Jangan Biarkan UI Dipermalukan! + Gelar Untuk Raja Arab Saudi Tak perlu Dipolitisasi


Jakarta — Universitas Indonesia merupakan salah satu universitas terbaik di dunia sekaligus lembaga pendidikan kebanggaan bangsa dan rakyat Indonesia!

Universitas Indonesia (UI) di 1970-an pernah dijuluki sebagai salah satu Center of Excellence bersama IPB, (Bogor), ITB (Bandung), UGM (Yogyakarta) dan Unair (Surabaya).

Kebanggaan itu, bukan sebuah kebanggaan semu, tetapi riil. Sebab tidak sedikit kontribusi positif UI bagi pembangunan bangsa baik yang dilakukan secara kelembagaan maupun oleh para alumninya. Kontribusi itu dirasakan oleh bangsa Indonesia.

Pembangunan Indonesia oleh pemerintah Orde Baru yang dimulai sejak 1968, bisa disebut ditukangi oleh para teknokrat jebolan UI. Hasil pembangunan itu masih dirasakan hingga sekarang.

Artinya UI punya kelebihan dan itulah mungkin yang bisa disebut ikon-nya UI. Sehingga kalau ikon di atas masih menjadi acuan, semestinya nama baik dan martabat UI patut dijaga.

Hari-hari belakangan ini, UI sedang dikritik oleh beberapa kalangan. Martabat UI dipertaruhkan. Kritik itu muncul sehubungan dengan keputusan Rektor UI menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) kepada Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul-Azis.

Sekalipun Rektor UI Prof Soemantri sudah menjelaskan latar belakang keputusan pemberian gelar tersebut, tetapi penjelasan itu tetap diabaikan. Seolah-olah Rektor UI tidak menjawab kritikan. Padahal justru para pengeritik hanya tahu mengeritik dengan fakta dan informasi yang tidak dapat dipercaya.

Sedihnya para pengeritik yang tidak memiliki pengetahuan updated, tentang rekam jejak Raja Abdullah, sekalipun sudah salah, tetapi tetap merasa benar dan terus menari-menari di atas kesalahan sendiri.

Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa penilaian UI terhadap Raja Arab Saudi, sama dengan pengakuan PBB. Bahwa Raja Abdullah bin Abdul Aziz merupakan sosok yang aktif mempromosikan perdamaian lewat dialog antar agama.

Siapa yang patut membela UI? Yah tentu saja para pemangku kepentingan yang ada di republik ini.

Jumlah mereka sebetulnya tidak sedikit. Khusus para alumni UI. Kalau dicari siapa saja jebolan UI yang kini sudah mapan sebagai birokrat, tidak terhitung jumlahnya.

Tapi tidak usah semua mereka yang diharapkan membela. Terlalu berlebihan. Cukup dibatasi pada dua pihak saja. Yaitu Kementerian Pendidikan Nasioanal dalam hal ini Menteri Muhammad Nuh dan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Dr. Emil Salim.

Menteri Nuh wajib membela universitas milik pemerintah itu. Sebab dalam upacara penganugerahan gelar di Istana Kerajaan Arab Saudi, Rektor UI didampingi Duta Besar RI untuk negara itu dan Utusan Khusus Presiden RI untuk masalah Timur Tengah. Artinya penganugerahan itu atas sepengetahuan pemerintah.

Sikap Mendiknas seperti ini penting dilakukan, sebab nama baik pemerintah Indonesia, juga perlu dijaga. Simbol negara, ikut serta dalam penganugerahan ini.

Mendiknas tidak boleh dikalahkan oleh mereka yang tidak menghormati lembaga pendidikan dan simbol-simbol negara. Demikian halnya dengan Dr Emil Salim. Selaku Ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang juga alumni UI, ia wajib bersuara positif bagi almamaternya.

Kalaupun merasa tidak dalam posisi membela, setidaknya menetralisir polemik yang ada. Supaya pemberian gelar kehormatan tersebut, tidak berkepanjangan. Sebab betapa destruktif dan memalukan, kalau tiba-tiba Raja Abdullah memperoleh masukan dari para penasehatnya. Kemudian atas masukan tersebut ia memutuskan untuk mengembalikan gelar doktor kehormatan itu. Apakah tidak runyam?

Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi. Tetapi kalau sampai terjadi, yang malu bukan hanya UI tetapi pemerintah dan bangsa Indonesia. Jika Raja Saudi mengambil sikap seperti itu, otomatis hubungan diplomatik kedua negara akan terganggu. Jika hubungan dua negara terganggu pihak yang paling banyak dirugikan adalah Indonesia.

Setiap tahunnya umat Islam Indonesia perlu melakukan ibadah haji ke tanah suci Mekkah dan Medina. Kuota yang diberikan pemerintah Arab Saudi hanya 200 ribu jemaah. Sementara penduduk muslim Indoneia tidak kurang dari 200 juta orang.

Kalau hubungan kedua negara tidak baik, Raja Saudi bisa saja melarang pemberian visa bagi orang Indonesia yang ingin menunaikan salah satu rukun Islam ke negaranya. Hal mana pernah diberlakukan oleh Raja Saudi kepada Libya.

Namun antisipasi ke arah itu patut dilakukan. Sebab Raja Abdullah sendiri, tidak pernah mengejar gelar kehormatan. Dengan dana yang tidak terbatas ia sudah membiayai pembangunan Universitas King Abdul Azis yang kini merupakan salah satu universitas terbaik di dunia, sama statusnya dengan UI. Tapi ia tidak menuntut gelar kehormatan dari universitas tersebut.

Dia sudah mengirim 70.000 mahasiswa ke berbagai universitas di Amerika Serikat. Dan dari kantongnya, lembaga-lembaga pendidikan AS itu memperoleh pemasukan (uang) yang tidak sedikit.

Namun lagi-lagi Raja Saudi tidak menuntut gelar doktor kehormatan dari sana. Sebab bagi Raja sendiri, gelar apapun bentuknya, tidak akan menambah apalagi mengurangi statusnya. Dalam konteks seperti gambaran itulah, kita berharap polemik tentang pemberian gelar kehormatan kepada Raja Arab Saudi, perlu diakhiri.

 

Gelar Untuk Raja Arab Saudi Tak perlu Dipolitisasi

Polemik pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Raja Abdullah dari Arab Saudi diminta tidak dipolitisasi. Apalagi, sampai kemudian meminta Rektor Universitas Indonesia (UI) turun dari jabatannya.

Politisasi itu dikhawatirkan akan merusak hubungan baik Indonesia dengan Kerajaan Arab Saudi.

“Jangan malah memperkeruh. Saya kira Raja Arab juga tidak mengharapkan. Raja bisa tidak nyaman. Bisa mengembalikan karena di Indonesia dipermasalahkan,” jelas anggota komisi I DPR Hidayat Nur Wahid kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (3/9/2011).

Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menuturkan bahwa gelar yang diberikan sudah sesuai dengan prosedur, seperti yang dijelaskan oleh Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri. Namun, dia juga meminta agar Gumilar tetap memberikan respons terhadap suara-suara yang mengkritik. Apalagi, pihak-pihak yang mengkritik adalah guru besar UI itu sendiri.

“Saya kira kuncinya ada di rektor. Kalau Rektor berani jauh-jauh memberi gelar ke Arab Saudi, berani juga untuk menjelaskan secara terbuka,” jelasnya.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *