Tanah Pengasingan Bagian ke-31


Sub judul : Seri Pramoedya Ananta Toer

Bagi Pram, setiap negara yang dikunjunginya, selalu ada saja suasana baru yang sangat mengesankan,
mengharukan dan meninggalkan kesan yang dalam. Di AS dan selama di AS, rapat besar antara orang
Indonesia dan warga AS serta warga keturunan, bagaikan rapat kampanye pemilu. Dihadiri sejumlah
20.000 orang, bertempat di Toronto. Mereka dengan hangat dan bersahabat menyambut rombongan Pram.
Mereka mengenal Pram melalui karya-karyanya, dan mengenal semua pemberitaan Pram di negerinya
sendiri, yang puluhan tahun tersiksa dan tertindas, dihina dan disepelekan. Kehangatan sambutan yang
begitu meriah menjadikan banyak orang tercengang dan heran, mengapa Pram begitu mendapat sambutan
hangat. Di AS pula Pram mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa bersama Sekjen PBB,
Koffie Annan. Sebuah universitas memberikan gelar begini, sangatlah tidak mudah, dan melalui banyak
pertimbangan, dengan penyelidikan asal-usul sejarah hidupnya seseorang yang akan diberikan gelar
tersebut. Melalui jalan keseluruhan hidupnya dan pekerjaan selama dan sepanjang kehidupannya. Dan
Pram sudah mendapatkan gelar kehormatan itu.

Ketika aku di Paris sedang ramai-ramai dan sibuk-sibuknya mendampingi dan menyertai kegiatan
rombongan ini, ada seorang teman yang mengatakan, “kini dalam perkara Pram, tidak sedikit orang yang
sudah makan tai”!,- katanya tiba-tiba. Dan aku kaget serta terhenyak heran, apa maksud perkataan itu.
Segera kutanyakan apa pengertiannya. ” Ya tentu saja, dulu ketika ramai-ramainya orang menghujat Pram
karena soal manikebu, soal hadiah Magsaysay, soal pencalonan nominasi Hadiah Nobel Sastra Dunia,
tidak sedikit orang mencela dan maki-maki Pram dengan kata-kata kotor, termasuk kata tai. Dan kini
orang-orang itu tidak sedikit yang berbalik memuja-muji Pram, dan turut menyambut hangat. Apa ini
bukannya makan tai?!”,- katanya malah bertanya kepadaku.

Barulah aku mengerti apa maksud kata-kata tersebut, walaupun belum kukatakan bahwa sesungguhnya
aku tidak setuju dengan kata-kata yang rasanya tidak patut diucapkan begitu. Dan dalam hubungan ini,
ketika dalam pertemuan dengan Pram diberbagai kota dan negara, masih tetap ada pertanyaan yang
mengarah ke soal-soal lama, masih ada pengungkitan soal-soal lama yang tetap saja belum terselesaikan.

Misalnya bagaimana sikap Pram terhadap soal manikebu, pembakaran buku-buku, pemecatan dan
penindasan terhadap orang-orang yang menentang Lekra dan menentang garis revolusioner di zamannya
Bung Karno. Dan Pram tampaknya bagaimanapun “sudah belajar” bagaimana menjawab semua
pertanyaan itu dengan nalar yang jernih dan bukan dengan perasaan yang marah.Kata Pram : ” persoalan
manikebu tanpa membawa persoalan Perang Dingin adalah korup. Karena ada hubungan, karena ada kait-
mengaitnya, tidak berdiri sendiri begitu saja”,-

Lalu soal bakar-membakar buku orang-orang yang berbeda pendapat dan menentang Pram, dia
menjawab : ” dari dulu saya selalu dituduh membakar buku. Kalau buku-buku itu memang ada, maka
saya bukannya membakarnya, tetapi mengambilnya buat perpustakaan saya. Saya sangat banyak
membutuhkan buku-buku dari berbagai aliran dan pikiran demi memperlengkap isi perpustakaan
saya. Malah buku-buku dan banyak dokumentasi saya yang hancur, hilang tak keruan, diobrak-abrik
tentara dan penguasa. Nah, lagi-lagi kan, maling teriak maling. Malah bukannya hanya buku-buku dan

dokumentasi saya yang hilang dan dirampok, dihancurkan, tetapi juga rumah saya bahkan popok bayi
anak sayapun diobrak-abrik, dan itu sudah lama saya katakan dan tulis!”, kata Pram.

Lalu soal tindas-menindas terhadap orang-orang tertentu, di kalangan lawan-lawan Pram ketika itu,
Pram menjawab : ” yang bisa menindas adalah orang yang punya kekuasaan, punya bedil, punya uang
dan pangkat, saya punya apa?! Malah penguasa dan tentara angakatan-darat yang menangkap saya dan
memenjarakan saya, justru ketika zamannya Bung Karno. Tuduhan menindas dan menggencet sudah
pasti salah alamat, bukan buat saya. Saya yang malah digencet terus-menerus”, katanya. Hal ini dari
dulu banyak digugat lawan-lawan Pram, karena katanya ada yang sampai dipecat dari pekerjaannya, dari
kantornya, dari universitasnya, akibat tindasan, hasutan, gencetan dari Pram. Kata Pram sambil tertawa, ”
hebat sekali kalau saya sudah begitu besar kekuasaannya sampai bisa memecat, menindas orang. Padahal
yang saya perjuangkan selama ini justru menghilangkan semua unsur itu, justru menegakkan keadilan dan
kebenaran”,-

Di suatu tempat pertemuan ada yang bertanya tidak puas, kenapa Pram mau datang ke AS, yang padahal
mbahnya negeri kapitalis dan imperialis, dan mengapa begitu mudah mendapatkan visa buat ke AS,
yang orang lain sangat sulit mendapatkan visa masuk AS. Pram menjawab, yang mengundang datang
ke AS samasekali bukannya pemerintah AS, tetapi Badan Penerbitan Buku Pram dan Universitas, yang
tak ada hubungan dengan badan eksekutif pemerintahan. Lagipula dia juga ingin memenuhi harapan
begitu banyak orang yang ingin bertemu dan berdialog dengannya, berjumpa-muka denga begitu banyak
penggemar dan pembaca karyanya. Pram mengingatkan ajaran Bung Karno yang juga dianutnya, Bung
Karno menolak kapitalisme tetapi tidak menolak kapital! Ciri watak kapitalisme dan imperialisme itu
yang kita tentang, tetapi kita tidak menetang kapital, bahkan kita memerlukan kapital, tetapi bukan
dengan cara kapitalisme yang sudah menjadi suatu paham atau isme.

Lalu tentang orang lain sangat sukar mendapatkan visa masuk AS, Pram dengan tertawa sama herannya
dengan orang lain. Pram mendapatkan visa masuk AS selama 5 tahun, selama lima tahun! Ini benar-benar
visa gila! Mana ada visa selama itu kalau hanya kunjungan biasa, bukan missi pekerjaan dan berdinas-
tugas. Dan Pram dalam hatinya ada kecurigaan, yang dinyatakan juga kepada sidang pertemuan, ”
mungkin ada usaha memang buat menyingkirkan saya agar selama jangka waktu kampanye dan pemilu
ini, lebih baiklah saya jangan berada di dalam negeri. Siapa tahu penguasa dan pemerintah kuatir dan
takut kalau-kalau saya aktive berkampanye dan /mengacau/ suasana pemilu”,- Inilah kecurigaan yang ada
dalam hatinya dengan mendapat visa begitu mudah dan begitu lama jangka waktunya.

Ada yang menanyakan apakah Pram sudah berubah pandangan dengan diundangnya dia oleh masarakat
di AS? Pram menjawab, apa yang dia perjuangkan, masih sama dengan yang pernah didengar dan
diketahui oleh masarakat luas. Tapi kata Pram, kunjungan rombongannya ini bukanlah perjalanan
politik, tetapi “perjalanan literaire”, sesuai dengan profesinya sebagai pengarang yang sudah mendunia.
Kunjungan dan perjalanan ini, trio Pram, Bu Maemunah dan Pak Yoesoef, dengan usia di atas 70
tahun, benar-benar perjalanan-matang, dewasa, dan berwawasan cultural-literaire.(Paris 8 Juli 1999 —
bersambuang/IM)-

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *