda Nahdlatul Ulama, Zuhairi Misrawi, menambahkan, “Secara pemikiran keislaman, dalam 10 dekade terakhir ini tak ada pemikiran moderat yang dicetuskan ulama Saudi.”

Menurut Okky Asokawati, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PPP, langkah Rektor UI memberikan gelar doktor kehormatan kepada Raja Arab Saudi tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 tentang Pedoman Pemberian Gelar Doktor Kehormatan; SK Rektor UI Nomor 1312 Tahun 2008, dan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 178 Tahun 2001.

Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980 dikatakan, gelar doktor kehormatan adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi kepada seseorang yang dianggap telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia, khususnya sangat bermanfaat bagi kemajuan atau kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia pada khususnya, dan umat manusia pada umumnya.

“Apanya yang luar biasa? Pelanggarannya?” sergah Okky, yang menyatakan segera berkoordinasi dengan Ketua Komisi IX DPR RI untuk meminta penjelasan Rektor UI. Okky melanjutkan, dalam Pasal 4, Ayat (1) dan (2) SK Rektor UI Nomor 1312 Tahun 2008 dikatakan, tempat upacara penganugerahan gelar Doktor Kehormatan adalah kampus universitas, dapat dilakukan pada saat wisuda, dies natalis atau waktu lain yang ditentukan rektor, tetapi tetap di universitas.

“Pemberian penghargaan itu tak lazim sebagaimana biasanya karena diantarkan langsung ke Istana Raja Abdullah di Arab Saudi,” ungkap Anis, yang mempertanyakan barter dari pemberian penghargaan terhormat itu di tengah keprihatinan terhadap hak-hak kemanusiaan buruh migran Indonesia di Arab Saudi.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *