Kasus Nazaruddin Membelah Demokrat


Sempat menimbulkan riak dan faksi di internal partai, Nazaruddin akhirnya dipecat dari jabatannya sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat. Ia mengacam akan membongkar borok di Demokrat dan DPR. Betulkah Nazaruddin hanya pintu masuk untuk menggoyang posisi Ketua Umum Anas Urbaningrum?; Ada Rekayasa Politik.

Kandas sudah segala upaya Muhammad Nazaruddin dan sekutunya mempertahankan posisinya sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat. Jurus bela dirinya, yang mengancam akan membongkar aib partai jika dia dijatuhi sanksi, tak banyak membantu. Pun campur tangan Anas Urbaningrum, sang ketua umum partai, tak berpengaruh. Apalagi sekadar dukungan sikap dari beberapa sejawatnya di partai.

Walhasil, Nazaruddin pun dipecat dari jabatannya itu. Pemecatan ini diumumkan Sekretaris Dewan Kehormatan (DK) Partai Demokrat, Amir Syamsuddin, Senin malam lalu. “Dewan kehormatan memberhentikan atau membebastugaskan Nazaruddin sebagai Bendahara Partai Demokrat,” kata Amir dalam konferensi pers di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat, Graha Kramat 7, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Amir menyebutkan beberapa pertimbangan pemecatan itu. Yakni adanya berbagai laporan masyarakat dan pemberitaan miring terkait Nazaruddin selaku Bendahara Umum Partai Demokrat. Ini dinilai sangat tidak menguntungkan partai, di samping menghambat tugas Nazaruddin sebagai bendahara umum. Pemecatan itu, selain dapat membebaskan partai dari fitnah, juga memberikan kesempatan kepada Nazaruddin untuk berkonsentrasi menghadapi masalah hukum yang dituduhkan kepadanya.

Pada saat menyampaikan pengumuman, Amir hanya didampingi dua unsur DK, Jero Wacik dan E.E. Mangindaan. Sedangkan Anas, yang juga Wakil Ketua DK, tak terlihat. ”Sebagai Wakil Ketua DK, seharusnya Anas menyampaikan pengumuman itu,” kata seorang pengurus Demokrat kepada Gatra. Sempat beredar kabar, Anas sengaja tak hadir karena kecewa atas putusan itu.

Dari lima suara unsur DK, kabarnya, hanya Anas yang tidak setuju dengan pemecatan Nazaruddin. Tapi spekulasi mengenai ketidakhadiran Anas ini ditepis Amir Syamsuddin. Katanya, acara pengumuman itu tidak harus dihadiri Ketua DK Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Wakil Ketua DK Anas Urbaningrum. Yang pasti, kata Amir, pleno putusan itu dihadiri semua pengurus DK Partai Demokrat.

Pleno itu berlangsung Senin pagi lalu di kediaman Presiden SBY di Puri Cikeas, Bogor. “Plenonya lengkap. Memang pada saat ini tidak hadir Bapak Ketua dan Wakil Ketua, karena kami yang ditugaskan khusus mengumumkan (pemecatan) ini,” Amir menjelaskan. Usai pleno itu, Anas dikabarkan terbang ke Bukittinggi, membuka Musyawarah Daerah (Musda) Partai Demokrat Sumatera Barat. Tapi sumber di Demokrat menyebutkan bahwa Anas tidak ke Bukittinggi. Ia tidak merespons pesan singkat konfirmasi dari Gatra.

Pasca-pencopotannya, Nazaruddin mengaku biasa saja. “Saya sehat-sehat, alhamdulillah,” katanya kepada Gatra. Setidaknya ia cukup beruntung karena hanya dicopot dari jabatan bendahara umum, sedangkan keanggotaannya di partai pemenang pemilu itu masih dipertahankan. Bandingkan dengan nasib Azidin, yang tersandung kasus katering jamaah haji. Ia di-recall dari Senayan dan dipecat dari keanggotaan Partai Demokrat.

Sebaliknya dengan Nazaruddin. Posisi politikus yang disebut tersangkut kasus korupsi Wiswa Atlet di Palembang –bersama sejawatnya, Angelina Sondakh dari Komisi X– dana dugaan percobaan suap terhadap Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK), Djanedri M. Gaffar, ini masih aman sebagai anggota dewan di Komisi VII. Tugas di Komisi VII ini baru dilakoninya dua pekan lalu, setelah ia dipindahkan dari Komisi III.

Namun sumber Gatra di Partai Demokrat memperkirakan, bukan tidak mungkin Nazaruddin juga bakal di-recall dari Senayan. “Ini (pencopotan) baru awal. Nanti borok-boroknya akan dibongkar setelah posisinya tidak lagi kuat di DPP. Ini komitmen Partai Demokrat melakukan upaya bersih-bersih,” kata sumber itu, yang lega kalau Nazaruddin dipecat.

***

Upaya pemecatan Nazaruddin tidaklah mudah, malah bertele-tele dan alot. Petinggi Partai Demokrat terkesan sungkan. Sedangkan Nazaruddin dan orang-orangnya yang sehaluan di Demokrat tampak getol melakukan pembelaan atau bahkan perlawanan, yang mengesankan adanya perpecahan di tubuh Demokrat.

Simak saja ketika E.E. Mangindaan mendesak Nazaruddin untuk mundur dari jabatannya sebagai pengurus Demokrat. Desakan itu disampaikan Mangindaan secara halus, Kamis pekan lalu. “Ketua Umum (Anas Urbaningrum —Red.) kami minta berkomunikasi dengan yang bersangkutan (Nazaruddin —Red.). Kalau dia (Nazaruddin —Red.) mundur, kan selesai,” ujar Mangindaan.

Sehari sebelumnya, Ketua Partai Demokrat, Kastorius Sinaga, melansir dua opsi DK Partai Demokrat menyangkut nasib Nazaruddin. Yakni, mengundurkan diri atau dipecat dari pengurus partai. Opsi ini diambil DK Demokrat setelah memeriksa Nazaruddin terkait korupsi proyek Wisma Atlet, yang melilit Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora), Wafid Muharam. Kepada DK Demokrat, Nazaruddin membantah terlibat.

Pernyataan Kastorius itu mendapat kecaman dari Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Max Sopacua. Max terang-terangan menuding Kastorius sebagai biang keladi isu perpecahan di tubuh Demokrat. Sedangkan Ruhut Sitompul bereaksi keras terhadap desakan Mangindaan, yang dinilainya tidak pada tempatnya.

“Dia (Mangindaan —Red.) kan bukan orang hukum. Yang orang hukum kan aku, jelas pandangan kami berbeda. Jadi, kalau dia meminta (Nazaruddin) mundur, ya, saya sangat menyesalkan,” ucap juru bicara Partai Demokrat ini. Ruhut merujuk pada hasil Tim Investigasi Fraksi Demokrat, yang menyimpulkan bahwa Nazaruddin dan Angelina Sondakh tidak terlibat kasus proyek Wisma Atlet senilai Rp 191 milyar itu.

Di tingkat wacana sudah penuh perlawanan, begitu pula ketika action. Anas yang diberi mandat melobi Nazaruddin sekaligus membawa surat pengunduran diri yang harus diteken Nazaruddin terpaksa pulang dengan tangan hampa. Menurut sumber Gatra, Nazaruddin ogah menekennya karena merasa tidak terlibat seperti dituduhkan.

“Tidak ada alasan saya untuk mundur, (itu) malah merugikan saya. Apalagi, saya tidak dinyatakan bersalah oleh Tim Investigasi Fraksi Demokrat, dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) belum memanggil saya,” kata sumber Gatra, menirukan ucapan penolakan Nazaruddin. Masih menurut sumber tadi, Anas pun melembek dan langsung balik badan. Dia melapor ke Cikeas perihal bantahan Nazaruddin itu.

Tak hanya itu. Anas juga disebutkan berupaya melobi Amir Syamsuddin agar turut mendukungnya membela Nazaruddin. Anas menilai, Amir pada saat itu masih belum menentukan sikap secara tegas. Amir pun didekatinya agar melunakkan sikap Mangindaan dan Jero Wacik, yang keras mendesak Nazaruddin untuk mundur. Namun Amir tak terlalu meresponsnya.

Sikap Anas yang begitu getol membela Nazaruddin menimbulkan tanda tanya besar di internal Demokrat yang “non-patron Anas”. “Ada apa sebenarnya antara Anas dan Nazaruddin? Kenapa ia begitu berambisi membela Nazaruddin?” tutur seorang petinggi Demokrat, agak curiga.

Kalau dicermati, Anas dengan Nazaruddin memang sangat dekat, meski belum terbilang lama. Nazaruddin bergabung dengan Partai Demokrat pada 2007. Pengusaha sawit kelahiran Sumatera Utara tahun 1978 ini dibawa Ruhut Sitompul. Sebelumnya, Nazaruddin adalah politikus Partai Persatuan Pembangunan. Pada Pemilu 2004, ia menjadi calon legislatif untuk daerah pemilihan Riau, tapi tidak terpilih.

Nazaruddin kemudian diperkenalkan kepada Jhonnny Allen Marbun, ketika itu anggota DPR dari Partai Demokrat. Nazaruddin menjadi orang kepercayaan Jhonny Allen, yang kini dikaitkan dengan kasus dana stimulus infrastruktur perhubungan di kawasan timur Indonesia. Kedekatannya dengan Jhony ini membuat Nazaruddin dekat pula dengan petinggi Demokrat lainnya, seperti Soetan Batugana dan Anas Urbaningrum.

Setelah Nazaruddin terpilih menjadi anggota DPR periode 2009-2014, jaringannya makin melebar. Apalagi, ia pintar cari uang dan royal. Ia berperan besar dalam mengawal Anas menjadi ketua umum dalam Kongres II Partai Demokrat pada tahun lalu, mengalahkan Andi Mallarangeng. Ia pun diangkat menjadi bendahara umum.

Hubungan Anas-Nazaruddin makin dekat saja. Menurut sumber Gatra, keduanya membuka perusahaan bersama. Nazaruddin pun disebut-sebut menampung banyak bantuan dana dari pengusaha yang juga petinggi partai politik. Bertolak dari sini, masuk akal pula bila Anas disebutkan membela Nazaruddin.

Apalagi, santer beredar isu upaya menggoyang Anas, dengan pintu masuknya kasus Nazaruddin. Maka, menurut sumber Gatra, Anas tak banyak “bunyi” ketika Nazaruddin mengancam akan menyeret empat petinggi Demokrat, termasuk Anas, jika dipaksa mundur.

Tiga petinggi lainnya yang disebut-sebut dalam ancaman itu adalah Marzuki Alie (Ketua DPR), Edhie Baskoro “Ibas” Yudhoyono (Sekretaris Jenderal Partai Demokrat), dan Zulkarnain “Choel” Mallarangeng, adik Sekretaris Dewan Pembina Demokrat, Andi Mallarangeng. Belum jelas, kartu truf apa yang akan digunakan Nazaruddin untuk menyeret para petinggi Demokrat itu.

Beredar kabar bahwa kartu truf itu masih ada hubungannya dengan proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games XXVI di Palembang. Disebut-sebut, jika pembangunan Wisma Atlet ditangani perusahaan yang diusulkan Nazaruddin, maka event organizer penyelenggaraan SEA Games diserahkan kepada Ibas dengan Berlian Entertainment dari Grup Yastra. Berlian Entertainment adalah konsultan kampanye Ibas di Pacitan pada Pemilu 2009.

Choel Mallarangeng dengan Fox Indonesia-nya juga disebut-sebut mendapat bagian dalam proyek penyelenggaraan pesta olahraga tingkat ASEAN itu, melalui penunjukan langsung. Pekan lalu, Choel dilaporkan ke KPK oleh Bonyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia. “Pada saat itu, saya sekalian minta KPK mendalami informasi keterlibatan Choel,” katanya kepada wartawan Gatra Cavin R. Manuputty.

Choel belum merespons upaya konfirmasi dari Gatra. Bantahan justru disampaikan sang kakak, Andi Mallarangeng, yang juga Menteri Pemuda dan Olahraga. “Tuduhan semacam itu mengada-ada. Belum ada penunjukan, bahkan tendernya belum ada. Biarkan KPK mengusut semuanya,” ujar Andi kepada Gatra. Andi juga membantah tudingan bahwa Berlian Entertainment sudah ditunjuk. “Sampai sekarang belum ada tendernya,” katanya.

Marzuki Alie menampik semua tudingan Nazaruddin. Kepada Faiz dari Gatra, Marzuki menyatakan tak gentar terhadap ancaman itu. “Tidak ada yang saya khawatirkan karena tidak ada yang saya langgar, baik aturan partai maupun undang-undang,” tuturnya.

Betapapun, ancaman itu membuat petinggi Demokrat lainnya makin kesal terhadap Nazaruddin. Apalagi, pemberitaan media makin memojokkan Demokrat, yang dinilai gentar terhadap Nazaruddin. “Kenapa mempertahankan satu orang jika hanya merusak keberadaan partai,” ucap seorang petinggi Demokrat. SBY pun akhirnya memutuskan memecat Nazaruddin. KPK juga diimbau untuk mengusut kasus itu secara profesional.

Setelah dilengserkan, Nazaruddin bersuara lantang perihal ancamannya itu. Ia menegaskan akan membongkar borok-borok di Demokrat maupun DPR. “Ini saya lagi menyiapkan bukti-bukti, biar jelas semuanya,” katanya kepada Gatra.

Kastorius Sinaga merespons ancaman itu dengan kalem. “Kita juga tidak tahu ancaman Nazaruddin itu apa skalanya, apakah cuma mercon atau bom. Dibuka sajalah, kenapa harus mengancam-ancam,” ujar Kastorius. “Jangan terkecoh oleh gertak sambalnya. Semua masih duga-dugaan,” ia menambahkan.

***

Nazaruddin disebut-sebut memang sudah lama diincar. Kabarnya pula, Nazaruddin merupakan pintu masuk untuk menggoyang posisi Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Menurut selentingan yang beredar di kalangan orang-orang yang pernah menjadi lingkaran dekat Cikeas, SBY diperkirakan sedang menyiapkan strategi untuk mengeliminasi reputasi Anas Urbaningrum, sosok yang bukan didukung SBY dalam Kongres II Partai Demokrat 2010.

Salah satu alasannya, Anas dipandang cenderung dikendalikan orang lain. Anas lebih patuh pada mentor politiknya, Akbar Tandjung, kini Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar. Ruhut Sitompul, tim sukses Anas, juga orang yang sangat dekat dengan Akbar. Lewat rekomendasi Akbar, Anas dikabarkan mendapat dukungan finasial besar dari Aburizal “Ical” Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar. Tapi kubu Anas membantah adanya dukungan finasial dari Ical ini.

Menurut sumber Gatra, SBY, atau paling tidak para loyalisnya, melihat manuver politik Anas makin mengkhawatirkan. Anas terus berkonsolidasi menuju kursi presiden 2014. Dari sisi pencitraan, April lalu, Anas menggandeng lembaga survei Inspire, yang menyimpulkan bahwa pemerintahan SBY gagal. Dan sosok masa depan yang layak menjadi presiden adalah Anas, dengan tingkat popularitas 38,7%, mengalahkan Ical, Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi –MK), dan sejumlah tokoh lainnya.

Secara politik, Anas juga terus menguatkan barisan dengan menjadikan orang-orangnya sebagai ketua DPD Demokrat tingkat provinsi, mengalahkan jago yang diusung SBY. Pada Musda Partai Demokrat Sulawesi Utara, 6-7 April lalu, Anas berhasil menggolkan jagonya, Vicky Lumentut, kini Wali Kota Manado.

Padahal, SBY menjagokan Sinyo Harry Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara yang juga anggota Dewan Pembina Demokrat. Vicky menang telak dengan 11 suara lawan tiga suara. Kubu Anas juga menang di beberapa provinsi lain, seperti Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, dan sebentar lagi mungkin saja di Jawa Barat.

Nah, sosok Nazaruddin, menurut analisis sumber Gatra, adalah pintu masuk strategis untuk meredam manuver Anas. Apalagi, berkembang spekulasi bahwa sudah ada deal antara Anas dan Ical untuk menjalin koalisi pada Pemilu 2014. Nazaruddin, yang merupakan tim lingkaran dekat Anas, pun dibidik. Kasus pemberian uang oleh Nazaruddin kepada Sekjen MK, Djanedri M. Gaffar –yang kemudian dikembalikan Djanedri– sudah tercium pada November tahun lalu, tapi sengaja dibiarkan.

Malang melintangnya Nazaruddin yang bermain anggaran di berbagai kementerian juga sudah lama diendus lingkaran Cikeas. Menurut sumber Gatra tadi, Nazaruddin sengaja “dipelihara” untuk terus berbuat salah sampai kesalahannya bertumpuk sehingga makin mudah didepak. Tanda-tanda ia bakal didepak makin jelas setelah namanya tersangkut kasus korupsi Wiswa Atlet.

Isyarat itu disampaikan Presiden SBY ketika menerima pimpinan KPK di Istana Negara, Jakarta, 6 Mei silam. “Beliau sendiri yang ngomong. Katanya, hantam saja, nggak peduli ada (orang) Partai Demokrat atau tidak,” tutur Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto.

Menurut pengamatan analis politik Ray Rangkuti dari Lingkar Madani untuk Indonesia, lantaran KPK belum bisa langsung bertindak, SBY memanfaatkan Ketua MK Mahfud MD untuk menyodok Nazaruddin dengan menyoal pemberian uang kepada Djanedri tadi. Mahfud memberikan laporan tertulis perihal itu kepada Presiden SBY. Laporan ini menjadi amunisi tambahan bagi DK Demokrat untuk melengserkan Nazaruddin.

Bagi Ray Rangkuti, pencopotan Nazaruddin itu hanyalah bentuk kompromi politik minimalis. Ia menyayangkan sikap SBY yang menggunakan orang luar (Mahfud) untuk membantu mengatasi riak-riak dan faksi di internal partai yang dipicu masalah Nazaruddin. “Itu cermin sikap politik yang tidak dewasa dan mandiri,” kata Ray.

Pengamat politik dari LIPI, Ikrar Nusa Bakti, menilai riak-riak dan faksi itu menunjukkan bahwa Demokrat dengan kadernya yang kebanyakan masih minim pengamalan politik tidak ada koordinasi pada tingkatan internal partai. “Di sini menunjukkan, partai tidak solid atau partai ini lagi kalap,” katanya kepada Septho dari Gatra.

Betulkah Demokrat sedang dilanda perpecahan dan posisi Anas akan digoyang? Lagi-lagi Anas tidak merespons upaya konfirmasi Gatra. Juru bicara Demokrat, Ruhut Sitompul, menampik kesan itu. “Itu hanya perbedaan pendapat, bukan perpecahan,” tutur Ruhut.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, juga membantah sinyalemen “rivalitas” SBY dengan Anas. Kepada wartawan Gatra Sandika Prihatnala, Mubarok menegaskan, tidak ada pikiran seperti itu di kalangan internal Demokrat. “Itu analisis pikiran orang luar saja,” kata Mubarok.

Taufik Alwie, Anthony Djafar, Asrori S. Karni, Mukhlison S. Widodo, dan Haris Firdaus


Muhammad Nazaruddin: Ada Rekayasa Politik

Nazaruddin menilai, pemecatan dirinya sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat tidak berdasarkan hukum. Soal etika, katanya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk memecat seseorang. Ia menyebut dugaan pemberian uang kepada Sekjen MK sebagai rekayasa politik. ——–

Figur yang menjadi sorotan media massa sepanjang pekan ini adalah Muhammad Nazaruddin. Lelaki yang akrab dipanggal Nazar itu lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, 26 Agustus 1968. Ia tercatat sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat. Pada Pemilu 2004, ia sempat menjadi calon anggota legislatif dari Partai Persatuan Pembangunan, tapi gagal melenggang ke Senayan.

Kemudian ia bergabung dengan Partai Demokrat sebagai Wakil Bendahara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat pada 2005. Pada periode kepemimpinan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Nazar dipercaya menjadi bendahara umum. Namanya menjadi sorotan publik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus suap proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games yang melibatkan tersangka Wafid Muharam, Sesmenpora.

Belakangan, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, melaporkan Nazar ke KPK karena memberikan uang kepada Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK, Djanedri M. Gaffar, US$ 120.000 atau sekitar Rp 800 juta. MK telah mengembalikan uang itu karena ditengarai sebagai gratifikasi atau suap.

Buntutnya, Dewan Kehormatan (DK) Partai Demokrat memberhentikan Nazar dari jabatan bendahara umum. Nazar menganggap pemecatan ini belum final, karena belum ada surat keputusan dari Ketua Umum dan Sekjen Partai Demokrat.

Terkait dengan keputusan DK Partai Demokrat dan dugaan keterlibatannya dalam beberapa kasus yang kini menjadi isu panas itu, Nazaruddin blak-blakan menjawab pertanyaan wartawan Gatra Anthony Djafar via telepon, Selasa lalu. Petikannya:

DK Partai Demokrat telah memecat Anda sebagai bendahara umum partai. Komentar Anda?


Keputusan dewan kehormatan di Partai Demokrat itu sifatnya mengusulkan ke DPP. Nantinya ada rapat pengurus terbatas DPP. Kemudian dilanjutkan pleno DPP, yang mengusulkan dari dewan kehormatan. Pak SBY sebagai Ketua DK dan Pak Amir (Syamsuddin —Red.) sekretarisnya. Nanti yang memutuskan itu adalah ketua umum dan sekretaris jenderal, apakah disetujui atau tidak, karena dewan kehormatan itu sebatas mengusulkan.

Artinya, sampai Selasa ini Anda masih menjadi bendahara umum?

Iya, sampai nantinya ada keputusan dari DPP yang mengeluarkan SK (surat keputusan) tetap, ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal. Apa pun bentuk keputusan itu nantinya.

Kabarnya, Anda pernah diminta mundur sebelum dipecat?

Ini bukan masalah mundur atau tidak mundur. Saya harus menyerahkan semuanya pada mekanisme hukum, baik secara pemerintahan maupun partai. Ada aturannya. Tidak boleh dong semau-maunya. Itu nantinya sama dengan menzalimi.

Benarkah Anda pernah memberikan uang kepada Sekjen MK, seperti disampaikan Ketua MK Mahfud MD? Soal MK, saya lihat ada rekayasa politik. Soal Mahfud, saya belum pernah duduk berdua. Itu Pak Mahfud harus jujur, jangan bohong. Sampai saat ini, jangankan duduk berdua, saya telepon Pak Mahfud saja tidak pernah. Itu Pak Mahfud harus jujur. Kalau mau, ayo kita duduk bareng. Kita selesaikan biar jelas. Jangan bohong.

Tentang uang yang Anda serahkan kepada Sekjen MK itu dan kemudian dikembalikan, bagaimana duduk perkaranya?

Itu semua rekayasa karena, begini ya, saya kenal dengan Djanedri, Sekjen MK, sebelum saya menjadi anggota DPR. Pertemuan dengan Pak Djanedri ini banyak sekali terjadi. Dia ke rumah saja sudah tiga-empat kali. Pak Djanedri ini melakukan kebohongan publik. Dia bilang menyuruh sopirnya mencari alamat rumah saya. Itu bohong bener, bohong besar. Makanya, saya lihat, kok ada rekayasa. Dia ke rumah saya sering, kok.

Apa maksud Sekjen MK datang ke rumah Anda ketika itu?

Dia selalu melobi saya sebelum saya duduk di DPR. Sejak saya duduk di Komisi III, mulai masalah anggaran, dia melobi komisi, karena penggunaan anggaran di MK itu, yang menggunakan, kan, sekjen. Semuanya sekjen yang atur. Dan saya sudah banyak dengar isu-isu miring. Makanya, saya minta ke KPK untuk mengusut semua pengadaan barang dan jasa di MK dan pembangunan Gedung MK. Itu direkayasa. Saya tahu benar ceritanya.

Anda siap dipanggil KPK, menjelaskan semua yang Anda ketahui itu?

Saya mungkin akan melaporkan langsung dalam waktu dekat ini. Saya sedang nyiapin bahan-bahannya, dan saya akan buktikan sampai bagaimana sewaktu pembangunan Gedung MK itu ada denda di BPK. Saya tahu semua ceritanya.

Kembali soal keputusan DK Partai Demokrat. Anda merasa dirugikan?

Sebenarnya begini, di pemerintahan jelas semuanya ada mekanismenya. Semua harus kita diserahkan pada fakta hukum. Partai Demokrat merupakan partai modern. Semuanya sudah ada sistemnya dan manajemennya yang baik, sehingga semuanya kita serahkan ke sistem dan fakta hukum.

Kalau sudah ada kepastian hukum, siapa pun tidak boleh dilindungi. Itu yang disampaikan statemen ketua dewan pembina kami. Pak SBY itu selalu mengatakan tidak akan melindungi kadernya yang kena masalah hukum. Dan siapa pun harus, tidak boleh, intervensi dalam fakta hukum. Itu jelas. Makanya, kita serahkan sepenuhnya ke masalah hukum.

Tapi, putusan DK tidak menyebutkan tentang fakta hukum, melainkan soal etika. Bagiamana menurut Anda?

Kalau masalah etika, nantinya ada orang satu-dua yang teriat-teriak, itu juga kan masuk etika, dong. Contohnya Pak Benny K. Harman (Ketua Tim Investigasi Fraksi Partai Demokrat) teriakin Pak Amir. Pak Benny jelas ngomong, di situ ada wartawan, kok. Pak Benny bilang, itu Pak Amir jangan bicara soal etika, karena dia tidak tahu etika.

Anda menyimpulkan bahwa Pak Amir tidak mengerti etika?

Dia itu pembelanya pengacara koruptor-koruptor BLBI. Itu benar atau tidak, Pak Benny yang tahu. Malah Pak Benny bilang, itu beberapa hakim agung sampai ngomong ke Pak Benny. Katanya, Pak Amir melakukan lobi untuk klien-kliennya supaya kliennya itu… saya ndak tahulah. Itu lobi-lobi, ya, Anda tahulah seperti apa. Dan, itu dia bawa-bawa nama Partai Demokrat. Kalau mau jelas persoalannya, wawancarai Pak Benny soal itu.

Kabarnya, Anda mengancam akan membongkar borok-borok pengurus DPP Demokrat, misalnya dugaan keterlibatan keluarga Andi Mallarangeng di proyek SAE Games?

Kalau itu, saya rasa wartawan semuanya sudah tahu, baik di DPR maupun di Menpora. Bisa dikonfirmasi. Teman-teman di Komisi X tahu semua itu.

Apakah siap membongkar borok-borok itu?

Ini saya lagi menyiapkan bukti-bukti, biar jelas semua.

Ada yang menyebutkan bahwa Anas Urbaningrum melindungi Anda?


Nggak ada. Nggak ada yang dilindungi siapa pun. Semuanya dikembalikan ke mekanisme hukum. Kalau Pak Anas itu sebagai ketua umum, beliau itu selalu memandang semuanya dikembalikan ke fakta hukum. Tidak mau membela si A, si B, si C. Dia tidak begitu.

Nama Anda juga dikaitkan dengan kasus suap proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games yang melibatkan tersangka Wafid Muharam, Sesmenpora . Seberapa besar keterlibatan dalam kasus ini?


Kalau soal perkara ini, saya ini kan belum ada pembuktian masalah hukumnya yang saya hadapi.

Benarkah Anda sempat menebar ancaman kepada E.E. Mangindaan, Kastorius Sinaga, dan beberapa pengurus DPP Partai Demokrat?

Ini yang membuat saya lebih ketawa. Aduh, ngapain saya harus mengancam-mengancam. Ini dunia dan semua bisa berbohong, tapi di akhirat nanti itu ada azabnya. Apakah ada indikasi skenario dari pihak tertentu yang hendak melengserkan Anda sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat?

Ya, kalau itu sih wajar-wajar aja, ya. Di semua partai, saya rasa, ada orang yang seperti itu. Itu wajarlah. Dan saya ingatkan Didi Irawadi (Ketua DPP Bidang Pemberantasan Korupsi dan Penegakan Hukum Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin -Red.), anaknya Pak Amir Syamsuddin, jangan bicara sembarangan. Dia itu nggak ngerti. Dia kan tahulah, apa yang dia dapat setiap kali ada reses.

Maksudnya menerima sesuatu?

Itu dia lebih tahulah. Jadi, jangan sembarangan dia ngomong.

Anda mengetahui ada permainan anggaran di DPR yang kerap mendapat komisi dari setiap proyek?


Gini, saya memang kepingin memperbaiki, biar masyarakat tahu jelas. Soal komisi-komisi harus dibuka semua di DPR. Biar teman-teman itu jangan hanya seolah-olah bersih, padahal memainkan permainan yang luar biasa. Saya akan ceritakan secara detail satu per satu. Di DPR itu, yang bermain anggaran bukan hanya satu fraksi, melainkan hampir semua fraksi, terutama pimpinan Badan Anggaran yang empat orang itu. Ini supaya media dan masyarakat tahu bagaimana DPR itu sebenarnya.
Jejak Bisnis Bekas Bendum

Meski dibelit berbagai kasus hukum, Nazaruddin bisa cepat lolos. Bisnisnya pun terus berkibar. Setelah terjun juga ke politik, ulahnya makin menjadi-jadi. Resepnya, kata Kamarudin Simanjuntak, menyisihkan sebagian keuntungan bisnisnya untuk partai.

Kamarudin Simanjutak keluar dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin lalu. Pria yang berprofesi sebagai pengacara ini baru saja diperiksa penyidik KPK sebagai saksi dalam kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). “Saya dimintai keterangan terkait status saya sebagai bekas pengacara Rosa,” ujar Kamarudin menjelaskan ihwal pemeriksaannya oleh KPK kepada Gatra. Rosa yang disebut Kamarudin adalah Mindo Rosalina Manulang, tersangka kasus suap di Kemenpora.

Selain Rosa, tersangka lainnya adalah Sekretaris Menpora, Wafid Muharam, dan Direktur PT Duta Graha Indah, Mohammad el-Idris. Ketiganya ditangkap KPK, akhir April lalu, ketika sedang melakukan transaksi suap dengan barang bukti cek senilai Rp 3,2 milyar. Nah, Kamarudin pernah menjadi pengacara Rosa sejak 23 April lalu, tapi dipecat Rosa empat hari kemudian. “Saya jelaskan kepada penyidik KPK, saya tidak men-setting pengakuan Rosa ketika saya menjadi pengacaranya,” kata Kamarudin.

Sebelum dipecat, Kamarudin memang sempat mendampingi Rosa menjalani pemeriksaan di KPK. Dalam pemeriksaan itu, Rosa “bernyanyi”. “Nyanyian”-nya mengungkap kiprah Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang kemudian dipecat dari jabatannya oleh Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Senin lalu, dalam kasus serupa. Rosa mengaku bekerja di PT Anak Negeri sebagai direktur marketing. Menurut Rosa, Nazaruddin adalah bosnya yang juga pemilik PT Anak Negeri.

Rosa mengaku pernah diajak bosnya bertemu Wafid. Pertemuan yang berlangsung Juni 2010 itu membicarakan rencana tender pembangungan proyek Wisma Atlet untuk SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Biayanya dianggarkan dari dana APBN sebesar Rp 197,7 milyar.

Dalam kesempatan itu, Wafid menanyakan kepada Nazaruddin, apakah ada perusahaan yang bisa menangani proyek Wisma Atlet. Lalu Nazaruddin menjawab ada. Disebutlah nama PT Duta Graha Indah. Selanjutnya Rosa mengaku ada pembagian fee, setelah Duta Graha terpilih sebagai pemenang tender. Wafid kebagian 2% atau sekitar Rp 3,2 milyar. Sementara itu, porsi fee untuk jatah Nazaruddin jauh lebih besar, yakni 13% atau sekitar Rp 25 milyar.

Begitu Kamarudin dipecat, pengakuan Rosa berubah total. Misalnya pengakuan pernah bekerja di PT Anak Negeri. Rosa mengaku mengundurkan diri dari PT Anak Negeri sejak November 2010. “Saya ingin di 2011 punya usaha sendiri,” kata Rosa kepada Gatra, Jumat dua pekan lalu.

Ia juga menyangkal kenal dengan Nazaruddin dan menampik adanya pembagian fee. Rosa berdalih, pengakuannya yang terdahulu “diarahkan” Kamarudin. “Semua itu, dia (Kamarudin) yang mengatur. Pokoknya, dia minta saya jelasin ke penyidik KPK. Saya disuruh Nazaruddin. Kamu bilang, kamu bekerja di Anak Negeri, cerita semua soal fee,” Rosa menegaskan.

Boleh saja Rosa mencabut pengakuannya, terutama terkait hubungannya di PT Anak Negeri. Namun, menurut salinan dokumen PT Anak Negeri yang diperoleh Gatra terungkap, di awal pendirian perusahaan, 14 Februari 2003, nama Nazaruddin masuk sebagai komisaris utama. Direktur utamanya adalah Muhajidin Nur Hasyim. Lalu dilakukan perubahan susunan pengurus pada 16 Mei 2009. Posisi Nazaruddin sebagai komisaris utama digantikan Ayub Khan. Sedangkan nama Mindo Rosalina Manulang (Rosa) tercantum sebagai direktur.

Masuknya nama Rosa dalam jajaran direksi PT Anak Negeri membuktikan ada keterkaitan Rosa dengan PT Anak Negeri dan Rosa dengan Nazaruddin. Menurut sumber Gatra, Anak Negeri adalah satu dari sekian banyak perusahaan bentukan Nazaruddin.

Seperti perusahaan-perusahaan Nazaruddin lainnya, Anak Negeri berkantor di Tower Permai, Jalan Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan. Di gedung ini pula Rosa berkantor. Setelah Rosa ditangkap dan KPK menggeledah Tower Permai, nama gedung ini berubah menjadi Menara Jaya. Seluruh penghuni gedung itu melakukan eksodus.

***

Ternyata bukan pertama kali ini Nazaruddin terseret pusaran kasus hukum. Pria 33 tahun itu punya sejumlah catatan kelam, terutama terkait kiprah bisnisnya. Dari hasil penulusuran Gatra diperoleh informasi, Nazaruddin mulai merintis bisnis pada 1999 di Riau. Ketika itu, ia mendirikan PT Anugerah Nusantara. Perusahaan ini bergerak di segala lini bisnis, mulai konstruksi, perkebunan, industri, hingga jasa.

Selain sebagai pengusaha, Nazaruddin juga terjun ke dunia politik. Diawali menjadi kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nazaruddin aktif sebagai pengurus sebuah organisasi kemasyarakatan milik partai belambang Ka’bah itu. Bahkan Nazaruddin sempat menjadi calon anggota DPR dari daerah pemilihan Riau periode 2005-2009. Namun langkahnya menuju Senayan gagal karena suara yang diperolehnya tidak mencukupi.

Sepanjang tahun 2000 hingga 2005, Nazaruddin menggunakan bendera Anugerah Nusantara untuk wara-wiri mengikuti tender-tender proyek pemerintah. Menurut sumber Gatra, meski masih terhitung sebagai pendatang baru, perusahaan Nazaruddin sudah berani bertarung dengan perusahaan besar. Anugerah tak gentar mengikuti tender proyek pemerintah kategori grade A yang nilainya mencapai ratusan milyar.

Hebatnya, perusahaan Nazaruddin kerap mengajukan tawaran dengan harga sangat rendah. Akibatnya, ketika panitia memenangkan peserta tender yang tawaran harganya lebih mahal dari tawaran Nazaruddin, Nazaruddin mengajukan bantahan. Ujung-ujungnya, diambil jalan damai. Perusahaan Nazaruddin mendapat proyek untuk kategori grade B.

Menurut sumber Gatra, ulah Nazaruddin ini membuat sejumlah pengusaha geleng-geleng kepala dan kesal. Bahkan saking kesalnya, ada pengusaha yang secara khusus membentuk tim investigasi untuk melacak perusahaan Nazaruddin. Hasilnya mencengangkan. Diduga, Nazaruddin memalsukan dokumen untuk mengikuti tender proyek grade A.

Modusnya, kata sumber Gatra lagi, Nazaruddin dibantu sekretaris perusahaannya, Neneng, yang kini menjadi istri Nazaruddin, memalsukan dokumen bank garansi yang dikeluarkan Bank Syariah Mandiri Cabang Pekanbaru dan Asuransi Syariah Takaful Cabang Pekanbaru. Berbekal dokumen palsu itu, seolah-olah perusahaan Nazaruddin bonafide dan memiliki dana cukup di bank untuk memenuhi syarat ikut proyek pengadaan barang dan jasa senilai Rp 200 milyar.

Kelakuan Nazaruddin dan Neneng itu dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada Desember 2005. Kabarnya, pelapor adalah Herman Herry, politikus PDI Perjuangan. Akibat laporan itu, Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Namun Nazaruddin hanya ditahan tiga hari.

Menurut sumber Gatra, Nazaruddin berhasil keluar dari tahanan karena mendapat jaminan penangguhan penahanan dari petinggi PPP. Kasus ini dihentikan begitu polisi mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Baharudin Djafar, tidak membantah pernah ada yang melaporkan Nazaruddin. “Jadi, memang benar ada laporan untuk Nazaruddin pada Desember 2005. Persisnya saya kurang tahu,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal PPP, Irgan Chairul Mahfiz, membantah info bahwa petinggi PPP pernah menjadi penjamin untuk penangguhan penahanan Nazaruddin. “Sepengetahun saya, itu tidak benar,” kata Irgan kepada Haufan Hasyim dari Gatra. Begitu pula politikus PDI Perjuangan, Herman Herry, membantah pernah melaporkan Nazaruddin ke polisi. “Oh, ini salah informasi. Saya nggak tahu siapa yang awal tiup informasi yang keliru begitu. Saya nggak kenal dengan Nazaruddin,” tutur Herman.

Lepas dari kasus dugaan pemalsuan bank garansi, Nazaruddin membenahi bisnisnya. Ia tidak lagi menggunakan dokumen palsu. Untuk bisa mengikuti tender proyek kakap, Nazaruddin bermitra dengan perusahaan yang berpengalaman atau membeli sebagian saham perusahaan yang akan dijadikan mitranya itu. Pada saat bersamaan, sekitar akhir 2005, Nazaruddin juga mengubah haluan politiknya dengan pindah ke Partai Demokrat. Menyandang status sebagai kader Partai Demokrat, kiprah bisnis Nazaruddin makin moncer.

Tapi, di bisnis, lagi-lagi Nazaruddin bikin ulah miring. Pada Juni 2008, Nazaruddin dilaporkan ke Mabes Polri karena dugaan pemalsuan dan penggelapan dana milik PT Guna Karya Nusantara (GKN). Kasus ini berawal tatkala Nazaruddin menjadi kuasa Direktur Utama PT GKN, Nilla Suprapto, mengerjakan proyek pembangunan perluasan Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar.

Untuk pengerjaannya, ditunjuk 25 perusahaan sebagai sub-kontraktor. Pekerjaan rampung, tapi Nazaruddin enggan membayar tagihan para sub-kontraktor itu. Padahal, Nazaruddin sudah menerima pembayaran dari PT Angkasa Pura I atas pekerjaan yang telah diselesaikan itu. Alhasil, para sub-kontraktor itu menagihnya kepada Nilla.

Karena merasa dirugikan, Nilla melaporkan Nazaruddin ke Mabes Polri pada 28 Juni 2008. Tim penyidik Direktorat Keamanan dan Trans-Nasional Bareskrim Mabes Polri pun menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka. Ia dijerat dengan Pasal 378 (penipuan) dan 372 (penggelapan) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukumannya maksimal empat tahun penjara. Sayangnya, seperti kasus dugaan pemalsuan bank garansi tadi, untuk kasus ini, Nazaruddin juga lolos dari jerat hukum.

Ketika dihubungi Gatra, Nilla mengaku, sebelum sukses, Nazaruddin kerap datang ke rumahnya di Bandung. “Dulu sering datang ke saya,” katanya. Saking dekatnya, Nilla sudah menganggap Nazaruddin seperti anak sendiri. Kadang-kadang, politikus itu kerap meminta bantuan finansial kepada Nilla. “Sebagai orangtua, ya saya bantu,” katanya. Tapi kasus penipuan yang dilakukan Nazaruddin memupus kepercayaan Nilla.

***

Mei tahun lalu, Nazaruddin kembali bikin kasus tercela. Kali ini bukan soal kecurangan bisnis, melainkan dugaan pemerkosaan. Kejadiannya berlangsung bersamaan pada saat Partai Demokrat menggelar kongres untuk memilih ketua umum partai di Bandung. Pagi hari, 24 Mei 2010, seorang perempuan muda melapor ke polisi yang bertugas di Polsek Sukasari, Bandung. Perempuan itu mengaku dipaksa Nazaruddin untuk melakukan perbuatan mesum.

Polisi segera menindaklanjuti laporan itu dengan mendatangi kamar hotel yang diduga menjadi tempat pemerkosaan dan hasil visum korban. Setelah ditemukan cukup bukti, Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dan dikenai pasal-pasal pemerkosaan. Lagi-lagi, Nazaruddin berhasil berkelit dari jerat hukum. Kasusnya menghilang. “Kabarnya sudah ada perdamaian antara Nazaruddin dengan korban,” kata sumber Gatra.

Episode kisah Nazaruddin belum berakhir. Pada Desember 2010, Nazaruddin berseteru dengan bekas rekan bisnisnya, Daniel Sinambela. Sebelumnya, Daniel dan Nazaruddin terikat kerja sama bisnis memasok batu bara ke PT Indonesia Power untuk PT Perusahaan Listrik Negera (PLN). Menurut kuasa hukum Daniel, Kamarudin Simanjuntak, dalam kongsi bisnis ini, Nazaruddin meminjam bendera perusahaan Daniel, PT Matahari Anugerah Perkasa, yang memang berpengalaman di bisnis batu bara. Semua modal dalam tender berasal dari kocek Nazaruddin.

Singkat cerita, kongsi itu retak. Nazaruddin melalui orang kepercayaannya, Yulianis, melaporkan Daniel ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan melakukan penipuan, penggelapan, dan pencucian uang. Kini Daniel ditetapkan sebagai tersangka dan meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Daniel menuding kasusnya penuh rekayasa. “Saya salah apa? Kok, bisa sampai sekejam ini oknum polisi dan Nazaruddin memenjarakan saya,” kata Daniel kepada Haufan Hasyim dari Gatra dengan nada emosional.

Menurut Kamarudin Simanjuntak, ketika mendekati Daniel untuk dijadikan rekan bisnis, Nazaruddin membawa nama petinggi Partai Demokrat. Nazaruddin juga mengaku telah “membereskan” semua urusan tender dan menjamin perusahaan Daniel akan menjadi pemenang tender.

Yang menarik, Nazaruddin menyisihkan keuntungan bisnisnya untuk partai. Dalam pembagian keuntungan disebutkan, Partai Demokrat akan mendapat porsi 50%, Nazaruddin 35%, dan sisanya 15% untuk jatah Daniel. “Ada akta perjanjian kerja sama bagi hasilnya,” tutur Kamarudin.

Sementara itu, ketika dikonfirmasi Gatra, Selasa lalu, Nazaruddin menjelaskan bahwa tudingan-tudingan miring yang diarahkan kepada dirinya hanya fitnah. “Saya sebenarnya tidak begitu menanggapi fitnah-fitnah yang ada. Sebenarnya saya mau mengajarkan: sikap kita ini harus dibangun dengan kejujuran, etika,” katanya.

Sujud Dwi Pratisto, Gandhi Achmad, Haris Firdaus, Anthony, dan Wisnu Wage Pamungkas (Bandung)

Bukan Amplop yang Remeh

Kisah teranyar dari Nazaruddin adalah kasus upaya percobaan suap yang dilakukan Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK), Djanedri M. Gaffar. Kasus ini mengemuka ke publik usai Ketua MK, Mahfud MD, bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat pekan lalu.

Dalam jumpa pers, Mahfud yang didampingi SBY mengaku baru saja memberikan laporan tertulis kepada SBY, yang berisi kronologi percobaan suap yang dilakukan Nazaruddin kepada Djanedri. Sementara itu, SBY menilai, pemberian uang itu bukan persoalan yang remeh. “Saya melihat ini sebagai sesuatu yang tidak remeh,” ujar SBY kepada para wartawan.

Kasus ini berawal Kamis 23 September tahun lalu. Pada hari itu, Djanedri ditelepon berulang kali oleh Nazaruddin untuk minta bertemu. Awalnya, Djanedri enggan menanggapinya. Tapi, lantaran tidak enak hati menolak undangan seorang legislator, Djanedri menyanggupinya. Disepakati lokasi pertemuan di pusat perbelanjaan kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Sekitar pukul 10 malam, Djanedri yang datang terlambat melihat Nazaruddin sedang duduk sendirian di sebuah restoran. Djanedri menghampirinya. Setelah memesan minuman, keduanya berbincang. Tak ada perbincangan serius, apalagi menyangkut perkara di MK.

Basa-basi usai, Nazaruddin pamit. Sambil bangkit dari kursi, Nazaruddin menyerahkan dua amplop. Djanedri berusaha mengembalikannya kepada Nazaruddin, tapi Nazaruddin menampik dan mengatakan, “Sudah, Pak, terima saja. Enggak enak dilihat banyak orang. Assalamualaikum.” Usai bicara, Nazaruddin ngeloyor ke luar restoran. Esok harinya, Djanedri mengontak Nazaruddin, tapi telepon selulernya mati. Senin, di kantor MK, Djanedri berinisiatif melaporkan pemberian dua amplop itu kepada Mahfud.

Disaksikan Mahfud, seorang staf MK membuka isi amplop itu. Ternyata di masing-masing amplop itu terdapat segepok uang dolar Singapura sejumlah S$ 60.000. Jadi, total S$ 120.000 atau sekitar Rp 834 juta. Pada saat itu juga, Mahfud menginstruksikan agar amplop itu berikut uang yang ada di dalamnya dikembalikan kepada pemiliknya, Nazaruddin. Lalu Djanedri memerintahkan staf MK mengembalikan amplop itu ke rumah Nazaruddin di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.

Sesampai di rumah Nazaruddin, ternyata sang penghuni rumah sedang tidak ada. Staf MK menitipkannya kepada penjaga rumah. Di hadapan penjaga rumah, isi amplop itu dibuka dan dihitung isi uangnya. Setelah cocok S$ 120.000, staf MK tadi membuat surat tanda terima yang ditandatangani penjaga rumah Nazaruddin itu.

Sepekan kemudian, Nazaruddin menelepon Djanedri. Kesempatan ini digunakan Djanedri untuk menanyakan apakah Nazaruddin sudah menerima pengembalian uang. “Dia (Nazaruddin —Red.) bilang sudah. Lega, kan,” kata Djanedri.

Nazaruddin membantah mencoba menyuap Djanedri. Menurut dia, semua itu rekayasa. “Terus terang, ya, Pak Djanedri itu melakukan kebohongan publik. Dia bilang menyuruh sopirnya mencari alamat rumah saya. Itu bohong besar. Dia ke rumah saya sudah sering, kok,” katanya.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *